【59】Terbayang

1.5K 183 42
                                    

Beberapa hari sebelum kejadian.

Dara melangkah tenang dalam balutan pakaian berwarna hitam. Hitam, kelam sekelam perasaan hati Dara sejak kemarin. Selangkah demi selangkah menuju tempat peristirahatan terakhir Sasono Darma Atmodimedjo.

Memang bukan pertama kali Dara datang ke sini, namun bisa dibilang kali ini bukan hanya rasa sedih yang dirasakannya tapi juga perasaan bersalah. Iya, bersalah karena bagaimanapun Dara masih terkait dalam peristiwa kematian Papi. Banyu itu tunangan Dara.

Genggaman tangan Dara pada buket bunga mawar putih menguat. Dirinya duduk bersimpuh di samping makam. Tidak ada lagi taburan bunga menutupi makam seperti awal prosesi pemakaman. Rapi dan bersih. Hanya ada buket bunga besar di dekat nisan.

Papi itu paling tidak suka sesuatu yang berantakan. Sepertinya Mami merealisasikannya di tempat ini juga. Bukan tidak dipedulikan tapi justru menyesuaikan keinginan serta kebiasaan Papi.

"Dara datang lagi, Pih," ucap Dara sambil meletakkan buket bunga miliknya.

Tangan Dara menyentuh permukaan nisan. Jika biasanya Dara akan langsung membaca beberapa surah seperti Al Fatihah, Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas serta doa kubur. Namun kali ini Dara malah diam membisu.

Dadanya sesak. Tenggorokannya tercekat. Perlahan air matanya malah menetes. Satu, dua, dan semakin banyak yang jatuh membasahi pipinya. Dara tidak bersusah payah menghapusnya. Tak juga peduli jika orang yang kebetulan berziarah melihatnya atau bahkan mengasihaninya. Demi Tuhan. Dara lelah... Teramat lelah berpura-pura baik-baik saja.

Dara bukan orang yang serakah. Tidak pernah meminta lebih. Mengiklaskan Papi itu berat tapi Dara berusaha. Melepaskan Mami juga berat dan Dara telah melakukannya. Rasanya Dara baru bernapas agak lega karena tidak harus kehilangan kakaknya juga. Namun, kenyataan menghantamnya lagi tanpa ampun dari arah tak terduga.

Tidak pernah terbersit dalam pikirannya jika Banyu yang notabene adalah tunangan Dara turut andil dalam peristiwa meninggalnya Papi. Batin Dara sungguh tidak tenang. Ingin rasanya pura-pura tak tahu tapi tidak mungkin.

"Hiks... Hiks...Da-Dara harus ba-bagaimana, Pih?" suaranya makin tercekat.

Tes.

Tes.

Tes.

Rumput hijau di atas makam perlahan menggelap saat terkena tetesan air. Bukan... bukan air mata Dara. Setetes demi setetes air jatuh dari langit, seakan saling berlomba untuk turun ke bumi. Tetesan air lama-kelamaan membentuk tirai kala hujan makin deras.

Dara? Masih duduk bergeming di samping makam. Matanya perlahan memejam. Ternyata tidak perlu sendirian karena langit seolah menemaninya untuk menangis. Suara rintik hujan juga berhasil menyembunyikan isak tangis Dara.

Cukup lama Dara terlarut. Namun, tiba-tiba tidak ada air hujan yang mengenai tubuh Dara lagi karena ada payung hitam yang melindunginya kini. Dara membuka perlahan kelopak matanya. Pertama yang tampak adalah sepasang sepatu hitam. Orang itu entah bagaimana telah berdiri di samping Dara.

"Kita pulang!"

"Bang Juan ngikutin Dara?" tanya Dara tanpa repot-repot mendongakkan wajah ke atas guna memandang pria yang adalah mantan bodyguard Sasono Darma Atmodimedjo.

***

Kaki Juan terayun secara konstan kala berlari mengelilingi kompleks perumahan elit di kawasan Jakarta Selatan. Otot betisnya tertarik ketat di saat telapak kakinya menghentak jalan beraspal. Langit masih gelap walau fajar sebenarnya sudah terbit. Mungkin hari ini akan mendung.

Prambanan Obsession (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang