Dara menyesap jus jambu dengan tenang. Pura-pura tenang sebetulnya. Sungguh, dirinya gelisah tapi tak mungkin mengatakannya dengan gamblang.
"Maafin Papi yaa," ucap Sasono sambil memandang lekat putrinya.
Wajah Dara refleks mendonggak. "Kenapa Papi minta maaf?"
Memang Dara sudah berada di rumah sakit selama dua hari. Papi dan Mami tadi datang menjenguk Banyu yang masih tertidur pulas seakan minum obat tidur dua botol. Padahal dari hasil USG maupun tes darah tak ada tanda-tanda konsumsi obat-obatan sama sekali.
Mami sudah pulang duluan sedang Papi masih tinggal. Sepertinya, Papi memang sengaja mengajak Dara ngobrol berdua. Mungkin semacam bicara dari hati ke hati.
Sasono menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Mereka saat ini tengah berada di cafeteria rumah sakit. Duduk berhadapan di meja paling pojok. Berharap mendapat sedikit privacy.
"Papi sudah tua. Umur Papi mungkin tidak lama lagi ja____"
"Pih, jangan ngomong gitu! Dara nggak suka." Dara memotong perkataan Sasono walau sadar itu tidak sopan.
Sumpah, Dara tidak suka mendengar kalimat tadi. Bukannya ucapan adalah doa. Dara memilih berdosa saja dibandingkan ada malaikat yang mengamini ucapan Papinya itu. Rasanya sudut kelopak mata Dara kini mulai berair.
Sebaliknya, bibir Sasono tertarik membentuk senyuman. Tak tersinggung karena yang tadi baginya bukan sikap ketidak sopanan tapi bentuk kasih sayang seorang anak yang takut ditinggalkan oleh orang tuanya. Sungguh, Sasono juga sangat menyayangi putrinya itu. Sasono rela melakukan apapun demi Dara.
Putrinya memang sudah dewasa. Namun, bagi orang tua, sebesar apapun anak tumbuh tetap saja mereka dianggap anak kecil dan butuh perlindungan. Rasanya, ingin memutar waktu jadi yang duduk di hadapan Sasono itu masih putri kecilnya yang memakai gaun motif bunga-bunga dengan rambut dihiasi bando atau jepit warna-warni.
Selalu ada rasa bersalah yang muncul kala berhadapan dengan Dara. Tidak seharusnya Dara dihukum atas kesalahannya. Salahkan saja hasrat primitifnya yang tidak pernah bisa puas akan satu wanita hingga Dara terlahir ke dunia ini.
Semua hanya main-main, bersenang-senang, dan suka-suka. Bebas lepas tanpa harus terikat. Sasono sejak awal menetapkan aturan tegas pada para wanitanya. Dirinya merengkuh kenikmatan, sedang si wanita tentu uang. Win-win solusion.
Namun, prinsip Sasono bertahun-tahun itu ternyata goyah oleh satu wanita. Mojang Priangan yang cantik sekali, Anantia Puspa. Dia adalah sekretaris dari rekan Sasono. Hubungan kerjasama membuat pertemuan dengan wanita itu tidak terelakkan.
Jangan kira Ana jenis sekretaris genit. Tidak sama sekali. Tanpa rok seksi atau belahan dada rendah, dia tetap terlihat memukau. Terlalu cantik malah, hingga Sasono curiga bahwa mungkin nenek atau kakeknya adalah orang asing. Rambutnya memang hitam tapi kulitnya putih dan badannya juga tinggi semampai.
Sasono ditolak namun tak membuat dirinya mundur. Sedikit tekanan dan trick licik, akhirnya Ana berhasil dinikahinya walau secara Siri. Tanpa cinta serta keterpaksaan membuat Ana tak mampu memenuhi ekspektasi Sasono. Kesenangan Sasono setelah menikah hambar karena seolah beristrikan boneka. Hanya fisik yang didapatkan Sasono, bukan hatinya.
Sasono juga berusaha keras mencoba menyenangkan Ana. Uang, pakaian bermerek, perhiasan, hingga property nyatanya tidak mampu membuat Ana senang apalagi mencintainya. Di peraduan yang dihabiskan mereka berdua, hanya Sasono yang berusaha sedangkan Ana pasif dan malah cenderung apatis.
Kesal akan perilaku Ana membuat Sasono menjauh. Cih, memang Sasono tidak bisa mendapat wanita lain apa? Harap diketahui, banyak wanita yang bersedia membuka pahanya lebar-lebar untuk seorang Sasono Darma Atmodimedjo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prambanan Obsession (END)
Historical FictionPerjanjian telah dibuat antara Bandung Bondowoso dan pasukan jin. Namun, semesta sepertinya tahu bahwa kegagalan terjadi karena kecurangan yang dilakukan oleh Roro Jonggrang. Roda nasib berputar di luar kendali. Masalahnya, perjanjian gaib tidak dap...