Banyu melangkah tenang keluar dari gedung. Tak disangka dirinya mendatangi tempat ini. Citranya sebagai pengusaha yang bersih bertahun-tahun, akhirnya ternoda juga.
"Saya pamit, Pak Banyu." Daru Madji Assegaf agak menganggukkan kepala lalu mengulurkan tangan ke arah client-nya.
"Terima kasih atas bantuannya, Pak," balas Banyu sopan sambil menjabat tangan pria setengah baya itu.
"Memang sudah tugas saya. Kita sudah berada di track yang benar, tapi tetap harus mengikuti prosedur hukum yang sedang berjalan."
"Tentu." Banyu mengangguk tanda paham.
Banyu melangkah berbeda arah dengan lawyer-nya itu. Memandang langit yang kini telah berubah warna menjadi jingga. Entah manusia sedang bermasalah atau sedang bahagia, alam tidak akan pernah peduli. Awan akan terus bergerak, bunga akan tetap mekar dan matahari terus bersinar hingga petang menjelang.
"Tuan." Yudis bergegas cepat mendekati Banyu.
Tadi dirinya tidak diizinkan masuk saat Banyu tengah diperiksa. Tak juga ingin meninggalkan tempat ini tanpa Banyu. Lega karena akhirnya Banyu keluar dari gedung.
"Hmm," balas Banyu seadanya.
"Tuan harus langsung ke rumah Tuan Sasono," ucap Yudis segera.
Langkah Banyu yang ingin segera masuk mobil terhenti. "Saya sedang tidak ingin bertemu dia lagi. Jika dia telepon, cari alasan saja."
Sumpah, kekesalan Banyu kembali saat mendengar nama Sasono-Sasono itu. Jika bukan karena pengusaha licik itu maka Banyu tak akan terjerat kasus. Syukur-syukur, Banyu tidak menonjok wajah Papi Dara itu.
Iya, andai pria itu bukan ayah kandung Dara maka Banyu tidak akan mengampuninya. Banyu paling benci pengkhianat. Memang sudah sedari awal Banyu curiga tentang kerjasama mereka, namun dirinya masih berpikir positif. Ternyata hasilnya positif bermasalah... Hadeeeh.
Yudis menggelengkan kepalanya walau Banyu tak mungkin melihat sebab Tuannya itu sedang berjalan di depan. "Mbak Dara yang menelepon. Handphone Tuan kan memang dinonaktifkan jadi Mbak Dara telepon saya."
Banyu berhenti melangkah lalu menengok ke belakang. "Kamu tidak bilangkan kalau saya di sini?" Menghela napas panjang sebelum melanjutkan perkataannya, "Padahal saya sudah bilang sama dia kalau hari ini ada urusan di Bandung."
Iya, Banyu memang menyembunyikan permasalahannya dari Dara. Dirinya juga tidak mengatakan agenda kegiatan yang sebenarnya untuk hari ini serta hari berikutnya. Menyamarkan lokasi asli keberadaannya karena Banyu tentu masih berada di Jakarta bukan di Bandung. Banyu bukannya tidak mau jujur tapi tak bisa memprediksi keadaannya sendiri. Walau lawyer-nya menegaskan bahwa kemungkinan sangat kecil Banyu ditahan tapi dirinya mesti tetap antisipasi.
"Ini tidak ada hubungannya dengan Mbak Dara tapi Pak Sasono. Beliau___"
Banyu memotong perkataan Yudis. "Jangan bilang kalau Sasono sialan itu memberitahu kasus ini pada Dara?!"
Waduuuh... Astaghfirullah! Batin Yudis. Dirinya juga segera menggeleng-gelengkankan kepalanya. Kali ini pasti terlihat terlihat karena mereka sekarang berhadapan. "Bapak Sasono Darma Atmodimedjo meninggal, Tuan." Yudis mengucapkan dalam satu tarikan napas agar Tuannya paham keadaan serta tidak lagi memaki orang yang sudah meninggal dunia.
"APA?" suara Banyu naik dua oktaf.
Sungguh Banyu shock. Saat bertemu Sasono Darma Atmodimedjo, orang itu tampak sehat-sehat saja. Hmm, agak sedikit pucat sepertinya. Memang Banyu sempat mengumpat dalam hati tapi tidak pernah benar-benar mendoakan agar orang tua licik itu mati. Banyu juga tak lama bersama dia, yaa memang sempat menyalurkan emosinya... sedikit emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prambanan Obsession (END)
Historical FictionPerjanjian telah dibuat antara Bandung Bondowoso dan pasukan jin. Namun, semesta sepertinya tahu bahwa kegagalan terjadi karena kecurangan yang dilakukan oleh Roro Jonggrang. Roda nasib berputar di luar kendali. Masalahnya, perjanjian gaib tidak dap...