bab 15

9 2 0
                                    

Happy reading 💐

Akhir-akhir ini, entah kenapa Akari selalu merasa ada yang tengah mengawasinya. Dia menjadi lebih waspada ketika hendak keluar kamar asrama. Bukan hanya di luar kamar asrama, bahkan dia juga merasa tidak aman berada di dalam kamar tidurnya.

Rasa takut dan waspada membuat nya semakin tidak tenang. Dan kini dia memohon pada Barra dan Abe untuk menemaninya tidur di ruang tamu. Akari merasa tidak aman jika sendirian di kamar tidurnya, seolah ada sepasang mata yang tengah mengintipnya tidur dan mandi.

Melihat Akari merasa gelisah seperti itu, membuat Barra dan Abe tak tega. Mereka berdua setuju untuk menemani Akari tidur di ruang tamu. Akari tidur dengan kegelisahan yang melandanya, alisnya tertaut bibirnya bergetar. Dia ketakutan perasaan tak enak semakin membuatnya tak bisa tidur. Akari memejamkan matanya dengan erat mencoba untuk tidur, tapi karena rasa tak nyaman itu dia sama sekali tidak bisa tidur.

Dengan nafas tersengal-sengal dia membuka mata. Dia teringat dengan sosok mata tajam bak elang tengah menguntit nya dan mengawasinya. Akari menggigit kuku jarinya cemas. Air matanya mengalir tanpa aba-aba. Rasa takut, cemas, dan gelisah membuatnya merasa sesak, dadanya terasa penuh seperti ada yang menekan dan menghimpit dadanya. Akari kesulitan bernafas, dadanya terasa sakit, badannya panas dingin, kepalanya terasa pening. Keringat dingin mengucur deras di dahinya, perlahan-lahan tangan dan kakinya terasa kebas.

Akari mencoba membuka suara tapi seperti tertahan di tenggorokan nya. Dia terus mencoba membuka suara namun nihil, yang terdengar hanya suara nafasnya yang memburu. Jantungnya berdetak dengan kencang semakin membuatnya kesulitan untuk bernafas. Dia merasa seperti tengah di hadapkan oleh ajal nya sendiri. Seolah dia akan mati di detik itu juga. Akari benar-benar butuh inhaler.

Akari berusaha bangkit dari tidurnya untuk mengambil inhaler. Dia semakin panik ketika tau tangannya menjadi kaku tak bisa dibuka, tangannya mengepal kuat. Tak sengaja Akari menyenggol vas bunga di meja. Membuat suara gaduh yang berhasil membangunkan Abe dan Barra.

Melihat Akari yang tengah sulit bernafas, Barra langsung buru-buru menghampiri Akari dengan raut wajah yang khawatir begitupun juga dengan Abe.

"Akari lo kenapa? Kenapa bisa sampe sesak nafas gini, tenang ya ikutin gue, coba tarik nafas perlahan lalu hembuskan" Barra menuntun Akari agar mengatur kembali nafasnya, direngkuhnya tubuh Akari, sesekali Barra mengusap keringat dingin yang membasahi dahi gadis itu. Abe menggosokkan minyak kayu putih di kaki Akari yang terasa dingin.

"Abe tolong ambilin inhaler punya Akari di kamarnya" tanpa bertanya lagi Abe langsung bergegas mengambil inhaler.

Abe langsung memberikan inhaler yang dia ambil ke Barra. Dia langsung mengambil inhaler dari genggaman Abe dan mendekatkan ke lubang hidung Akari agar gadis itu bisa menghirupnya.

Abe kembali menuangkan setetes minyak kayu putih di tangannya untuk di gosokkan ke tangan Akari. Saat ingin menggosokkan minyak kayu putih ke tangan Akari, dia kesulitan membuka kepalan tangan Akari. Tangan gadis itu sangat kaku, Abe terus berusaha membuka kepalan tangan Akari tapi tidak bisa.

"Ra ini kenapa tangan Akari gak bisa di buka"

"Astaga tangannya kaku banget, badannya juga dingin, tapi dia juga keringetan" Barra benar-benar khawatir dengan kondisi Akari. Akari terus kesulitan bernafas matanya terus terpejam wajahnya pucat.

"Kita bawa ke UKS aja, kalo di bawa ke rumah sakit, pihak sekolah gak akan izinin kita keluar sekolah" ujar Barra dengan raut wajah khawatir.

Abe mengernyit ketika mendengar ucapan Barra. Apa-apaan pihak sekolah tidak mengizinkan siswa yang tengah butuh perawatan darurat untuk ke rumah sakit.

Silhouette (slow update) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang