Di sebuah rumah mewah berlantai dua itu, Irene duduk dengan tangan yang memegang ponsel dan mengarahkannya di depan telinga. Ia sedang berbicara melalui media telpon pada seseorang di seberang sana. Orang yang sama yang telah ia mintai tolong untuk mencari Jisung, saat cucunya itu menghilang beberapa waktu yang lalu.
Ia berbicara dengan serius, pandangannya lurus keluar jendela, mengarah pada dedaunan yang sedang di basahi oleh rintikan-rintikan hujan gerimis. Memang tak terlalu lebat, namun membuat orang-orang malas untuk beranjak keluar. Padahal, tadi ia berencana untuk jalan-jalan sore, sembari menikmati waktu sore, tentu bersama Jisung.
Ngomong-ngomong soal Jisung, anak itu sedang tertidur akibat lelah menangis. Sungguh, hatinya ikut teriris karena Jisung yang kerap kali menyalahkan kehadirannya sendiri, yang selalu ia anggap sebagai penghalang. Juga penyebab masalah yang tak berjalan sesuai dengan harapan keluarganya.
Memang yang di ucapkan Jisung tidaklah benar-benar salah. Namun juga tidak benar. Karena nyatanya manusia tidak akan pernah tahu bagaimana takdir mereka. Semuanya telah direncanakan dan berjalan sesuai dengan takdir Tuhan.
Namun Irene selalu meyakinkan, jika Jisung bukan sebuah masalah. Melainkan anugrah terindah yang telah Tuhan titipkan padanya. Meski kehadirannya tidak di nanti, lahir pada waktu yang tidak tepat tapi Irene tulus menyayangi anak itu.
"Apa yang harus saya lakukan?!" tanya orang di seberang sana. Membuat Irene hampir terlonjak kaget, ia sampai lupa jika sedang berbicara pada seseorang. Dirinya memang sempat melamun beberapa saat.
"Saya ingin meminta tolong padamu lagi, untuk mencari tahu segala hal tentang foto gadis yang ku kirim tadi. Saya ingin mengetahui latar belakang, alamat, dan segala hal tentang gadis itu," Irene berucap dengan nada terkesan dingin.
Sejujurnya, Irene tak ingin melakukan hal ini, mencari tahu latar belakang seseorang. Namun, jika benar apa yang dikatakan Jisung tentang Winter, maka ia bisa berusaha menyusun cara agar memperbaiki kesalahan-kesalahan dan kesalahpahaman antara dirinya dengan Wendy, sahabatnya. Ia ingin menjalin hubungan persahabatan seperti dulu lagi, berharap ini adalah petunjuk dari doa-doanya.
"Baiklah. Tunggu kabar dariku," ucap singkat dari orang tersebut.
Irene tersenyum simpul. Ia tahu, orang inilah yang paling bisa dia andalkan. Ia sudah menganggapnya layaknya saudara sendiri, dia baik dan selalu membantunya. Termasuk, membantu menjaga Jisung saat tinggal di china dulu, tentu tanpa sepengatahuan Jeno, juga Suho.
"Baik, terimakasih banyak."
"Sama-sama."
Panggilan terputus. Irene meletakkan handphone itu sembari kembali berpikir. Di dalam otaknya sudah terpenuhi berbagai pertanyaan-pertanyaan, ia mulai bingung dan bimbang. Entah yang dikatakan Jisung adalah hal benar atau tidak. Ia hanya berharap kedepannya keluarganya bisa merasakan keharmonisan keluarga seperti dulu, seperti empat belas tahun yang lalu.
"Sekarang hanya tinggal menunggu, benarkah dia putrinya Wendy atau bukan... Tapi dia sepertinya gadis yang baik, dan tak masalah jika ku dekatkan saja dengan Jeno. Hanya saja yang menjadi masalah disini adalah jeno yang sama sekali tak bisa melirik wanita lain, kecuali anak dari Wendy itu. Hatinya sudah tertanam di hati Winter, bayi. Jadi ia pun tak bisa memaksa agar Jeno cepat-cepat menikah. Bukan belum siap, tapi Jeno sendiri yang memilih sendiri, mengabaikan Jisung yang sangat membutuhkan cinta kasih seorang ibu."
"Andai Jeno bisa merasakan perasaan putranya, andai ia mau mengerti perasaan seorang anak yang tak berdosa itu. Disini yang menjadi korban adalah Jisung, sejak lahir ia tak pernah melihat bagaimana rupa ibu kandungnya. Ayahnya ada, namun bersikap acuh, juga kakeknya yang sampai sekarang tak menerima Jisung. Entah kapan, mereka bisa sadar, jika Jisung sangatlah berharga, anugrah terindah yang dititipkan Tuhan.." Irene menghapus air mata yang tiba-tiba menetes tanpa ia pinta. Ia menangis mengingat betapa hancurnya hati Jisung, namun selalu di tutupi dengan senyuman.
"Jie.. Kau anak yang paling kuat... Ibu akan selalu mendukung apapun yang kamu mau nak. Termasuk jika keinginan Kamu sekarang adalah ingin mendekatkan Winter dengan ayahmu. Ibu harap dengan ini, kamu bisa merasa bahagia nak. Kamu tetap menjadi kesayangan ibu, lebih dari Jeno. Sehat selalu kesayangan ibu," Irene beranjak dari tempatnya. Keluar dari kamar, untuk membantu maid yang sedang mempersiapkan makan malam.
****
Sedangkan dilain sisi, seorang gadis juga sedang termenung di atas kasur. Ia menatap kosong pada layar televisi yang sedang menyala, yang sengaja ia letakkan di kamarnya. Pikirannya berkelana, memikirkan berbagai hal yang telah terjadi beberapa hari ini.
Ada penyesalan di hatinya, saat ia malah mengacuhkan Jisung, menghindar dari remaja empat belas tahun itu. Padahal dirinya tahu betul, jika penyebab sakit hatinya bukanlah Jisung, melainkan keluarganya.
Winter mulai menerka-nerka, andai ia tak datang, andai ia tak bertemu dengan Jisung dan keluarganya, mungkin ia tak akan segalau ini. Berdiam diri dikamar sejak sampai dirumah. Padahal, hal seperti ini sangatlah jarang ia lakukan, hampir tak pernah.
Namun, ia tak bisa mengelak, jika dihatinya bagai tertusuk ribuan duri. Saat pria yang di pastikan adalah ayah dari Jeno dan Jisung itu mengatakan kata-kata yang tak ingin ia dengar. Dan lagi, fakta jika Jisung ternyata tak se bahagia itu, membuat penyesalan dihatinya berlipat ganda. Seharusnya ia tak bersikap seperti itu, harusnya ia mendengarkan apa yang ingin dikatakannya, bukan malah pergi, mengabaikan.
"Maafin kakak, Jie.. Kakak cuma lagi sensitif aja karena kejadian semalam. Jujur, kakak sedikit syok dengan perkataan ayahmu.. Ku pikir ia sebaik ibumu, tapi ternyata salah," Winter bergumam lirih.
Sembari menghela nafas, Winter tiba-tiba mengingat jika tadi sebelum pulang, Jaemin memberikannya selembar kertas yang katanya dari Jisung. Awalnya, ia berniat untuk membuang kertas itu tadi, tapi Jaemin melarang keras bahkan sampai mengancam. Akhirnya ia membawanya pulang, meski tadi dengan perasaan kesal.
Ia merogoh tas sekolahnya, dan kertas itu ia buka dan mulai membacanya dalam keheningan.
"Kak Winter... Tolong baca ini bentar aja. Jie mau minta maaf, karena kakak mendapatkan perlakuan dan perkataan tak wajar dari ayah. Maaf jika perkataan ayah menyakiti hati kakak. Tapi tolong jangan menghindar dari Jie. Kakak udah aku anggap sebagai kakak sendiri, tolong jangan jauh in Jisung. Dan yang dikatakan oleh ayah tentang Jisung itu memang benar. Jie hanyalah anak pembawa sial, anak yang tak seharusnya hadir di tengah-tengah kebahagiaan mereka. Tapi karena kakak sudah tahu, bagaimana Jie yang sebenarnya. Tolong jangan benci Jie dan kak Jeno.. Jie minta maaf sebesarnya.. Mungkin permintaan maaf Jie tak sebanding dengan yang kakak rasakan. Tapi setidaknya kakak mau baca ini. Jie udah bersyukur banget... Makasih untuk kebaikan kak Winter, Jie tak akan pernah lupa."
Winter terkejut mendengar kalimat yang tertulis dalam kertas itu. Ia mendongak guna agar air matanya tak sampai menetes. Dari kalimat saja, ia sudah dapat merasakan bagaimana ketidakberntungannya menjadi Jisung. Tapi pandai sekali anak itu menutupi kesedihannya. andai Winter tahu dari awal, Mungkin ia tak akan pernah membiarkan Jisung kembali pada keluarganya.
"Jie.. Maafin kakak untuk sikap kakak tadi. Tapi kak Winter janji, kakak akan berusaha menjadi kakak kamu Jie saat di sekolah kakak akan menjagamu dan membuatmu tersenyum. Tapi kalau bisa jadi kakak ipar sih, lebih bersyukur lagi."
3 september 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Duda! (Jeno X Winter Ft. Jisung)
Diversos"What? Menikah dengan duda!" teriak seorang remaja dengan suara yang keras. "T-tapi... Kalau dudanya setampan dia sih, siapa yang nolak," ucap gadis itu dengan senyuman lebar. Memandangi seorang pria tampan yang tepat berada hadapannya. Ini kisah Wi...