09. ajakan

786 109 17
                                    

Double up, karena mood lagi bagus hari ini. Soalnya lagi sakit, jadi gak ke sekolah, wkkwk

Happy reading, maaf jika banyak typo karena gak sempat baca ulang..

Kedua manusia itu masih berada di tempat yang sama, si wanita yang tak menyerah membujuk agar remaja di depannya ini mau menurut. Bukankah ia melakukan itu juga demi kebaikan si remaja yang belum ia ketahui nama dan asal usulnya itu.

"Hei nak," panggil wanita itu, karena melihat Jisung yang tengah melamun. Melamun tanpa mengenal tempat dan waktu.

Jika saja ini tidak malam dan hujan. Wanita itu akan pergi meninggalkan remaja ber hoodie hitam ini. Namun ia begitu tak tega meninggalkannya sendirian disini. Ia memiliki anak di rumah, dan tentu ia tahu bagaimana rasanya jika anak nya lah yang berada di jalanan dengan derai air mata dan penampilan yang kacau.

Sebagai seorang ibu yang baik berhati lembut, ia bahkan terus menunggu, menemani sampai anak itu puas menangis. Ia membiarkan itu selama si remaja dalam keadaan baik-baik saja. Ia hanya perlu mengawasi jika terjadi sesuatu.

Berdiri dengan memegang payung, sembari menenteng sebuah tas berisi belanjaan. Tadi, ia baru saja dari supermarket, untuk membeli suatu barang. Sengaja ia datang sendiri, ia berfikir tadi tak akan turun hujan. Andai ia tahu, mungkin wanita itu lebih memilih bersantai di rumah, sambil menikmati teh hangat, ditemani dengan obrolan hangat suami dan anaknya.

Namun, wanita itu juga tak tega meninggalkan remaja ini sendirian. Jika terjadi sesuatu, tentu dirinya jugalah yang merasa bersalah. Meski, remaja ini adalah orang asing, ia berhasil menyita perhatiannya.

Cukup. Wanita itu tak bisa tahan lagi. Jisung sudah sangat pucat, tak bertenaga. Dengan segera, Irene menarik Jisung dan membawanya ke suatu halte bisa, yang tak jauh dari posisi mereka. Jisung juga hanya menurut, tak protes.

Bukan hanya Jisung yang basah kuyup disini. Wanita itupun sama halnya. Maka dengan cepat, ia menelpon supirnya untuk datang menjemput.

"Hei, nak. Kau tak apa?" tanyanya.

Sebuah gelengan lemah Jisung berikan. Karena tak tega, wanita itu secara refleks membawa Jisung kedalam pelukannya. Mencoba menghangatkan tubuh sang remaja.

"Tunggu sebentar. Supir akan segera datang, dan aku akan mengantarmu pulang," ujar wanita itu dengan pandangan yang mengisyaratkan kekhawatiran.

"Tidak-"

"Tidak ada penolakan!" ucap mutlak sang wanita sebelum Jisung ingin menolak kembali.

Jisung terdiam. Sebenarnya Jisung bukan menolak ajakan dan kebaikan wanita yang tengah memeluknya ini. Tetapi ia bahkan sama sekali tak tahu dimana arah jalan pulang. Ia tak mengenal tempat asing ini, ia tak sadar seberapa jauh kakinya melangkah.

"Nyonya- saya-" Jisung melepas pelukannya. Lalu menatap wanita itu dengan intens. Meski Jisung dapat merasakan jika wanita ini adalah orang yang baik, tetapi kata Irene ia tak boleh mudah percaya dengan orang. Orang asing yang baru pertama kali bertemu dengannya.

Karena tidak akan ada yang tahu, bagaimana sifat asli seseorang itu. Bisa saja kan, dia bersikap baik namun aslinya ia memiliki niat yang jahat.

"Jangan memanggil saya nyonya. Panggil saja bibi," kembali si wanita memotong ucapan Jisung.

"Maaf tapi kita gak saling kenal. Saya harus pergi," Jisung hendak berdiri, namun kembali di cegah oleh wanita itu.

"Jika tak kenal. Maka harus berkenalan," wanita itu sengaja ingin mengajak Jisung berbicara. Agar dia bisa melupakan sejenak masalah yang tak di ketahui nya.

"Siapa namamu nak?"

Jisung terdiam cukup lama. Lalu menerima uluran tangan wanita ini yang mengajaknya berkenalan.

"Jisung."

"Nama yang sangat cocok denganmu. Pasti ibumu yang memberikan nama indah itu 'kan?" tanya wanita itu dengan antusias.

Jisung tersenyum samar, "Iya itu ibu saya yang memberikannya."

Jisung tersenyum. Namun tidak dengan hatinya yang semaki sakit. Secara tak langsung, ucapan darinya kembali melukai hati Jisung.

"Perkenalkan. Nama bibi Wendi," jawab wanita yang bernama Wendi itu, masih memamerkan senyuman termanisnya.

Hanya anggukan kecil yang Jisung berikan. Dan tak lama, sebuah mobil berhenti di depan mereka. Awalnya Jisung mengira itu adalah penculik, yang katanya sering berlalu lalang di sekitaran sini.

Namun, saat seorang pria turun, dengan membawa payung, lalu membungkuk hormat pada Wendi. Barulah Jisung mengerti jika itu adalah supir dari Wendi ini.

"Maaf saya terlambat nyonya," ujar sang supir sedikit tak enak.

"Tidak masalah. Apa kamu membawa selimut atau jaket. Kasihan anak ini, ia sangat kedinginan. Tubuhnya basah karena ber hujan-hujan," ucap Wendi.

Si supir menatap ke arah remaja di samping Wendi. Seingatnya, ia tak pernah bertemu dengan sosok remaja ini. Namun kenapa Wendi begitu memperhatikannya, bahkan tak peduli dengan dirinya yang juga basah.

Dan dengan langkah cepat, ia kembali ke mobil. Dan disitu terdapat satu jaket, milik anak dari Wendi. Mungkin jaketnya tertinggal saat mengantarnya ke sekolah.

"Ini nyonya," si supir menyerahkan jaket ini.

"Maaf hanya satu."

"Tak apa," lalu Wendi menyerahkan jaket itu pada Jisung. Namun kembali, Jisung menolak.

"Tidak perlu. Anda tidak perlu repot-repot melakukan ini. Saya tidak ingin merepotkan orang lain lagi," ujar Jisung membungkuk hormat, ia bersiap akan berlari. Menerobos hujan, entah kemana ia akan pergi, nyatanya Jisung tak tahu arah untuk pulang menemui Irene. Karena hanya dialah satu-satunya orang yang akan khawatir dan menyambut kedatangannya.

"Tidak nak. Tolong biar bibi antar sampai kerumah. Kalau terus hujan-hujan. Kamu bisa saja pingsan di tengah jalan," ujar Wendi mencoba memberi pengertian.

Jisung berhenti melangkah. Lalu menatap tepat ke mata Wendi. Entah kenapa, Jisung seolah melihat sosok Irene pada Wendi. Kepribadiannya hampir sama dengan sang nenek, yang sering ia panggil ibu.

"T-tapi saya tak tahu jalan pulang," cicit Jisung dengan menundukkan kepalanya.

"Saya orang asing. Saya dulunya tinggalnya di china. Dan kami baru tiba di Korea tadi," jelas Jisung. Ia juga ingin pulang, namun tak tahu bagaimana caranya.

"Apakah ini pertama kalinya kamu datang ke korea?" tanya Wendi.

"Iya."

"Lalu mengapa bisa kamu sampai kesini, jika tak ingat rumahmu dimana?"

"Itu karena saya terlalu emosi. Ini masalah keluarga. Saya kabur dan akhirnya berada di tempat ini. Seharusnya ini menjadi hari yang menyenangkan, namun justru berakhir menyedihkan," Jisung cengengesan di akhir kalimat. Dan berharap semoga Wendi tak mendengar ucapannya barusan.

"Tak membawa ponsel?" tanya Wendi mencoba mencari solusi yang lain.

Namun sebuah gelengan kepala, Jisung berikan. Ia sama sekali tak membawa benda pipih itu. Ia juga lupa menaruhnya dimana.

"Baiklah. Untuk malam ini, kamu ikut saya ke rumah. Saya akan membantu besok untuk mencari rumahmu. Saya janji," ujar Wendi memberikan solusi.

"Tapi saya tidak ingin merepotkan ini," balas Jisung.

"Justru kamu akan membuat saya merasa bersalah, jika saya membiarkan kamu pergi tanpa tahu dimana rumahmu sendiri. Jadi solusi yang tepat, ikut saya dan besok baru saya antar sampai bertemu dengan rumahmu."

Jisung bimbang. Namun ia juga tak punya pilihan lain.

"Tenanglah nak, saya bukan penculik ataupun orang jahat."

"Baiklah," ucap Jisung langsung membuat Wendi senang. Mereka pun segera masuk ke mobil untuk menuju kediaman Wendi.

28 Juli 2022

Menikah dengan Duda! (Jeno X Winter Ft. Jisung)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang