Tivany turun dari mobil. Kakinya melangkah memasuki halaman rumah. Begitu besar nan luas, bahkan bisa dikatakan dua kali lipat dari rumah Zian. Pilar-pilar tinggi bewarna putih berdiri tegak menopang balkon dan sebagian atap. Sembari berjalan, ia disambut oleh satpam dari ruangannya sebelah pagar utama.
"Kak Mazira ada di rumah?" tanya Tivany pada satpamnya.
"Nona kedua baru saja pulang dari kampusnya," jawab pria yang diajak gadis itu bicara.
Tanpa berucap terima kasih atau apa, Tivany langsung pergi meninggalkan satpam. Gadis tersebut memang sedikit berbeda, ia lebih dibiarkan bebas oleh keluarganya. Bahkan keluar ke klub malam pun tidak ada yang melarang di usianya yang masih belum delapan belas tahun.
Membuka pintu berukuran tiga kali lipat dari tinggi tubuhnya membuat Tivany sedikit kesusahan. Namun, ada beberapa asisten rumah tangganya yang sudah bersiap diri di belakang pintu. Setelah kedua penutup lubang rumah itu terbuka, gadis tersebut tanpa sungkan serta terima kasih lagi, langsung berjalan ke arah sofa tamu.
Terlihat dua wanita berusia dua puluh dua tahun tengah duduk dengan menyilangkan kakinya. Lalu memangku sebuah iPad dengan menggeser seusai memandanginya beberapa menit. Satu lagi wanita tersebut merapatkan kakinya saat duduk di sofa, lalu bersandar terlentang di bantal-bantal sofa. High heels warna merah masih digenakannya. Iya, tak lain adalah wali kelas Lyliu, Rawa dan Tivany.
"Kak Mazira, ada yang ingin aku omongin." Tivany menghampiri mereka berdua, tetapi ia tidak langsung duduk.
"Tentang gadis baru di kelasmu itu? Aku sudah tahu," timpal wanita berusia dua puluh dua tahun tersebut sembari meletakkan iPad-nya di atas meja kaca.
"Pasti dari Kak Syua, ya?" tanya kembali Tivany.
"Siapa lagi?" celetuk wanita yang merupakan wali kelasnya.
Gadis seusia Rawa langsung menampakkan ekspresinya lesu. Ia mengembuskan napas kasar dan kesal. Duduk di samping wanita yang dipanggil Mazira olehnya. dirinya merebahkan tubuh, merenggangkan otot-otot beserta segala unek-unek yang tersimpan sedari tadi.
"Kalian ini kenapa?"
Tivany dan Mazira langsung menoleh pada wanita yang menggunakan high heels warna merah. Namanya, Syuadina Putri Wijaya. Dia menduduki posisi paling atas sebagai pewaris kekuasaan nanti jika waktunya tiba. Lalu bagian paling tengah dari mereka bertiga yaitu Syakiren Mazira Wijaya. Mazira sekiranya berusia sama dengan Belva.
Kemudian terakhir yaitu Syaghira Tivany Wijaya, putri bungsu dari keluarga Wijaya. Ketiganya memang terlahir perempuan. Namun, perlakuan orang tua mereka terhadap Tivany sangat berbeda dari keduanya. Faktor orang tuanya yang sibuk dengan urusan perusahaan, gadis paling kecil itu lebih banyak tidak dipedulikan.
"Mau aku bikin sengsara gadis kecil tersebut?" Syuadina mengisi keheningan dengan kalimatnya.
Tivany dan Mazira langsung tersontak kaget. Mereka berdua membulatkan matanya serta menoleh pada wanita yang sedang menyeruput jus jeruk. Sambil melepas sepatu high heels warna merah dari kakinya, ia meninggalkan sepenggal kalimat sebelum beranjak pergi dari sofa.
"Akan aku bantu agar gadis tersebut bisa sedikit sengsara. Namun, aku tidak bisa jika harus menggiringnya untuk dikeluarkan. Karena Zian, merupakan ponakan dari pemilik sekolah itu."
Syuadina meninggalkan kedua adiknya. Mereka berdua hanya terdiam. Hening mulai hadir lagi di antaranya. Mazira menekuk bibirnya melengkung ke atas. Kedua matanya menatap ke bawah dengan kesal. Menyadari hal itu, Tivany langsung bergidik ngeri. Gadis SMA tersebut memiliki firasat buruk kalau hanya berduaan saja dengan Mazira. Tidak salah, belum beberapa detik memikirkan hal itu, anak tengah keluarga Wijaya langsung mencetuskan serangkaian katanya.
"Gue nggak mau tahu! Lo harus singkirin gadis sialan itu!"
"Kenapa harus gue?" timpal Tivany.
"Karena gue capek! Setengah tahun nunggu Zian putus dari Luvy, kemudian empat tahun nunggu dia move on. Bayangin, hampir lima tahun gue nungguin dia." Mazira meninggikan suaranya.
"Mundur woi! Biar gue bisa sama Rawa!" Lontaran kalimat dari Tivany membuat kakak keduanya semakin naik pitam.
"Kaga! Diem Lo, ya! Urusan kedua saudara itu, gue nggak akan mundur. Bagaimanapun juga, yang bakal nikah pasti gue duluan," bentak Mazira pada adiknya.
"Jadi, maksud Lo, gue harus nungguin sampai karatan?"
Tivany terlanjur kesal mendengarkan kalimat kakaknya. Ia langsung menghentakkan kakinya dan bergegas menaiki tangga menuju kamarnya. Walau Mazira masih mengoceh, gadis itu tak mempedulikannya. Anak kedua dari keluarga Wijaya ini memang banyak bicara dibandingkan dengan kakak atau adiknya.
Mazira langsung membuang napasnya kasar. Kemudian mengambil segelas jus jeruk yang sedari tadi belum ia sentuh. Meneguknya sedikit saja, jus jeruk di gelas kaca tersebut dilemparnya ke lantai. Pecahan kaca terhempas bebas ke mana-mana. Para pembantunya datang. Wanita berusia muda tersebut malah semakin marah karena mendapatkan beberapa pertanyaan.
"Dulu Luvy, sekarang Lyliu. Kenapa Zian tidak pernah melihatku selama ini?" gumamnya.
Tanpa menjawab satu pun, langsung pergi dengan lagaknya yang kesal teramat dalam. Ruang tamu menjadi sangat rusuh dan acak-acakan. Banyak pecahan kaca tersebar bebas di ubin. Karena banyaknya pembantu di rumahnya, Mazira tidak khawatir untuk membersihkan pecahan kaca tersebut.
🎐
Lyliu dan Rawa telah memasuki kamarnya masing-masing. Mereka bergegas membersihkan badan kemudian meletakkan buku dalam tas di meja belajar. Selembar kertas poster yang didapatkan gadis itu dari pemberian Rawa sebelum pulang tadi, tidak lupa ia keluarkan dari tasnya.
Baru beberapa detik duduk dan membaca poster kecil di tangannya, ganggang pintu kamar asisten rumah tangga bergerak ke bawah. Terlihat seorang pemuda memasuki ruangan. Lyliu sedang fokus membaca tanpa memedulikan seseorang tersebut. Karena ia tahu, pemuda itu tidak lain adalah Rawa.
Gelas kaca berisi air putih diletakkan Rawa di samping tumpukan buku dekat dengan siku Lyliu. Rawa merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Gadis itu tak menoleh atau bahkan meriliknya dari ujung mata. Menyaksikan hal tersebut, Rawa berkacak pinggang dan membuang napasnya kasar.
"Fokus sekali, Nona."
Lyliu masih terdiam tidak menghiraukan adik tuannya. Pemuda itu mengambil sebuah novel bersampul warna putih bercampur biru bernuansa laut di tumpukan buku. Lalu membukanya secara acak sambil berjalan ke arah ranjang, kemudian duduk di atasnya. Beberapa kali Rawa berdahem kecil.
"Mao, Kau tidak yakin dengan lomba itu? Seratus persen aku yakin Kau bisa. Beberapa kali masakan yang kau hidangkan, lebih lezat dibanding masakan lestoran atau hotel berbintang."
"Aku hanya ingat ibu." Lyliu terdiam lesu.
"Ibumu?"
"Beliau dulu banyak didukung untuk mengikuti lomba memasak seperti ini. Namun, ibu memilih tidak mengikuti sama sekali. Karena dengan menyajikan semangkuk mie ayam penuh kaldu untuk pelanggan di kedainya. Menjadi kebahagiaan dan kepuasan tersendiri tanpa harus berkompetisi."
Rawa berdiri, beranjak dari ranjang menuju kursi yang diduduki oleh Lyliu. Meletakkan kembali buku novel yang telah diambilnya tadi. Tangan kanan Rawa dengan lembut membelai surai hitam kecokelatan milik gadis itu. Lyliu spontan terkejut langsung berdiri dari kursi semula ia duduk.
Rawa segera menarik kembali tangannya. Mereka berdua saling berhadapan. Kontak mata sempat dilakukan beberapa detik. Berniat membuyarkan suasana hening, tawa canggung Rawa dilontarkan. Diikuti kedua tangan pemuda tersebut secara cepat mendekap bahu Lyliu. Gadis itu kembali dibuatnya kaget. Belum sempat Lyliu komplain, Rawa lebih dulu membuka perbincangan.
"Akan aku bantu bilang ke kak Zi. Jangan terlalu khawatir, kita 'kan, saudara. Apapun, ceritakan padaku. Ok, Sweet?" Rawa meyakinkan Lyliu sembari menatap tajam kedua netranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mao's Journey [SELESAI]
Teen Fiction[𝙽𝚎𝚠𝚊𝚍𝚞𝚕𝚝 - 𝚁𝚘𝚖𝚊𝚗𝚌𝚎] Andai saja Lyliu patuh pada waktu itu, mungkin ia tidak akan bertemu bahkan tinggal seatap bersama Zian dan Rawa. Terkadang, menjadi gadis bandal adalah opsi yang tepat. Memberikan bentuk energi positif atas kelak...