【19】Tersudut

2.3K 363 17
                                    

Areta berjalan santai memasuki kawasan rumah Dara setelah memarkirkan mobilnya di parkiran. Bersenandung pelan sambil melangkah namun berhenti saat berpapasan dengan para pekerja. Bahaya jika dirinya dikira gila.

Kedatangannya juga tidak ada hubungannya dengan urusan pekerjaan. Namun, Dara sejak kemarin hanya membalas chat seadanya. Menjawab dengan satu huruf untuk pertanyaan panjang itu sungguh amat menjengkelkan. 'Y' atau 'G' maupun sebuah emoticon sama sekali bukan jawaban yang memuaskan. Apa Dara pikir chat itu semacam soal pilihan ganda jadi hanya butuh satu huruf antara A, B, C, D, atau E untuk disilang?

Maka siang ini Areta datang karena takut Dara sedang ada masalah. Mungkin mencemaskan kesehatan Om Sasono yang memang dua pekan lalu masuk rumah sakit. Bisa saja beliau kambuh lagi atau semacamnya.

"Dara ada di mana, Tia? Di studio lukis?" tanya Areta beruntun pada salah satu ART yang memang masih muda.

Areta itu sudah tidak dianggap tamu lagi karena buka pintu sendiri, mencari makan sendiri walau tidak mencuci piring sendiri juga. Sejak dulu Dara lebih banyak berada di rumah seorang diri karena orang tuanya terlalu sibuk. Apalagi semenjak kakak Dara yaitu Mas Indrayana menikah maka rumah ini makin sepi.

Keberadaan ART serta penjaga keamanan tentu tidak diperhitungkan. Memang di sini ada banyak orang tapi karena mereka bukan keluarga jadi rasanya tetap saja berbeda. Bude Tatik yang adalah kepala pelayan juga sudah pensiun. Wanita paruh baya itu dekat sekali dengan nona mudanya jadi ketiadaannya makin membuat Dara sendirian.

"Ada di kamar." Tia lalu agak berbisik, "Belum makan siang, ini sudah jam 2. Bisa sekalian bantu bujuk biar mau makan?"

Alis Areta naik satu. "Apa kesehatan Om Sasono menurun lagi?"

"Bapak sudah sehat. Tadi pagi juga pergi ke kantor seperti biasa."

"Berarti Tante Farah juga nggak di rumah?"

"Iya, Ibu pergi ke yayasan."

"Oh." Areta menganggukkan kepala tanda mengerti. "Aku ke kamar Dara dulu!" ucapnya lalu melangkah menjauh.

Cuma butuh waktu kurang dari 5 menit bagi Areta untuk menuju kamar Dara. Teknologi itu sudah semestinya dipergunakan sebaik mungkin. Areta juga sedang tidak ingin membakar kalori dengan menaiki tangga ke lantai tiga jadi memilih menggunakan lift.

Seperti biasa, lantai tiga lebih sepi dibanding tempat lain. Areta mengetuk kamar Dara pelan walau tak mendapat jawaban. Tidak mau ambil pusing, dirinya lalu membuka pintu. Kepalanya melonggok ke dalam namun ruangan tampak kosong. Berhubung Tia bilang kalau Dara ada di kamar maka Areta masuk tak lupa untuk menutup pintunya kembali.

Tidak ada suara air terdengar dari kamar mandi jadi kemungkinan Dara tak berada di sana. Areta kembali melangkah makin dalam. Di kejauhan gorden bergerak pelan tertiup angin karena pintu kaca terbuka.

Menghela napas pelan karena akhirnya bisa menerka lokasi keberadaan Dara. Dia pasti sedang duduk-duduk santai di beranda sedangkan ART di bawah dibuat pusing karena nonanya tidak mau makan. Majikan dan segala kelakuannya.

Areta mengerutkan dahi saat sudah melihat Dara. Putri bungsu keluarga Atmodimedjo sedang duduk bersila di kursi gantung rotan. Bukan itu yang membuat Areta terganggu melainkan apa yang sedang dilakukannya.

Dara memang tadi tersenyum sesaat padanya lalu kembali menyuapkan ice cream Haagen Dazs lagi ke mulutnya. Ini bukan soal diet sehingga Dara dilarang makan makanan berkalori tinggi. Dara tidak butuh diet hanya agar tetap langsing.

Sebagai model maka badan yang proporsional cenderung kurus adalah andalannya. Bosnya itu mirip 'bihun' alias putih, tinggi, langsing. Dari photo sudah jelas terlihat bahwa sejak kecil hingga dewasa, Dara itu tidak pernah mempunyai berat badan berlebihan apalagi obesitas. Setahu Areta, Dara malahan susah gemuk.

Prambanan Obsession (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang