bab 37

9 3 0
                                    

Happy reading 💐





        Tak ada yang bisa dilakukan dalam ruangan kubus putih ini. Entah sampai kapan dirinya akan terkurung di dalam ruangan putih nan hampa ini. Berada di sini membuat dirinya menjadi merasakan kehampaan yang luar biasa. Rasa kesal, putus asa perlahan-lahan menggerogoti dirinya. Rasa putus asa membuatnya ingin sekali mengakhiri hidupnya di saat itu juga. Bayangkan saja kalian berada dalam ruangan yang tak memiliki jendela semua yang ada di dalam berwarna putih.

Kalian tidak tahu apa yang terjadi di luar, tidak ada matahari, tidak ada suara-suara yang terdengar selain deru nafas sendiri. Dan kalian terjebak didalam sana selama berhari-hari. Tempat ini sangat cocok disebut sebagai neraka kehampaan.

Entah sudah berapa hari Abe tidak membersihkan badannya. Wajahnya terlihat kusam, rambutnya berantakan. Dia lebih terlihat seperti mayat hidup. Pintu
terbuka memperlihatkan sosok seseorang yang kerap kali membuat emosinya meledak-ledak akhir-akhir ini. Abe hanya menatap Langit dengan malas. Tubuhnya sudah tidak lagi bertenaga untuk menghajar pria di depannya itu.

"Selamat pagi, nak. Bagaimana keadaan mu?" Abe mendengus sebal kala mendengar pertanyaan Langit. Sungguh!? Apa pria ini buta? Tidak bisakah matanya melihat keadaan dirinya yang begitu berantakan ini?

Abe tidak berniat menjawab, dia hanya diam sembari memberikan tatapan menghunus ke arah Langit. Entah karena alasan apa; Langit tertawa hingga suaranya menggema di sepenjuru ruangan. Abe tak menggubris Langit, karena di dalam pikirannya sudah tertanam bahwa pria di depannya ini memang sudah tidak waras.

"Baiklah.. sepertinya kau memang tidak suka berbasa-basi. Berdirilah!! Kau akan melihat matahari setelah ini," tuturnya sembari mengulurkan tangannya untuk membantu Abe berdiri. Langit tahu anak ini sama sekali tidak mau makan sejak pertama masuk ke ruangan kubus putih ini. Ah masa bodoh, Langit sudah menyelesaikan tugasnya.

Abe mengernyit mencoba mencerna kalimat yang dilontarkan oleh pria itu. Entah kenapa Abe merasa janggal dengan situasi saat ini. Ragu-ragu Abe menerima uluran tangan pria itu. Banyak pertanyaan yang ada dalam benaknya. Apakah pria ini akan menyiksanya?

Langit mulai membawa Abe keluar dari ruangan tersebut. Abe berjalan mengekori Langit, dengan tangan yang terborgol. Entah kemana pria itu akan membawa dirinya. Abe menatap sekeliling. Tak ada yang menarik hanya lorong putih yang lenggang.

Hingga sampai di lorong ke dua ada beberapa ruangan yang sama seperti tempat dirinya dikurung. Selain itu ada juga beberapa orang yang memakai jas putih seperti seorang dokter yang berlalu lalang. Mereka hanya lewat namun sesekali salah satu dari mereka berbicara dengan Langit. Abe tak begitu peduli. Hingga sepertinya ada sesuatu yang telah terjadi. Orang-orang berjas putih itu mulai berlari menuju sebuah ruangan paling pojok begitupun dengan Langit. Namun sebelum pergi, Langit melepas borgol di tangan Abe.

Abe mengernyit bingung, ada apa sebenarnya dalam ruangan itu. Dia berlari kecil mengikuti Langit. Namun langkahnya terhenti ketika melihat sebuah pintu yang sedikit terbuka memperlihatkan seorang remaja laki-laki dengan baju yang sama seperti yang dia kenakan. Abe berjalan perlahan-lahan mendekati pintu itu sembari melihat ke arah mereka yang masih berlari menuju ruangan pojok itu.

Setelah memastikan kalau mereka tidak akan melihatnya; dengan cepat Abe masuk ke dalam ruangan tersebut. Dia menutup pintu itu dan berjalan mendekat ke arah pemuda yang tengah terduduk di atas kursi sembari menunduk. Pemuda itu terlihat sangat letih, tubuhnya kurus. Tangan dan kakinya di ikat. Abe mencoba berjalan lebih dekat ke arah pemuda itu. Kursi yang di duduki pemuda itu terdapat banyak sekali tombol dan juga kabel-kabel. Ada empat kabel yang ternyata terhubung dengan tangan dan juga kening pemuda itu. Entahlah Abe tidak begitu mengerti.

Silhouette (slow update) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang