bab 20

7 3 0
                                    

Happy reading 💐

⚠️ !! Trigger warning!!⚠️

  BRAKKK

Suara keras dari pintu berhasil membuat gadis kecil yang tengah belajar terkejut. Gadis kecil itu memberanikan diri untuk menoleh kearah sumber suara. Terlihat seorang wanita dengan rambut tergerai, menampilkan wajah garang. Dia tengah memegang selembar kertas ujian milik gadis kecil itu.

Dengan langkah cepat wanita itu menghampirinya. Dia langsung beringsut mundur dengan raut wajah ketakutan. Keringat dingin mulai mengucur di dahinya.

"CEPAT JELASKAN!!! KENAPA NIlAI UJiAN KAMU JADI MENURUN INDIRA DIVYA KIREY???!!! LIHAT !!! KAMU HANYA MENDAPATKAN NIlAI 80 DI UJIAN MATEMATIKA" wanita itu meneriakinya sembari melempar kertas ujian ke arah wajahnya. Dia tidak menjawab perkataan wanita itu, kepalanya terus menunduk. Dia hanya sedang menyembunyikan air mata yang entah kapan sudah mengalir dengan deras di pipinya.

Dia sudah berusaha semampunya, kenapa mamanya tidak pernah puas dengan hasil kerja kerasnya. Dia sudah belajar selama berjam-jam hingga lupa makan bahkan sampai lupa tidur. Mamanya tidak pernah berhenti untuk menyuruhnya belajar.

Dia terus menyuruh Kirei kecil untuk belajar tanpa mengenal waktu. Dia akan memukuli Kirei kecil jika tidak mau belajar atau mendapat nilai yang tidak sesuai dengan harapannya.

"Maaf ma.. Rei udah berusaha semampu Rei" Kirei kecil mulai membuka suara dengan nada yang bergetar, mencoba menahan tangis.

"BERUSAHA?? BERUSAHA APA KAMU HAH. Sepertinya mama sudah terlalu membebaskan kamu Rei, baru sehari mama ngizinin kamu main sama temen-temenmu. Sekarang apa? Nilai ujian matematika mu jadi anjlok"
Wanita itu tak habis pikir dengan anaknya, baru saja dia memberikan kebebasan untuk anaknya tapi ternyata malah berpengaruh dengan semangat belajarnya.

Sepertinya dia terlalu memanjakan anaknya. Tidak! Tidak! Tidak! Nilai 80 tidak cukup untuk menyaingi anak dari teman sosialitanya yang selalu mendapat nilai sempurna. Apa yang akan dia katakan pada temannya mengenai anaknya. Anaknya harus menjadi pintar dalam bidang academic, dia harus memperketat pengawasan dalam proses belajar Kirei.

"Ma...af ma rei cum...maa i..ingi..in tau rasanya ber..ma..in saa..ma temen" ujar Kirei kecil dengan terbata-bata, air matanya terus mengalir. Mendengar perkataan Kirei kecil wanita itu langsung menyeret Kirei kecil ke dalam kamar mandi.

Dia langsung mengguyur badan Kirei kecil dengan air dingin. Kirei kecil meronta-ronta, badannya menggigil kedinginan.

"Ma dingin ma, Rei gak kuat ma" seolah tuli wanita yang bernama Sakura itu tak mengubris setiap ucapan Kirei kecil. Tak sampai di situ saja, setelah puas mengguyur badan Kirei kecil. Sakura langsung melepas ikat pinggangnya dan mulai mencambuki Kirei kecil.

"Ma maaf ma. Ampun ma, sakit ma, tolong berhenti ma. Sakit ma, Rei janji bakal lebih giat lagi belajar nya" Kirei kecil memohon dengan air mata yang semakin mengalir deras. Badannya terasa panas, nyeri, dan perih. Kenapa namanya melakukan hal ini padanya? Apa dia tidak menyayangi nya? Dia tau kalau salah, tapi kenapa harus di pukul? Pertanyaan itu terus memenuhi pikiran Kirei kecil.

Dia menatap kearah mamanya yang terus mencambuki nya, senyum lembut itu tidak dia temukan. Hanya terlihat wajah bengis, Kirei kecil terus meronta-ronta, memohon agar hukuman yang di berikan selesai.

"Kamu gak akan nurut sama mama kalau gak di hukum. Mama akan kasih hukuman lebih kalau kamu masih malas belajar dan nilai mu anjlok" sakura menghentikan aksi memukul anaknya, dengan wajah datar dia menatap ke arah putri satu-satunya.

"Hari ini kamu tidak boleh tidur, kamu harus belajar semalaman"

"Mama hanya ingin yang terbaik untuk masa depan kamu sayang. Mama sangat menyayangimu Kirei" sakura mencengkram dagu Kirei, lalu mengelusnya dengan lembut. Kirei kecil begitu ketakutan, dia terlihat seperti bukan mamanya jika seperti ini. Mama sayang sama Rei?

.........

Kirei terbangun dengan nafas tersengal-sengal. Mimpi itu lagi? Dia mengambil sekotak obat penenang dinakas samping tempat tidurnya. Dia meneguk tiga obat sekaligus, nafasnya terasa berat. Tubuh dan wajahnya bercucuran oleh keringat. Matanya menatap kearah jam dinding, jam 02.30 ini masih tengah malam.

Kejadian itu selalu mengusik nya, tangannya gemetar nafasnya tak teratur. Dia mengambil inhaler untuk mengontrol kembali nafasnya. Tak terasa buliran air bening jatuh dari pelupuk mata. Dadanya terasa sesak.

Dia mulai memukul dadanya yang terasa sakit, setelahnya dia mengelus dadanya. Memeluk dirinya sendiri mencoba memberi ketenangan untuk dirinya sendiri.

"Gapapa Rei, ada gue disini. Lo tenang ya, terimakasih sudah bertahan sampai sejauh ini, maaf kalo gue sering nyakitin lo" dia mengucapkan kalimat itu sembari memeluk dirinya sendiri.

"Mama sama papa beneran sayang gak ya sama gue?" Dia mengatakan sebuah kalimat tanya yang entah dia tanyakan pada siapa?

Sebuah notifikasi mengalihkan perhatian Kirei yang sedari tadi hanya melamun.

Pak Hayam

[Besok ke ruangan saya jam 09.00 ada hal penting yang harus kamu lakukan, jika tidak mau menuruti perintah ku kamu pasti tau konsekuensi nya!!!]

Kirei menghela nafas jengah, ada apa lagi pria tua ini. Dirinya sama sekali tidak pernah merasa tenang. Kirei pikir dengan bersekolah disini dirinya akan tenang dan bebas dari kekangan kedua orang tuanya, tapi ternyata dia salah. Kedua orangtuanya malah menyerahkan dirinya pada pria tua brengsek tak bermoral.

Kepalanya terasa pening dan berdenyut nyeri. Bagaimana cara dirinya bisa melupakan semua kejadian buruk itu? Kapan dia bisa sembuh dengan traumanya?
Semua pertanyaan itu seolah mengambang dalam benaknya.

Dia menghapus sisa-sisa air matanya. Nafasnya sudah mulai kembali membaik, walaupun tangannya masih belum berhenti gemetar. Dia merebahkan kembali tubuhnya agar tidur. Obat yang dia minum tadi cukup untuk membuatnya tertidur dengan tenang.

"Seperti apa sebuah peluk kasih dari kedua orang tua?"

"Gue taunya cuman di pukul"

"Belajar! Belajar! Dan Belajar! Gak ada waktu untuk beristirahat" lirihnya setelah itu mulai memejamkan mata dan tertidur.

Ada orang tua yang terlalu memaksakan kehendaknya pada seorang anak dan membatasi ruang lingkup anak, hingga mereka lupa bahwa anak juga memiliki perasaan. Mereka bebas dan memiliki hak untuk menentukan masa depan. Terlalu keras terhadap anak hanya akan semakin merenggangkan hubungan antar anak.

Orang tua yang egois, menginginkan anaknya menjadi seperti apa yang mereka harapkan. Terlalu fokus dengan impian sendiri hingga menuntut anak untuk mewujudkan impiannya, padahal seorang anak memiliki kecerdasan masing-masing, padahal seorang anak berhak menentukan pilihan mereka sendiri.

Bahkan sampai melakukan tindakan kekerasan hanya karena seorang anak gagal mewujudkan harapannya, lalu dengan enteng mengatakan menyesal telah melahirkan anak. Padahal seorang anak tidak meminta untuk dilahirkan.

Anak itu anugerah yang harus kita jaga dan mendidiknya. Mereka bukan alat untuk kepuasan egomu dengan alibi demi memberikan masa depan yang baik. Sebagai orang tua kita perlu untuk belajar menghargai setiap keputusan seorang anak selama dalam konteks hal positif. Mendukung setiap minat dan bakatnya tanpa menuntut nya untuk bisa di bidang tertentu.

Setiap anak memiliki kecerdasan masing-masing, ada yang cerdas dalam bidang academic ada juga yang cerdas dalam bidang non academic. Jangan heran jika kamu merasa anakmu tidak betah di dalam rumah. Jangan heran jika seorang anak tidak bisa menghormati mu.

Lihat apa yang terjadi dengan pola asuhmu, bagaimana kamu (orang tua) ? Apa kamu sudah memberikan cukup kasih sayang dan rasa aman dalam rumah? Apa kamu sudah menghargai dan mengapresiasi setiap hal yang di lakukan seorang anak, bahkan dalam hal kecil sekalipun?


TBC

Sampai jumpa di bab berikutnya, terimakasih :)

Silhouette (slow update) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang