Jeno, pria berusia tiga puluh tahun itu, kini sedang merenung di dalam kamarnya. Kamar yang mungkin sudah sangat lama, tak ia tinggali. Banyak kenangan indah dalam kamar ini, salah satunya kenangan saat ia berusia 5 tahun, mendapat hadiah kamar semegah ini.
Sungguh betapa bahagianya dirinya saat itu, melompat kegirangan dengan cengiran khas berusia 5 tahun. Mengingat itu, senyuman tipis terukir di wajah tampan Jeno.
"Waktu berlalu begitu cepat. Apakah mungkin tidak bisa terulang lagi?"
Ketika itu, ia mengingat sesuatu, maka dengan gerakan cepat. Jeno melangkahkan kakinya menuju sebuah laci yang sudah empat belas tahun lamanya tak ia sentuh ataupun lihat.
Lacinya masih berada di tempat yang sama, masih baru dan tentu saja tak ada sedikit pun yang berubah dari kamar ini, kecuali sang pemilik yang pergi bertahun-tahun.
Ia membukanya. Laci ini tak di kunci, dan mungkin saja Irene pernah membukanya. Ia mengambil sebuah kotak berwarna merah biru itu. Mengusap dengan lembut, lalu membawanya ke ranjang untuk ia buka.
Senyumannya kembali terukir saat kedua matanya menatap sebuah cincin dan surat kecil, yang tulisannya bahkan belum rapih. Itu di tulis tepat delapan belas tahun yang lalu, disaat umurnya masih dua belas tahun.
"Takdir, memang tak terduga. Ini bagaikan mimpi, mimpi terburuk." Jeno membatin dengan perasaan campur aduk.
"Cincin ini cantik, ketika ada di jari manis mu," Jeno membaca sebuah note kecil di dalam kotak itu.
Terkekeh pelan, menertawakan dirinya sendiri. Dulu, ia ternyata se bucin itu pada sosok bayi yang sekarang mungkin sudah remaja menuju dewasa.
Ia mengambil dompetnya, lalu membukanya sembari mengambil dua jenis foto yang selalu ia simpan dan bawa kemanapun ia pergi.
Foto pertama, terdapat seorang bayi cantik yang sedang tersenyum. Foto itu di ambil ketika ia pertama kali bertemu bayu cantik itu. Berjenis kelamin perempuan, seseorang yang seharusnya menjadi kekasihnya kini. Namun Tuhan ternyata memiliki takdir yang berbeda.
Lalu foto yang kedua adalah foto antara dirinya dengan si bayi tadi, yang sudah berusia 3 tahunan. Foto itu di ambil sebelum perpisahan dan kebohongan yang ia ciptakan, untuk menyembunyikan ini dari keluarga sang gadis kecil.
"Maafin aku.... Maaf karena telah melanggar janji ku," lirih Jeno dengan mata yang berkaca-kaca tanpa ia sadari.
Jeno itu bukan tipe orang lemah, menangis karena suatu masalah. Ia bahkan sangat kuat, kuat dalam menjalani hidup dan tanggung jawab yang sang besar bagi anak seusianya.
"Winter... Aku rindu," lirih Jeno dengan sedih, ini pertama kalinya ia mengucapkan kata rindu. Rindu untuk seseorang yang sangat ia sayang.
Bola matanya terlalu fokus menatap pada foto si bayi kecil cantik itu. Kerinduannya mungkin tak akan bisa di gambarkan dengan suatu ucapan lagi, jika saja ia memiliki kesempatan untuk bertemu, setidaknya sekali. Jeno tak akan menyia-nyiakan itu.
"Kini aku kembali. T-tapi aku terlalu pengecut untuk menemui. Janji yang ku ucapkan itu tak akan bisa terwujud. Maafkan aku," isakannya mulai terdengar.
Jika saja kalian tahu, ini adalah pertama kalinya ia menangis lagi. Kembali ke sifat dan karakter aslinya. Setelah bertahun-tahun menjadi sosok yang seolah tegar dan kuat. Namun nyatanya tak ada seorang pun yang bisa bertahan lebih lama, ketika di beri cobaan yang berat. Termasuk Jeno.
"Apakah jika takdir bisa di ubah. Aku berharap bisa bersamamu Winter. Dan kejadian itu aku harap tak akan pernah terjadi," ucap Jeno dengan sedikit keras.
Air matanya sudah mengalir di pipinya. Semua orang berhak menangis tak peduli, dia seorang perempuan atau pun lelaki, berapa usianya. Semuanya tidaklah penting, karena tak ada larangan dalam mengeluarkan air mata.
Tanpa disadari, seorang remaja tengah mengintip dari balik pintu yang terbuka sedikit. Ia melihat dan mendengar jelas apa yang Jeno katakan.
Secara tak langsung, maksud dari ucapan Jeno adalah tidak menginginkan kelahirannya. Ayahnya itu memang tidaklah membencinya, tetapi tidak juga menyayanginya. Jisung jadi bingung bagaimana ia di hidup sang ayah. Apakah berarti ataukah beban.
"Winter, aku ingin mengubah takdir."
Satu ucapan lagi dari Jeno. Berhasil membuat Jisung meremat dadanya yang terasa sakit. Apakah ayahnya itu tak merasa jika kalimat sang ayah menyakiti Jisung, anak tak bersalah disini.
Maka dengan tangisan yang coba ia tahan. jisung perlahan berlalu dari sana. Membawa sejuta perasaan bersalah dalam hatinya. Jeno tak pernah tahu, bagaimana kehidupan Jisung sebenarnya. Yang pria ketahui, bahwa putranya hidup dengan sangat baik.
Kembali ke Jeno, pria tiga puluh tahun itu, menghapus airmatanya dengan kasar, lalu memasukkan kembali cincin, yang tidak akan bisa di pakai oleh Winter.
Jeno mengambil Handphonenya saat panggilan masuk. Dan ternyata itu dari ayahnya, Suho.
"H-halo Appa?" Jeno berusaha mati-matian agar tak mengeluarkan suara isakan sedikitpun. Ia tak ingin ada yang tahu, jika detik ini ia telah menangis, menumpahkan kerinduan yang amat besar pada seseorang.
'Udah sampai,' tanya pria paruh baya itu dibalik telpon.
"Iya Appa. Aku udah sampai di rumah," Jeno menjawab dengan nada sopan.
'Maaf. Appa akan lembur malam ini. Dan kemungkinan kita tak akan makan malam bersama," sesal. Itulah yang dirasakan Suho.
Jeno hanya tersenyum samar. Ayahnya selalu saja menyibukkan diri di kantor, tanpa ada waktu bersama keluarganya di rumah.
"Gak papa Appa." Meski berat, Jeno akan tetap mengiyakan apapun yang dikatakan oleh Suho.
'Baiklah Appa tutup telponnya. Jaga ibumu, ya Jeno?'
"Iya.."
Panggilan terputus. Jeno menghembuskan nafas berat. Sejujurnya jika menyangkut tentang kerinduan. Banyak sekali yang Jeno rindukan. Bukan hanya tentang Winter, namun semua kenangan di rumah ini, termasuk ayah dan ibunya.
Namun satu orang yang juga termasuk bagian hidupnya, justru sama sekali tak ia inginkan untuk hadir. Semua memori yang menyangkut tentangnya sangat ingin Jeno hapus. Termasuk kejadian kelam merenggut seluruh kebahagiaan Jeno.
Perlahan, Jeno membaringkan tubuhnya di kasur king size miliknya. Dengan seprei motif spidermen. memang sedari dulu, Jeno sangat mengidolakannya. Hingga tak heran jika ia mengoleksi barang-barang yang menyangkut spidermen.
"Aku harap, saat terbangun nanti. Aku bisa menjadi diriku empat belas tahun yang lalu. Saat semuanya baik-baik saja."
"Andai tuhan mau mengabulkannya. Aku tidak akan memiliki permintaan lagi, cukup. Cukup dengan mengubah takdir ku yang sekarang. Aku ingin setidaknya tumbuh seperti kebanyak anak lainnya tanpa ada beban dan tanggungjawab," batin Jeno.
Ia pun memejamkan matanya, berharap dapat bermimpi yang indah, setidaknya mimpi yang bisa membawanya ke masa lalu. Masa terindah untuknya.
26 juli 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Duda! (Jeno X Winter Ft. Jisung)
Acak"What? Menikah dengan duda!" teriak seorang remaja dengan suara yang keras. "T-tapi... Kalau dudanya setampan dia sih, siapa yang nolak," ucap gadis itu dengan senyuman lebar. Memandangi seorang pria tampan yang tepat berada hadapannya. Ini kisah Wi...