38. Jisung demam

689 72 22
                                    

Setelah berdebat dengan pikirannya sendiri, namun tak menemukan suatu  penyelesaian dalam pikirannya yang bimbang. Ia tak bisa memutuskan sendiri, jalan mana yang harus ia ambil. Hatinya ingin menemui Wendy kembali, namun ia ragu dan merasa takut. Takut jika sang sahabat menolaknya ataupun membenci dirinya.

Irene memilih untuk pulang saja ke rumah, guna mengistirahatkan tubuhnya, dan menenangkan pikirannya yang sedang kacau.

Saat memasuki mansion ini, dilihatnya sang anak sedang duduk di sofa ruang tamu. Sibuk dengan beberapa berkas, dan pandangan yang serius ke arah komputer, di hadapannya. Jeno memang sangat memprioritaskan pekerjaan. Sedari remaja, ia sudah di ajarkan berbisnis, mengurus perusahaan-perusahaan milik sang ayah.

Irene tersenyum, lantas duduk di sofa samping Jeno. Rasanya, ingin sekali ia menceritakan fakta yang ia dengar tadi. Ia ingin mengetahui bagaimana respon sang putra. 

"Jeno," panggil Irene pelan. Jeno tak menjawab, namun mengalihkan tatapannya, berfokus pada Irene yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu.

"Apa kau tau, tadi---"

"NYONYA!"

Kalimat itu terhenti saat tiba-tiba dua orang maid dengan langkah terburu-buru menghampirinya. Wajah mereka menunjukkan kepanikan dan kekhawatiran yang membuat Irene menatap mereka dengan bingung. Bertanya-tanya, apa yang menyebabkan maid ini datang sembari berlari dan nafas terputus-putus.

"Ada apa?" tanya Irene pada keduanya.

"Itu nyonya-"

"I-itu, tuan kecil-"

"ADA APA DENGAN JISUNG!" bentak Irene menatap nyalang keduanya. Kedua maid itu langsung ketakutan karena Irene yang bisa saja marah besar.

"I-itu, tu- an kecil, dia-"

"Katakan yang jelas!" ujar Irene cepat karena kedua maid itu malah berbicara dengan nada gagap, tak jelas apa yang ia maksud.

Salah satu dari mereka menghela nafas, mencoba menetralkan detak jantungnya yang berpacu dua kali lipat, akibat bentakan dari Irene tadi.

"Tuan kecil sakit. Dia demam, nyonya," ujarnya.

Irene tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Maka tanpa berkata apa-apa lagi, ia langsung bergegas dengan langkah cepat menuju kamar sang kesayangan. Kedua maid itu setia mengekor, mengikuti Irene sampai ke kamar Jisung.

Jeno mendengar semuanya, dan Jeno juga tahu. Namun, ia tak ada niatan untuk sekedar melihat keadaan Jisung. Baginya hal itu tidaklah penting, dan yang paling utama baginya hanyalah pekerjaan.

Ceklek!

Setelah sampai di depan kamar Jisung. Irene langsung membukanya dengan cukup keras, dilihatnya sang cucu sedang terbarik, meringkuk di atas kasur.

Suara rintihan-rintihan kecil yang tadi terdengar, langsung berhenti saat menyadari jika yang datang adalah Irene. Jisung hanya tak ingin membuat Irene khawatir padanya, dan kini ia harus bersandiwara bahwa dia baik-baik saja. Dan sepertinya ia harus merajuk pada maid itu, ia sudah mengatakan pada keduanya untuk tidak memberitahu pada Irene jika sedang sakit. Tapi mereka sama sekali tak menuruti keinginannya.

"Jisungiee," Irene langsung mendekat dan memeluk tubuh kurus Jisung. Saat menyentuh kulit anak itu, suhu panas langsung terasa. Juga wajah pucat yang begitu Irene benci.

"Aku gak papa," lirihnya dengan nada suara yang begitu lemah. Sejujurnya kepalanya begitu sakit. Ia sendiri merasa bingung kenapa bisa tiba-tiba demam, padahal tadinya ia baik-baik saja.

"Kenapa gak memberitahu ibu Jika Jisung sedang sakit?!" Irene bertanya mengabaikan kalimat bohong yang Jisung lontarkan tadi.

Mana mungkin Irene akan percaya dengan apa yang Jisung katakan, di saat wajahnya tak bisa berbohong jika ia dalam keadaan tidak baik. Anak itu hanya mencoba menyembunyikan rasa sakitnya.

Mungkin bagi orang biasa, sakit demam tidaklah begitu parah. Namun Jisung yang memang terlahir dengan kondisi tubuh yang lemah, rasa sakitnya bertambah dua kali lipat.

Salah satu penyebabnya juga adalah, Jisung lahir saat ibu kandungnya kecelakaan, di serempet seorang pengendara motor ketika ingin menyebrang. Dan hal yang paling menyakitkan bagi Irene karena Jisung hampir saja tak bisa di selamatkan, bayi yang lahir prematur, hanya berusia tujuh bulan dalam kandungan hampir meninggal.

Dan beruntunglah, Tuhan masih menakdirkan Jisung bersama dirinya, hingga ia sudah berusia empat belas tahun. Itu salah satu alasan mengapa ia begitu takut jika Jisung dalam keadaan sakit. Irene takut kehilangan.

Kembali ke kesadaran,  Irene mengelus rambut Jisung dengan begitu lembut, tak henti ia mengecup kepalanya,  guna memberikan suatu ketenangan, meyakinkan jika Jisung akan baik- baik saja.

"Nak.. Kita ke rumah sakit ya?" pinta Irene yang begitu khawatir. Jika sedang sakit begini, yang menjadi tempat bersandar baginya adalah Irene, karena hanya dia yang ia punya.

Rasanya, saat sakit begini Jisung ingin sekali Jeno mau memeluknya, mau mengkhawatirkan dirinya,  ada di sampingnya untuk menguatkan Jisung. Namun, itu hanyalah impian semata yang tak akan bisa terkabul. Nyatanya, Jeno tak akan sudi melakukan hal itu. Jangankan memeluk, Jeno mau menjenguk Jisung ke kamar saja ia sudah sangat bahagia.

Jisung menggelengkan kepalanya pelan. Ia benci rumah sakit, baginya rumah sakit adalah tempat terburuk untuknya. Namun sayang, Jisung yang memiliki tubuh lemah tak bisa menghindar, bagaimana pun juga ia akan selalu berhubungan dengan dokter.

"Jisung, kalau gak kerumah sakit. Kamu tidak akan cepat sembuh nak. Ibu mau Jisung sembuh, sehat dan ceria kembali."

" Jisung emang mau Appa mu khawatir?" tanyanya.

Irene mengatupkan bibirnya, saat Jisung malah mengangguk tanpa ragu.
Kesedihan semakin menyelimuti hati Irene, masalah datang silih berganti.
Irene harus apa sekarang, mengapa rasanya sangat sulit Jisung untuk mendapatkan kebahagiaan. Perhatian kecil dari Jeno itupun sangat sulit baginya.

"Jisung jangan gitu nak. Pokoknya Jisung harus sehat, jangan banyak pikiran. Biar nanti ibu bantu, untuk Jeno membuka hatinya untuk Jisung ya, ibu janji," ujar Irene yang sebenarnya tak yakin. Tapi yang terpenting sekarang adalah Jisung bisa di bujuk ke rumah sakit, biar bisa cepat sembuh.

"G-gak p-erlu ibu.. G-gini aja usah lebih dari cukup," jawab Jisung dengan terbata.

Karena baginya, percuma juga jika Jeno perhatian padanya tapi tak tulus, hanya karena terpaksa. Dan Jisung tak ingin memaksa apa yang tidak pantas ia dapatkan.

"Kalau Jisung gak mau kerumah sakit, ibu sedih loh. Jisung mau liat ibu nangis karena Jisung demam gini," Irene menatap sendu wajah pucat Jisung.

"P-panggil dokter aja," ujar Jisung yang tak ingin Irene sedih. Baginya sudah cukup banyak air mata yang keluar karena dirinya. Dan Jisung tak ingin melihatnya lagi, ia ingin membahagiakan Irene suatu hari nanti.

Irene tersenyum. Lantas dengan cepat menelpon dokter pribadi yang biasa menangani Jisung. Semoga saja, dokternya tidak sedang sibuk. Helaan nafas lega terdengar, saat dokter itu mau datang.

"Tuhan.. Tolong sembuhkan Jisung ku. Tolong berikan dia kebahagiaan layaknya anak-anak seusianya. Dan bukakanlah pintu hati Jeno, agar ja mau menyadari betapa berharganya Jisung di kehidupan kami."

6 september 2022

Menikah dengan Duda! (Jeno X Winter Ft. Jisung)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang