Happy Reading...
Sorry for typo, gak sempat baca ulang.Pukul delapan malam, Keluarga kim sedang berkumpul di ruang makan, untuk menikmati sajian makanan korea untuk pertama kalinya, bagi Jisung.
Anak itu sangat bersemangat sekali, menanyakan ini itu pada Irene. Melihat ke antusias an Jisung, membuat hati wanita paruh baya itu menghangat.
"Jie kalau mau makanan yang lain, bilang yaa. Ibu suruh maid untuk membuatkannya," ujar Irene ikut senang.
Jisung memandang sang nenek dengan pandangan berbinar. Betapa beruntungnya dirinya memiliki Irene, saat ini.
"Wahh benarkah?" Jisung tersenyum bahagia.
"Gak perlu. Kalau disuruh buat lagi, maid akan kerepotan."
"Jangan sering menyusahkan orang," pria dingin yang sedari diam, menyimak. Akhirnya menyahut dengan nada datar terkesan cuek.
"Iya ibu. Ini sudah lebih sari cukup," jawab Jisung, kembali menikmati makanannya, namun kini dengan hening. Ia tidak berani lagi untuk berceloteh ini itu.
Irene menghela nafas berat. Kepalanya pening menghadapi sikap Jeno.
Tak. Tak.
Suara langkah kaki, yang terdengar mendekat ke arah mereka. Perlahan, suara itu semakin jelas terdengar. Jisung tak mendengarnya, karena terlalu sibuk memakan makanan yang begitu nikmat, karena ini pertama kalinya dia mencoba.
Sedangkan Irene dan Jeno langsung menghentikan kegiatan makan mereka, saat menyadari yang datang itu adalah Suho, suami dari Irene.
"Mas sudah pulang," Irene langsung menyambut kedatangan sang suami, sebagai isteri yang baik. Ia segera mengambil jas beserta tas yang dibawa Suho.
"Iya."
"Bukannya tadi Jeno, mas lembur?" Irene kembali bertanya.
"Gak jadi," balas Suho.
Suho menatap Jeno yang juga berdiri menatapnya. Kecanggungan terjadi di ruang makan ini. Jeno menundukkan kepalanya, Jeno masih saja tak berani untuk bersikap sebagai seorang anak pada umumnya. Mengingat kesalahan yang pernah ia lakukan, membuat Suho sangat murka padanya.
Tiba-tiba Suho merentangkan tangannya pada Jeno, "Tak mau memelukku, boy?" ujarnya.
Mendengar kalimat itu, Jeno sontak mendongak mendapati Suho yang tersenyum padanya. Maka tanpa memikirkan sekitar, Jeno menghambur memeluk tubuh tegap sang ayah, yang sudah tak muda lagi.
Sungguh, Jeno rindu. Rindu pelukan hangat sang ayah. Selama empat belas tahun, ayahnya sangat enggan untuk sekedar memeluknya, memberikan kata-kata penguat, nasehat dan lainnya. Dan kini, untuk pertama kalinya lagi, Jeno merasa kembali ke masa dulu.
Pelukan terlepas. Jisung memandang mereka dalam diam, namun masih tetap memakan makanannya. Ia gugup, makanya melampiaskannya pada makanan.
"Sopan kah, makan sendiri saat orang lain datang?!"
Suho menatap sinis Jisung. Anak itu seolah mengabaikan kehadiran Suho, dirinya lebih menikmati makanan yang ada di atas meja. Ketimbang menyambut kedatangan Suho.
Jisung menghentikan makanannya, menaruh sendok se pelan mungkin. Agar tak menimbulkan suara sedikitpun. Menelan makanan itu gugup, lalu menatap Suho dengan pandangan takut.
"Aku tidak tahu, dimana sopan santunnya anak ini."
"Menyebalkan sekali, harus tinggal satu atap dengannya," kembali, kalimat pedas Jisung dapatkan dari Suho.
"Mas!" tegus Irene saat melihat sang cucu yang tersinggung. Anak itu bahkan sudah siap menumpahkan air matanya.
"Jangan membelanya Irene! Sudah cukup kamu memanjakan dan membahagiakannya. Dia harus tahu, bahwa disini tak seorang pun yang berharap dia lahir!" pekik Suho dengan suara yang keras.
Tes!
Tak dapat di tahan lagi, air mata itu mengalir dengan cukup deras. Tak ada yang pernah mengerti bagaimana sebenarnya beban yang di tanggung anak itu. Semua orang berfikir jika ia menikmati hidupnya dalam penderitaan keluarganya.
Tapi tak sepatah katapun yang bisa Jisung keluarkan. Ia terlalu takut pada Suho. Andaikan mereka tahu, Jisung juga tersiksa disini. Dia hanyalah seorang anak yang tidak berharap bisa terlahir menjadi bagian dari keluarga ini.
"Lihat! Sangat cengeng!"
"Di bentak gitu saja, udah nangis. Payah!"
Suho menatap tajam pada sosok Jisung yang menangis disitu. Tak ada yang menenangkannya. Bahkan itu Irene, ia juga sama tak beraninya untuk menentang Suho.
"Mas-"
"Irene cukup! Jangan terus membelanya. Dia tidak pantas untuk di bela!"
Hati Jisung semakin sakit, setiap kata yang diucapkan Suho padanya. Pasti akan melukai hatinya. Kakeknya itu adalah orang pertama yang menentang kelahirannya.
Ia begitu tak menyukai Jisung berada di kehidupan Jeno. Karena baginya Jisung adalah beban yang mengakibatkan putranya yang sangat ia banggakan, harus merelakan masa depannya.
Dan beban harus ia singkirkan.
Sedari Jisung kecil, ia tak pernah mau untuk sekedar menemaninya berbicara, menggendongnya. Bahkan saat anak itu menangis dengan suara yang keras, ia tak akan sudi untuk menenangkan Jisung kecil. Hatinya telah menjadi batu untuk Jisung, tak akan bisa anak itu mengambil sedikitpun kepercayaan dan perhatian darinya.
"Mau saya beritahu, siapa ibumu?"
Jisung menatap Suho, bukan karena penasaran ingin mendengar tentang ibunya.
"Ibumu itu adalah seorang jalang. Yang menjebak anak saya, hingga dia hamil dan meminta pertanggungjawaban anak saya. Lalu setelah kamu lahir, kamu di bebankan pada putra saya. Karena wanita jalang itu, kabur dari tanggungjawab!"
Suho menjelaskan sembari memperhatikan raut wajah Jisung yang bertambah sedih.
"Mas! Cukup mas!" Irene berteriak ketika Suho akan kembali berbicara.
Wanita itu juga sama menangis nya dengan Jisung. Ia tidak sanggup melihat cucunya di perlakukan seperti itu oleh suaminya, yang notabenya adalah kakek kandung Jisung sendiri.
"Jangan pernah berpikir, saya biarkan kamu hidup karena kami menerimamu. Tidak! Itu semua karena Irene yang mengancam bunuh diri jika sampai kamu saya buang ataupun bunuh!"
Satu fakta yang baru Jisung ketahui. Ternyata alasan ia bisa tumbuh sampai sekarang, itu karena Irene. Ia mengira jika Jeno lah yang ingin dia mempertahankannya, namun nyatanya bukan. Jeno sama saja dengan Suho.
"Mas, Irene mohon, cukup!" Irene sampai berlutut di kaki Suho. Agar pria itu tak kembali mengatakan sesuatu yang tak seharusnya Jisung tahu.
"Kenapa Irene! Kamu takut. Takut jika saya membongkar tentang kebusukan ibunya itu."
"Asal kamu tahu, seharusnya saya sudah membunuhmu dulu, saat masih berada di kandungan ibu sialan mu itu!"
Irene sangat marah pada Suho saat ini. Seharusnya malam ini menjadi malam bahagia, untuk menyambut kedatangan Jeno dan Jisung. Namun justru sebaliknya lah yang terjadi. Seharusnya Irene tahu, membawa Jisung ke korea adalah hal yang akan terus menyakiti anak itu.
Jisung tak tahan lagi, ia dengan cepat berlari dari ruang makan itu. Bukan ke kamar, melainkan lari keluar dar rumah. Padahal ini sudah malam, dan juga Jisung sama sekali tak tahu bagaimana keadaan tempat ini.
"JISUNG!" teriak Irene dengan suara parau, saat anak itu pergi.
Jeno hanya diam di tempatnya berdiri. Kembali, ia menjadi sebagai patung. Yang seolah tak mengerti apapun, dan hatinya pun sudah membatu.
Suho tak peduli, maka dengan santai, ia mendudukkan dirinya di kursih yang biasa ia pakai.
27 juli 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Duda! (Jeno X Winter Ft. Jisung)
Random"What? Menikah dengan duda!" teriak seorang remaja dengan suara yang keras. "T-tapi... Kalau dudanya setampan dia sih, siapa yang nolak," ucap gadis itu dengan senyuman lebar. Memandangi seorang pria tampan yang tepat berada hadapannya. Ini kisah Wi...