08. Hujan

711 108 46
                                    

Di tengah hujan deras yang mengguyur bumi, terlihat seorang remaja tinggi berlari di jalanan sendirian. Dengan memakai Hoodie ia menutup kepalanya dengan tudung Hoodie itu.

Kakinya terus melangkah tanpa arah, pikirannya kosong, dan yang ia inginkan hanyalah bisa sedikit kabur dari kenyataan. Setidaknya untuk sejenak ada yang mau menghilangkan sedikit kesedihan di hatinya.

Jisung, nama anak itu dengan memakai hoodie berwarna hitam Kelam dan suram seperti itulah gambaran hidupnya. Namun yang kebanyakan orang lihat, ia bagaikan sosok pelangi yang selalu ceria akan kebahagiaan.

Tiba-tiba ia jatuh terduduk di aspal. Ia sudah bagaikan anak yang hilang, menangis sendirian. Terpuruk dan hancur. Ia berharap ayahnya tadi akan membelanya, setidaknya memberikan satu saja kalimat, atau kata.

Namun, kekecewaan Jisung semakin besar. Ayahnya hanya terdiam bisu, enggan menatap kearahnya, yang tengah diberitahukan suatu fakta tentang masa lalu itu. Ia tidak marah, hanya saja Jisung tak bisa mengelak jika hatinya sakit, sakit mendengar perkataan Suho yang menyudutkannya. Seolah Jisung adalah sumber masalah yang terjadi.

"A-ppa- Sampai kapan engkau akan menjadi saksi bisu? Sampai kapan kau hanya akan terdiam, menutup mata, telinga dan mulut. Seolah kau tidak mengetahui apapun," isakan pilu terdengar di tengah hujan dan kendaraan yang berlalu lalang.

Seharusnya tak ada yang melakukan ini di tengah hujan yang deras. Seharusnya Jisung tak melalukan hal bodoh yang tentu saja akan membuatnya akan berakhir sakit. Dan tentu Irene akan memarahinya.

"Appa- jika seandainya aku terlahir sebagai adikmu. Kau akan menyayangiku? Apa hidupku akan berakhir bahagia?"

Racau Jisung yang sudah di landa kesedihan yang begitu besar. Ia merasa di kecewakan, atas ayahnya yang tidak pernah mengakui dirinya sebagai ayah. Ia tidak pernah bertindak layaknya orangtua diluar sana.

Saat Jisung sakit, hanya Irene atau maid yang akan mengurusnya sampai sembuh. Dia memang datang menjenguk, namun kembali lagi. Jeno hanya akan bertingkah selayaknya patung, tak memberikan sedikitpun perhatian pada Jisung.

"Appa. Sekali aja. Jisung pengen lihat appa tersenyum karena Jisung."

"Bukan tatapan datar, yang membuat Jisung semakin merasa bersalah."

Tangisannya tak juga berhenti. Bahkan tak peduli pada beberapa pengemudi mobil yang menatap dirinya dengan tatapan iba. Ia hanya ingin meluapkannya tapi tidak di depan keluarganya.

Jika di tanya, Jisung itu pernah melakukan hal seperti ini. Jawabannya tidak pernah. Ia tak pernah membangkang, tak pernah lari jika Suho belum selesai memarahinya. Ia hanya akan diam, meski air mata sudah mengalir dengan sendirinya.

Jisung berharap, semoga saja Irene tak datang untuk mencarinya. Ia tidak ingin membuat neneknya itu terbebani olehnya. Sudah cukup pembelaan Irene demi dirinya.

Namun, isakan Jisung tiba-tiba berhenti. Saat seseorang memayunginya. Ia dapat merasakan rintikan hujan itu tak mengenai tubuhnya. Jisung yakin itu pasti Irene. Ia menemukannya.

"Ibu- ku mohon. Pergilah!" usir Jisung dengan suara yang parau karena terlalu lama menangis.

Namun bukannya pergi, orang itu hanya terdiam di tempatnya. Tak pergi, dan tak juga membantu Jisung bangun dari duduknya di aspal itu.

"Ku mohon ibu. Kakek akan marah, jika melihat ibu disini. Cukup Jie, aja yang dimarahi. Ibu jangan lagi," lagi, Jisung semaki menangis dengan keras.

"Kau tak apa nak?" suara asing. Yang pasti itu bukanlah suara Irene. Itu suara wanita namun sama sekali Jisung tak mengenalinya. Ini pertama kalinya ia mendengar suara lembut itu.

Maka dengan penasaran tingkat dewa, Jisung berbalik. Dan mendongak untuk sekedar mengetahui siapa yang telah berbaik hati peduli padanya.

Dilihatnya, seorang wanita paruh baya, dengan tubuh yang lebih pendek dari Jisung. Ia menatap wanita itu dengan masih banyak air mata di pelupuk matanya.

Bohong. Jika Jisung tak berharap, Irene lah yang tadinya tadi. Tetapi, bukankah ini lebih bagus, Irene tak perlu susah payah untuk selalu menjadi pelindung untuk Jisung. Ia sudah sangat berjasa untuknya. Setidaknya, Jisung ingin memberikan Irene kebahagiaan dan menemaninya di hari tua kelak.

"Hei. Kau melamun nak?" suara lembut itu kembali mengalun. Meski suara kendaraan yang cukup berisik namun Jisung masih tetap bisa mendengar jelas yang di ucapkan wanita itu.

"S-saya gak papa," jawab Jisung pelan.

"Kamu menangis karena apa? Diputuskan pacarmu, atau di marahi oleh orangtuamu?" tanya wanita itu lalu terkekeh ketika melihat tatapan kesal dari si remaja.

"Bukan urusan anda," jawab Jisung mencoba tak peduli.

Wanita itu, berjongkok di hadapan Jisung. Dengan lembut ia membantu anak itu untuk berdiri. Jisung hanya menurut pasrah, ia juga lelah terduduk seperti seseorang yang kehilangan jiwanya.

"Wajahmu pucat. Pasti karena terlalu lama terkena hujan," ujar wanita menatap wajah Jisung yang memang sangat pucat. di tambah wajahnya begitu kelelahan, dan air mata yang tak bisa ia sembunyikan.

"Tidak. Itu karena kulit ku yang putih," ujar Jisung mengelak. Ia tak suka jika ada yang menkhawatirkan keadaannya.

"Tidak. Aku tahu membedakan mana kulit putih, mana yang pucat karena sakit. Bibirmu juga memutih. Kamu kedinginan kan nak," wanita itu tak tega melihat keadaan remaja di hadapannya.

Jisung kembali menggeleng. "Terimakasih atas perhatian anda. Tetapi saya tidak papa, saya masih kuat. Lebih baik anda pulang karena ini sudah hampir larut malam," ujar Jisung sedikit tak enak. Telah tak sopan karena secara tak langsung ia mengusir.

"Seharusnya akulah yang mengatakan itu padamu. Sebaiknya kamu pulang, tidak baik seorang remaja berkeliaran di tempat ini."

"Kenapa?" tanya Jisung tak mengerti. Ia memandangi sekitar, tak ada yang aneh, tak seram dan tak ada hal yang akan membahayakan dirinya.

"Di tempat ini biasanya berkeliaran preman, juga penculik anak. Jika melihatmu sendirian disini, mereka akan menjual mu," ujar wanita itu jujur. Ia sama sekali tak berbohong atau sekedar menakut-nakuti Jisung.

"Anda tak perlu berbohong. Meski ini pertama kalinya aku datang ke korea, dan tak tahu tempat itu. Dan aku pun orang yang mudah di tipu," jawab Jisung tak percaya.

Wanita itu menghela nafas berat ternyata Jisung cukup keras kepala.

"Tak ada yang berbohong disini. Apa yang ku katakan ini benar. Dan juga karena kamu baru pertama kali datang, maka dari itu saya memberitahumu. Agar tak terjadi apapun."

Jisung terdiam. Hatinya bimbang, ragu apakah wanita paruh baya ini orang yang baik atau bukan.

"Orang tua mu pasti khawatir-"

"Gak ada yang peduli," ujar Jisung memotong pembicaraan si wanita itu.

"Maksudnya? Mana mungkin ada orang tua yang tak peduli," ujar wanita itu lagi.

"Tinggalkan saya disini, nyonya. Saya butuh waktu sendiri," ucap Jisung memalingkan wajah.

28 juli 2022

Menikah dengan Duda! (Jeno X Winter Ft. Jisung)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang