"Lalu untuk apa gerangan Banyu Wisesa Gananantha datang ke toko milikku ini? Hmm, Nama Banyu terlalu bangus untukmu. Aku lebih suka memangilmu dengan nama aslimu, Bandung Bondowoso." Wanita itu tersenyum sesaat. "Bukankah dengan nama itu kau terkenal di persada tanah Jawa? Tapi jujur, aku lebih senang lagi jika diizinkan memanggil dirimu B3 alias BANDUNG BODOH BONDOWOSO! Hahaha..."
"Wuuuuusss." Tak tahan lagi, Banyu lalu melemparkan piring tembaga besar terdekat ke arah wanita yang tengah tertawa itu.
"Prang.... Jleeeeeb." Wanita itu menepis barang lemparan Banyu dengan sebelah tangan dan entah bagaimana piring tembaga besar malah menancap di dinding belakang toko.
"Ck, jangan lupa membayar biaya renovasinya, Banyu!"
"Kau kehabisan uang, haah?" sindir Banyu tanpa beban. "Menyedihkan! Tidak sekalian kau tagih biaya piring tembaganya juga?"
"Maunya sih begitu tapi sayangnya piring tembaga itu bukan untukmu, Banyu. Pemilik aslinya akan datang... hmm... empat tahun lagi," jawabnya tak lama setelah sesaat tadi menggerakan jempol di tangan kanan menuju ruas-ruas jari yang lainnya. Gerakan mirip orang yang sedang berdzikir dengan jari.
Banyu melangkah santai mendekat ke meja kasir. Sebenarnya bukan meja tapi lemari kaca setinggi sekitar satu setengah meter yang memanjang dari dinding kanan ke kiri. Walau tentu menyisakan sedikit jarak sebagai jalan keluar masuk. Seakan memberi sekat bagian depan toko dengan wilayah pribadi wanita itu sekaligus tempat para pembeli membayar karena bagian atas lemari itu yang seharusnya terbuat dari kayu, malah berupa batu alam putih kemerahan.
Selera wanita ini memang aneh. Wajar sih, manusia juga bukan, Eh.
Wanita di hadapan Banyu bersedekap lalu berkata, "Tadi hantu, lalu nenek tua. Kau bahkan mengakui bahwa aku cantik dan sekarang dengan kurang ajarnya dirimu mengatakan bahwa diriku bukan manusia." Menaikkan sebelah alisnya. "Ckckck, tetap jaga kesopananmu padaku, Banyu. Tak aku sangka hidup kelamaan membuatmu kehilangan tata krama sebagai tamu. Ingat, bagaimanapun levelku jauh di atasmu, kakek tua."
"Lebih tidak sopan membaca pikiran orang lain!" sindir Banyu tak mau kalah.
"Salahmu sendiri yang tak mampu membentengi pikiran. Umur sudah ribuan tahun tapi kesaktian masih segitu-gitu saja. Hmm, atau jangan-jangan itu efek penuaan. Dasar kakek tua cemen!"
Banyu berusaha menahan kekesalan yang rasanya sudah naik ke ubun-ubun. "Lebih baik tidak mengungkit umur karena jika iya, maka kau harus berkaca, nenek tua!"
"Hahaha," tawa renyah terdengar menggema di ruangan. "Jadi apa yang membuat pengusaha sekelas Banyu mendatangi toko kecil milikku ini?" tanyanya sekali lagi.
Banyu berdecak entah untuk keberapa kalinya. "Berhenti main-mainnya. Apa tujuanmu menyuruhku kemari?"
"Siapa yang menyuruhmu datang? Hmm... kalau kata anak muda sekarang, kau itu sedang terkena penyakit 'narsis', Banyu."
"Tiba-tiba menghadiri pesta lalu mengirim surat ke rumah pribadiku." Banyu berkacak pinggang sambil menatap wanita itu garang. "Surat dari daun lotar? Astaga! Kau pikir ini tahun 600-an!" lanjutnya meremehkan.
Iya, wanita inilah yang ditemui Banyu di pesta ulang tahun Samuel Tanuko sekitar seminggu lalu. Memang mereka hanya beradu pandang selama beberapa detik saja. Walau sudah menerka, namun Banyu berpura-pura tidak paham akan kode yang diberikan oleh wanita yang bukan manusia ini. Namun, ternyata tak lama Banyu diberitahu bahwa dia mendapat surat aneh empat hari yang lalu. Surat dari daun lontar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prambanan Obsession (END)
Historische RomanePerjanjian telah dibuat antara Bandung Bondowoso dan pasukan jin. Namun, semesta sepertinya tahu bahwa kegagalan terjadi karena kecurangan yang dilakukan oleh Roro Jonggrang. Roda nasib berputar di luar kendali. Masalahnya, perjanjian gaib tidak dap...