Pagi harinya, Jisung terbangun dengan perasaan yang lebih baik. Ia lagi-lagi tersenyum menatap dokter Taeil yang masih menjaganya. Jisung jadi berharap, jika Jeno lah yang ada di posisi itu, meski hanya sekali sebelum ia benar-benar menutup matanya.
'Ternyata masih di dunia ya?' batin Jisung sembari menatap sekitar. Hatinya kembali sakit, tam bisa membayangkan. Jika kemarin tak selamat, dan mimpinya belum tercapai. Memang benar, ia telah berhasil membuat Jeno menikah dengan orang yang dicintainya dulu. Tapi, melihat sikap Jeno yang belum membuka hati pada Winter, membuat Jisung belum rela meninggalkan mereka.
Ia masih memiliki tugas, membuat keduanya bahagia, saling mencintai hidup dengan penuh canda tawa. Kebahagiaan. Ia pun berharap segera mendapat kata maaf dari Suho, dan membuat Irene bisa bahagia tanpa terbebani karena dirinya. Ia selalu merasa bersalah, karena untuk menjaga Jisung, Irene banyak membuang waktu berharganya. Juga terkadang bertengkar dengan Suho.
'Ya Tuhan. Jika seandainya Jie pergi sebelum mimpi itu tercapai, apakah keluarga Jie akan tetap seperti ini? Tak ada keharmonisan?'
Sedari kecil, Jisung selalu iri dengan teman-teman sebayanya. Mereka di antar oleh orangtuanya ke sekolah, menghabiskan waktu bersama keluarga ketika libur. Atau hanya sekedar Makan bersama setiap harinya. Saling menyayangi, itulah impian Jisung yang tak bisa ia dapatkan saat kecil dulu.
Jisung juga menjadi bahan bullyan, banyak yang tak menyukai Jisung. Tapi Jisung di hadapan mereka itu kemah, gak bisa melawan. Hanya diam menerima bahkan hinaan yang benar-benar membuatnya begitu hancur.
Dan lagi, saat ini ia mendapatkan kabar buruk tentang penyakit yang tak bisa disembuhkan. Jisung sudah tak memiliki waktu banyak di dunia, sebentar lagi, perjuangannya akan berakhir. Tetapi yang selalu Jisung pikirkan adalah mimpi-mimpinya yang besar. Tidak bisakah ia pergi setelah semua mimpi itu terkabulkan? Bisakah ia egois meminta pada Tuhan?
Tak sadar, air mata serta isakan kecil, terdengar di ruangan ini. Dokter Taeil juga sudah bangun sedari tadi. Hanya saja, ia tak ingin dilihat Jisung. Sengaja, biar Jisung bisa menumpahkan tangisannya, lukanya, bebannya. Anak itu juga kadang gengsi jika ada yang melihatnya menangis. Dan pura-pura tidur adalah yang cara tepat.
Terhitung sudah lebih dari dua puluh menit Jisung menangis. Taeil langsung bangun, dan pura-pura tidak tahu. Anak itu juga sudah berhenti dan hanya diam entah memikirkan apa.
"Jie,"panggil dokter Taeil pelan.
Jisung menoleh kesamping, menunggu apa yang akan di katakan oleh dokter baik hati itu.
"Sudah lebih baik?" tanyanya.
anggukan kecil Jisung lakukan. Ia memang sudah merasa baik-baik saja sekarang. Sudah tak seperti kemarin yang sangat-sangat menyiksa.
Setelah itu hening, dokter Taeil sibuk memeriksa keadaan Jisung. Dan anak itu memperhatikan jam dinding, yang sudah menunjukkan pukul sepuluh. Melihat, kearah pandang Jisung, dokter Taeil peka lalu dengan tersenyum kecil,"Kamu baru boleh pulang agak sore an."
Jisung menatap dokter Taeil dalam. Ia tak setuju dengan perkataan Taeil. Jisung lupa memberitahu Irene tentang keberadaannya, Jisung takut jika Irene malah mencari dia yang gak ada kabar semalaman.
Melihat Jisung menggeleng kecil, dokter taeil mengerti. Jisung mengkhawatirkan Irene sekarang. Mengingat, anak itu memang tak membawa ponselnya, juga kemarin ia langsung membawa kabur Jisung seolah dirinya adalah penculik. Tapi semalam, ia begitu panik, dan tujuannya datang ke rumah sakit ini segera.
"Dokter mengerti kamu menghawatirkan ibumu. Tapi Jisung, untuk kali ini kamu nurut ya. Kalau kamu pergi sekarang, hal yang lebih buruk bisa terjadi. Kamu gak mau 'kan jika sampai mereka tahu keadaan kamu. Sebenarnya kamu harus dirawat selama satu minggu. Tapi, dokter tahu kamu gak akan mau. Resiko kamu pulang nanti sore pun cukup berat. Tapi, waktu bersama keluarga mu lebih berharga 'kan nak? Bahkan tak memikirkan kondisi kamu sendiri," ucap dokter Taeil menahan tangisnya.
Sebenarnya dokter Taeil pun merasa bersalah. Karena merahasiakan akan penyakit Jisung dari keluarganya. Tetapi apa yang bisa ia lakukan, ia bingung tak bisa berbuat apapun ketika Jisung memohon agar ia ikut serta merahasiakan hal besar ini. Hal yang menyangkut nyawa, entah bagaimana nantinya.
"Nurut ya nak? Nanti sore aja,"ucap dokter Taeil sekali lagi. Senyumnya langsung merekah, saat Jisung mengangguk kecil. Meski sepertinya ia terpaksa.
'Tuhan, jangan kau ambil anak setegar dia. Dia sangat berharga.'
***
Pada pukul empat sore. Jisung yang sudah berganti pakaian biasa. Juga segala peralatan yang melekat pada tubuhnya tadi sudah dilepaskan. Ia senang dan bersyukur masih ada kesempatan untuknya.Dokter Taeil sedari tadi, gelisah dan sangat berat membiarkan Jisung pulang hari ini. Namun, Ia tak bisa menolak permintaan Jisung karena juga akan berpengaruh pada kesehatannya.
"Jisung, sampai di rumah kamu istirahat yang cukup, minum obat teratur. Juga jangan banyak pikiran dulu. Dokter terpaksa membiarkan kamu pulang, saat kondisi kamu belum memungkinkan. Resikonya berat nak. Tapi ingat kata dokter, kalau terjadi apa-apa segera hubungi dokter Jisung. Dokter akan selalu ada untuk kamu nak. Jangan khawatir."
Perkataan dari dokter Taeil membuat Jisung terharu. Ia senang di pertemukan dengan dokter Taeil yang baik. Yang selalu memprioritaskannya. Andai Jeno orang yang seperti itu, mungkin Jisung akan menjadi anak yang paling bahagia. Namun sayang, tak sesuai harapan.
"Terimakasih," ucap Jisung tulus.
"Sama-sama. Oh iya. Dokter akan antar kamu. Dan jangan menolak," ucapan Taeil membuat Jisung yang tadi ingin menolak langsung bungkam. Tapi tak apa, ia jadi lebih terjaga jika bersama Taeil.
Tapi yang selalu dipikirkan Jisung, mengapa dokter Taeil selalu ada waktu untuk dia. Bukankah dia itu seorang dokter. Dokter yang bukan hanya untuk dia. Apa dokter Taeil tak memiliki pasien dirinya? Ingin sekali ia bertanya namun tak berani.
****
Jisung berjalan menuju kerumahnya. Sebenarnya ia yang meminta agar dokter Taeil mengantarnya tak sampai di depan rumah. Agar tak ada yang tahu.
Setelah memasuki halaman rumah, Jisung dapat mendengar suara tangisan dari seseorang yang sangat Jisung sayangi, siapa lagi jika bukan Irene.
Dilihatnya, wanita paruh baya itu berada di teras dengan tangisan yang pilu. Winter setia menenangkannya tapi Irene tetap menangis dengan suara yang memanggil Jisung. Rasanya, ia sangat bersalah. Tak mengabari ibunya itu pasti sangat mengkhawatirkan dia.
Bagaimana Irene tidak khawatir, saat pulang tadi malam. Ia mendapat kabar jika Jisung tidak ada. Di tambah, salah seorang maid malah mengatakan adanya pria asing yang membawa Jisung pergi. Jantung Irene rasanya hampir copot ketika memikirkan Jisung yang diculik. Ia tidak mau kehilangan Jisung, takut jika terjadi sesuatu dengannya.
Mereka sudah berusaha mencari, Winter setia menemani Irene mencari Jisung. Juga Chanyeol dan Wendy yang juga ikut serta. Tetapi berbeda dengan Jeno yang tampak biasa saja. Tak peduli.
"Jie, kamu kemana nak? Tolong pulang. Jangan tinggalin ibu maafkan ibu gak bisa jaga kamu."
Jisung dengan langkah pelan melangkah kearah mereka. Hatinya sesak namun berusaha kuat.
"Ibu," ucapnya pelan setelah sampai di hadapan Irene. Winter bahkan tak menyadari sejak kapan Jisung ada di sana. Namun ia senang akhirnya di tunggu-tunggu datang dengan selamat. Jisung berniat memeluk Irene. Namun sebelum itu-
Plak!
"Dasar menyusahkan!"
***
Lanjut besok ya, hari ini lagi gak enak badan🙏🙏 maaf jika banyak typo.
29 Desember 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Duda! (Jeno X Winter Ft. Jisung)
Diversos"What? Menikah dengan duda!" teriak seorang remaja dengan suara yang keras. "T-tapi... Kalau dudanya setampan dia sih, siapa yang nolak," ucap gadis itu dengan senyuman lebar. Memandangi seorang pria tampan yang tepat berada hadapannya. Ini kisah Wi...