Jisung memejamkan matanya rapat, dengan pikiran kacau ia mencoba menenangkan sendiri perasaannya. Tak yakin dengan apa yang akan terjadi beberapa detik ke depan. Harapannya, hanya ingin kebahagiaan orang-orang yang disayanginya.
Dia menguatkan tekat, membuka matanya untuk bersiap-siap mengakhiri segala masalahnya. Ini mungkin pilihan buruk, tetapi tak ada pilihan lain. Dan semoga saja Irene tak marah karena keputusannya.
Jisung menatap kebawah, cukup tinggi dan pasti akan sangat menyakitkan. Tetapi setidaknya rasa sakitnya hanya berlangsung beberapa saat saja.Jisung menghembuskan nafas berat, menatap sekitar untuk terakhir kalinya. Ia pun mulai menghitung dari dalam hatinya.
"Satu..."
"Dua..."
"Ti-"
"Ekhm! Mau bunuh diri? Perlu bantuan saya?"
Pertanyaan dari seseorang yang begitu ia kenal, langsung membuat Jisung berbalik dengan gerakan cepat. Niatnya tiba-tiba lenyap begitu saja ketika menatap seseorang yang tengah berdiri tak jauh dari tempatnya. Dengan ekspresi datar dan dingin khas pria yang bisa di sebut sebagai ayahnya itu.
Jeno, pria dewasa yang baru saja menghentikan niatan Jisung untuk beberapa saat. Entah secara kebetulan atau bagaimana tetapi kehadiran Jeno yang tiba-tiba membuat Jisung heran.
Pria dewasa itu seharusnya tak datang. Andai ia tak sampai kesini, pasti saat ini ia sudah tenang.Bukan tidak menyukai Jeno mendatanginya ke kamar, dia bahkan merasa senang. Tetapi mengapa ia harus datang pada saat yang tidak tepat. Seharusnya pria dewasa itu datang saat niatnya telah terpenuhi, bukankah pria itu akan tertawa bahagia?
"Kenapa diam? Lanjutkan saja. Biar saya jadi saksinya."
Suara itu kembali menyapa ke indra pendengaran Jisung. Baru kali ini, Jeno ingin berada di ruangan yang sama dengannya dalam waktu yang lumayan lama.
Salahkah jika Jisung berharap jika Jeno tidak menyetujui apa yang akan ia lakukan? Bolehkah dia berharap Jeno tak ingin ia mati sekarang? Tetapi mendengar perkataannya barusan, juga tatapan dingin tanpa ada kekhawatiran membuat Jisung yakin, memang tak ada dirinya di hati sang appa. Selamanya ia tidak akan bisa meluluhkan hati ayahnya sendiri.
Jisung terdiam terpaku di tempatnya. Tatapan kekecewaan atas respon sang ayah, juga perasaan sakit kembali ia rasakan. Saat sedang sakit seperti ini, dirinya memang menjadi begitu sensitif akan berbagai hal. Jika biasanya ia menganggap biasa, namun kali ini tidak. Jisung berada di masa terpuruknya.
"Kenapa diam? Lanjutkan saja! Apa perlu saya bantu?" suara itu terdengar seperti pertanyaan biasa. Namun, cukup menusuk bagi Jisung. Meski niatnya memang ingin mengakhiri hidup, namun perasaannya menjadi begitu sakit saat mendengar penuturan sang ayah. Begitu tidak berarti nya kah dirinya?
Jisung terdiam terpaku, tak menurut juga tak menjauh dari tempatnya, yang akan menentukan hidup dan matinya. Sebenarnya lompat dari sini, juga tak menjamin jika Jisung akan benar-benar tiada, secara rumah ini juga hanya terdiri dari 4 tingkat. Tapi semoga saja, ini bisa membawanya ke alam bahagia.
Melihat tak ada pergerakan dari remaja itu, membuat Jeno mengernyit bingung. Merasa heran, kemana perginya jiwa Jisung yang tadi begtu berani ingin bunuh diri, kini terpaku, melamun dengan pandangan kosong. Entah apa yang dipikirkan anak itu, Jeno tak bisa menebak.
"A-appa," setelah seperkian detik melamun dengan pikiran yang bimbang. Akhirnya Jisung berani untuk bersuara. Hanya untuk mengatakan sesuatu yang menjanggal di hatinya.
Jeno tak menjawab, namun ia seolah menunggu apa kelanjutan kalimat yang terdengar putus asa dari Jisung.
"Apa kau membenciku?"
Sebuah pertanyaan yang sudah ia ketahui jawabannya. Namun, ia ingin mendengar langsung jawaban dari sang ayah. Mungkin pertanyaannya terdengar konyol, namun Jisung hanya mengatakan apa yang ada di benaknya.
"Mengapa mempertanyakan sesuatu yang tidak penting."
Jawaban Jeno membuat Jisung terdiam sedih.
"Lagipula sudah jelas, kau sudah tau jawabannya," lanjut Jeno dengan nada dingin.
"A-aku hanya ingin mendengar jawaban langsung darimu," ucap Jisung membalas ucapan dingin Jeno.
Terlihat, Jeno memutar bola mata jengah dengan perilaku Jisung. Bisa saja Jeno pergi tanpa menjawab pertanyaan tak penting dari Jisung. Namun mengingat kondisinya yang tak bisa di tinggalkan, membuat Jeno dengan terpaksa harus berada disini.
"Tidak," jawab Jeno singkat.
Jisung tersenyum tipis, lalu kembali melayangkan pertanyaan kedua, "lalu apa kau menyayangiku?"
Jisung menatap Jeno penuh harap. Menunggu jawaban apa yang kiranya Jeno katakan.
"Tidak."
Mendengar kata itu, Jisung hanya mampu tersenyum kecewa. Betapa bodohnya dia yang malah menanyakan sesuatu yang sudah jelas jawabannya. Dia tak di sayang, juga tak di benci. Entah buruk atau baik, Jisung sendiri tidak paham.
Jisung mendongak menatap ke atas, mencoba menahan agar air matanya tidak jatuh. Ia tidak boleh terlihat lemah dan memilukan di hadapan Jeno. Ia harus terlihat kuat meskipun ia begitu rapuh.
"Jika seandainya aku mati saat ini-
Apa kau akan bahagia atau sedih?"Lagi pertanyaan aneh Jisung lontarkan pada Jeno. Jisung sendiri hanya ingin tahu apa benar ia memang tidak pernah menjadi bagian dari hati Jeno, apakah ia hanya di anggap orang asing, sesuatu yang tak di harapkan, dan hanya sebagai penghancur masa depannya dahulu.
Jeno sendiri memilih diam tak menjawab. Ia sendiri bimbang, tak tahu bagaimana perasaannya jika Jisung benar-benar bunuh diri di hadapannya. Tanpa bisa ia cegah dan hanya bisa menyaksikan.
Sedih atau bahagia? Sepertinya dua kata ini sudah ia alami. Di masa kecilnya ia begitu bahagia. Namun setelah lahirnya Jisung maka kebahagiaan itu berbuah menjadi kesedihan yang tiada tara nya. Ia tak menganggap Jisung sebagai sumber semua masalah dan perubahan dalam hidupnya. Karena Jeno sadar, disini dia juga salah karena lalai di masa lalu. Meski karena jebakan dari para mantan sahabatnya, namun ia sudah berjanji akan menuruti permintaan Karina sebelum wanita itu memutuskan untuk pergi.
Melihat tak ada respon dari sang ayah, Jisung tahu jika ayahnya hanya tak ingin menjawab. Tapi apa susahnya mengatakan jika ia akan bahagia? Bukankah itu perkataannya yang pernah Jisung dengar beberapa waktu lalu? Namun ternyata Jeno lebih memilih untuk tak mengatakannya.
"Appa, aku punya pertanyaan. Tolong appa jawab untuk kali ini."
"Kau tau kan, saat ini aku berniat bunuh diri dengan melompat dari sini. Jika kau tidak datang mungkin saat ini aku sudah tenang. Pergi untuk selamanya," ucap Jisung, dan Jeno hanya menatap tanpa minat mendengar kata-kata Jisung.
"Aku ingin tahu, apakah eomma kandungku akan marah ketika suatu hari nanti ia datang, dan aku sudah pergi memilih dengan mati seperti ini?" tanya Jisung dengan mata yang berkaca-kaca siap untuk tumpah kapan saja.
"Tentu saja. Ibu mana yang akan rela anaknya mati dengan cara menyedihkan seperti ini. Bunuh diri hanya untuk orang-orang bodoh. Lagi pula jika dulu ia tahu, bayi yang ia lahir kan ketika tumbuh besar malah bunuh diri, mungkin akan lebih baik jika ia menggugurkan mu saja. Tanpa harus melewati berbagai perjuangan juga malu dari semua orang. Kehilangan masa depan, bukan sesuatu hal kecil, kau tidak akan pernah mengerti. Dia sudah berjuang untuk membawamu ke dunia, dan itu terserah mu, mau mati dengan cara seperti ini, atau menunggunya."
Jawaban Jeno membuat Jisung langsung sadar. Ini cara yang salah, selama ini ia tak sampai pikir bagaimana sang ibu, perjuangan nya dari mulai mengandung, melahirkannya di usia muda. Perjuangannya begitu berat dan seharusnya ia berbakti dan membalas jasanya. Bukan malah berpikir bodoh seperti ini.
"Apa dia akan datang?" tanya Jisung dengan linangan air mata. Tak peduli lagi jika Jeno menatapnya.
Jeno tak menjawab, ia memilih pergi meninggalkan Jisung dalam penyesalan, dan air mata yang mengaliri kedua pipinya. Dan hari ini pun di diisi dengan tangisan Jisung di dalam kamar itu.
8 oktober 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Duda! (Jeno X Winter Ft. Jisung)
Sonstiges"What? Menikah dengan duda!" teriak seorang remaja dengan suara yang keras. "T-tapi... Kalau dudanya setampan dia sih, siapa yang nolak," ucap gadis itu dengan senyuman lebar. Memandangi seorang pria tampan yang tepat berada hadapannya. Ini kisah Wi...