6. Pergi Pesta

22.7K 1.5K 108
                                    

Lucenzo Biantara, anggota inti Sraker yang paling tertutup di antara yang lainnya. Cowok dengan tinggi 184 cm itu keluar dari Indomaret selepas membeli semua cemilan yang dipesan oleh teman-temannya. Lucenzo menenteng satu kantong plastik di tangan kirinya, sementara satu tangannya lagi ia masukan ke dalam saku jaket.

Sejujurnya, Lucenzo tak ingin membuang-buang tenaga dengan membeli cemilan untuk anggota Sraker. Namun, jika bukan karena Reokla yang menyuruh dirinya untuk membeli cemilan di Indomaret. Lucenzo ogah menurutinya.

Di Sraker, mereka mempunyai satu peraturan mutlak, yaitu menuruti kemauan sang ketua yang masih di batas wajar adalah hal wajib. Reokla mempunyai aura yang mengintimidasi, walau kata orang mereka berdua hampir sama berbahayanya. Akan tetapi, Lucenzo masih menyadari aura yang begitu pekat di diri Reokla.

Reokla lebih berbahaya darinya. Cowok itu licik. Namun demikian, ada satu kunci yang mampu membuka semua isi pikiran Reokla. Louis, dia satu-satunya anggota inti Sraker yang berhasil membaca gerak-gerik Reokla. Louis memang teliti, hal sekecil apa pun akan ia sadari.

Lucenzo mempunyai dua lesung pipi yang jarang ia tunjukkan. Mungkin dalam delapan belas tahun ini, hanya bisa dihitung dengan beberapa jari saja untuk mengetahui seberapa banyak cowok itu tersenyum. Apalagi jika mengharapkan Lucenzo tertawa. Jangan jarap. Lucenzo pernah bilang jika senyum dan tawanya itu mahal, hal itu membuat teman-temannya selalu ingin berlagak muntah.

Lucenzo berjalan di trotoar dengan santai, motornya ia parkirkan di dekat halte yang tak jauh dari Indomaret. Ketika menyadari ada seseorang yang duduk di trotoar sembari memeluk ranselnya, langkah Lucenzo secara spontan berhenti.

Perlu kalian ketahui, Lucenzo adalah tipikal cowok cuek yang tidak peduli akan sekitar. Namun, entah kenapa orang ini mampu menarik sebagian perhatiannya. Lucenzo menyipitkan matanya, seorang gadis dengan seragam sekolah SMA Rauklan sedang duduk di pinggir trotoar, dan jika dilihat lebih teliti lagi Lucenzo memang pernah melihatnya.

Tapi, di mana? Lama terdiam tanpa pergerakan sedikit pun membuat otak Lucenzo perlahan terbuka. Lucenzo akhirnya ingat, dia adalah gadis yang menjadi topik utama mereka saat di rooftop tadi. Tak ingin menebak-nebak lagi, Lucenzo segera mendekatinya, ia harus memastikannya sendiri.

Sagraini berbalik badan saat merasa ada yang menepuk punggungnya, ia menatap bingung cowok di belakangnya. Akhirnya, gadis itu berdiri, mengubah posisinya menjadi berhadapan dengan cowok tersebut. "Kenapa?"

Pandangan Lucenzo terpaku pada wajah Sagraini, gadis ini begitu mirip dengan dia. Lucenzo lantas bertanya, "Lo Sagraini?"

Sagraini mengangkat alisnya satu. Siapa cowok ini? Dan kenapa dia tahu namanya? Sagraini memincingkan mata curiga. "Ya, kenapa?"

Kedua sisi tangan Lucenzo mengepal kencang, matanya menelisik setiap inci wajah gadis itu. Mereka ... benar-benar mirip. Kalau apa yang dikatakan Louis itu benar, maka mereka semua dalam bahaya.

Lucenzo tak mau merasakan rasa penyesalan itu lagi, ia dan teman-temannya mungkin lambat laun akan melupakan kejadiannya. Namun, bagaimana dengan Reokla? Sebagian sisi cowok itu telah rapuh. Jika semua terbongkar, maka Lucenzo tak tahu lagi betapa hancurnya cowok tersebut.

Perlu kalian ketahui bahwa ada satu sejarah yang begitu memilukan bagi Sraker. Kesalah pahaman yang menimbulkan pertikaian hebat itu masih membekas di ingatan Lucenzo. Kalau sampai semua terjadi lagi ... Lucenzo tak bisa membayangkan bagaimana kehancuran itu datang dan menyingkirkan mereka semua.

Agar semua itu tidak terjadi, Lucenzo harus menyembunyikan semuanya. Ya. Dia harus menyembunyikannya, tak ada yang boleh mengetahuinya selain dirinya. Lucenzo menatap Sagraini dalam, sarat akan peringatan. "Jauhin Sraker."

Sagraini mengernyit. "Hah?"

"Jauhin Sraker mulai sekarang!" titah Lucenzo penuh penekanan.

Sagraini berdecak kesal. "Denger, ya. Gue nggak tahu lo siapa, dan gue nggak ngerti sama sekali sama maksud ucapan lo."

"Lo cuman perlu tururin kemauan gue."

Sagraini melipat tangannya di depan dada, seolah menantang cowok itu. "Gue nggak peduli apa tujuan lo bilang kayak gitu ke gue. Tapi, ingat baik-baik. Gue nggak pernah merasa dekat sama Sraker, dan gue pastikan nggak bakal dekatin mereka."

Lucenzo mendatarkan wajahnya. "Gue pegang omongan lo." Setelah itu, Lucenzo berhalan kearah motornya yang terparkir.

Sagraini menatap punggung itu dengan perasaan kesal. "Cowok gila!" umpatnya, "Kenapa sih semua cowok pada nggak waras?! Nggak Reokla, Louis, dan tuh cowok!" Sagraini kembali duduk di trotoar seraya memangku dagunya dengan lutut, gadis itu benar-benar terlihat seperti gelandangan.

Langit sudah menggelap, dan Sagraini masih belum ingin pulang ke rumah. Sagraini terlampau malas hanya untuk melihat wajah keluarganya, tapi ... apa yang harus ia lakukan? Sagraini belum punya teman yang cukup dekat untuk dijadikan sebagai tumpangan. Sagraini mengembuskan napas kasar.

"Sagra!"

Sagraini sontak menoleh ke asal suara, terlihat Atarah berlari kearahnya dengan wajah ceria.

"Lo ngapain di sini? Lo udah miskin, ya, sampai-sampai tinggal di tepi jalan?" cerocos Atarah tanpa dosa.

Sagraini mendatarkan wajahnya. Dari dulu emang udah miskin anj-

"Duduk aja," jawab Sagraini akhirnya.

"Gabut banget lo, Sag. Mending ikut gue, yuk!" Atarah memaksa Sagraini berdiri, gadis itu memeluk lengan teman barunya dengan senyum lebar.

Sagraini mendelik, hendak melepaskan tangan tersebut tetapi dengan segera Atarah mempereratnya. Sagraini mengembuskan napas lelah, pasrah ketika Atarah menarik dirinya.

"Sag, lo bau keringat sumpah," sungut Atarah, gadis itu menghentikan langkahnya lalu menghadap sepenuhnya pada Sagraini. "Lo harus mandi dulu di rumah gue sebelum pergi."

"Mau ke mana sih?" sahut Sagraini malas.

"Temenin gue ke acara ulang tahun sepupu gue."

"Hah?! Enggak-enggak, gue nggak ma-"

Atarah segera menarik tangan Sagraini, seolah tidak menerima penolakan gadis itu. "Udah ikut aja! Pesta ulang tahun doang kok!"

Sagraini mendengus. "Gue nggak mau, Ta! Gue nggak suka ke pesta, mending lo cari yang lain." Sagraini menarik tangannya secara paksa.

Atarah menatap Sagraini dengan tatapan memelas. "Ayolah, gue nggak punya temen selain lo. Mau, ya? Gue janji bakal cepet pulang kok! Yang penting udah ngucapin selamat ultah terus kasi kado, habis itu kita langsung pulang!"

"Tetep aja gue nggak mau, Ta." Sagraini berusaha menolak, ia sangat tidak suka pergi ke tempat seperti itu.

Atarah menekuk bibirnya sedih. "Tega banget sih lo Sa ... masa nemenin doang nggak bisa?"

Sagraini menghela napas kasar, ia baru tahu kalau Atarah se dramatis ini. "Oke. Nggak boleh lama."

Atarah membulatkan matanya sempurna, sedetik kemudian gadis itu melompat-lompat gembira.

Bersambung•

SRAKER ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang