9. Gosip

19.8K 1.4K 171
                                    

Sagraini menatap wajahnya di pantulan cermin, gadis itu meringis pelan melihat kondisin mukanya saat ini. Ia tidak tahu jika dampak begadang semalam akan sebesar ini. Sagraini meraup wajahnya sebelum mengambil ranselnya dan berlalu dari dalam kamar.

Sagraini berjalan melewati meja makan, ia dapat melihat keluarganya yang sedang duduk di meja makan untuk melaksanakan sarapan pagi. Gadis itu tak menoleh sedikit pun bahkan untuk sekedar melihat siapa saja yang telah duduk di sana.

"Sagra, kamu nggak sarapan?" sahut Melora ketika putrinya melewati mereka begitu saja tanpa sapaan hangat.

Sagraini tak menjawab, gadis itu melangkah ke arah rak sepatu lalu mulai memakai sepatunya.

"Lebih baik kamu sarapan dulu, Nak. Semalam kamu tidak makan apa pun, kan? Ini ada makanan kesukaan kamu loh," ujar ayah Sagraini, Ahtan. Pria itu ikut membujuk putri satu-satunya.

Sagraini tetap pada pendirianmya, gadis itu bungkam dan menghiraukan seluruh ucapan yang dilontarkan oleh kedua orang tuanya. Jasvar yang melihat Sagraini seperti itu mengembuskan napas kasar, apa dia masih marah perihal semalam?

"Mereka lagi ngajak lo bicara, Sag. Seenggaknya kalau lo nggak mau sarapan bilang ke mereka, jangan diem aja," sahut Jasvar pada akhirnya.

Sagraini berdiri tegak mendengar ucapan Jasvar, gadis itu menoleh kemudian menatap Jasvar sinis. Sagraini mengalihkan pandangannya kepada Melora. "Nggak usah buang-buang uang dengan beli makanan kesukaan gue, gue nggak mau dianggap beban keluarga yang tahunya buang-buang duit. Jadi gue minta tolong, nggak usah sok baik," tukas Sagraini.

Jasvar membuang sendok makannya dengan kasar sehingga menimbulkan suara yang cukup nyaring. "Jaga mulut lo ya! Bisa nggak sih sopan dikit kalau bicara?! Yang lo ajak bicara itu mama! Bukan temen lo yang seenaknya pakai panggilan sembarangan!"

Sagraini mengepalkan tangannya. "Dia mama lo, Jasvar. Selama ini, cuman lo yang dianggap anaknya."

Jasvar berdiri dari kursi dengan emosi memuncak, sementara Melora menatap kedua anaknya cemas.

"Udah-udah, kenapa malah berantem sih? Ini masih pagi, jangan buat ulah. Kalau Sagraini nggak mau makan yaudah," lerai Ahtan cepat, ia mencegah adanya keributan.

"Dia harus dikasi pelajaran, Pa! Sagraini keterlaluan, dia terlalu kalian manja sampai jadi cewek pembangkang kayak gini!"

"Gue? Manja?" Sagraini tertawa sarkas. "KAPAN MEREKA MANJAIN GUE?!"

Jasvar mencekal pergelangan tangan Sagraini, ia menatap adiknya tajam. "Turunin nada suara lo, sialan," desisnya.

"Gue baru tahu kalau lo bisa akting, Jas." Sagraini tersenyum sinis. "Lepasin tangan lo!" Gadis itu menarik tangannya secara paksa.

"Maksud lo apa?" Jasvar mengernyit seraya menatap Sagraini bingung.

Sagraini mengepalkan tangannya, ia menghapus air matanya secara kasar. "Gue muak sama kalian semua."

Saat Sagraini ingin pergi, Jasvar kontan meneriakinya. "Lo mau ke mana, hah?!"

"Gue mau sekolah," balas Sagraini dingin, "Kenapa? Nyusahin lo lagi?"

Jasvar berdecak. "Balik ke sini! Kita bicarain baik-baik, jangan pergi dengan keadaan marah kayak gitu. Lo kebiasaan tahu nggak?!"

"Bacot," balas Sagraini kelewat kesal, "Marah atau nggak. Itu nggak bakal mengubah keadaan gue, Kak."

Jasvar terdiam. Sagraini akhirnya berlari pergi keluar dari rumah, malas jika harus berdebat lagi.

....

Sagraini tiba di sekolah dengan selamat. Namun, saat ia berjalan di koridor, Sagraini merasa semua murid menatap dirinya. Apa ada yang aneh dengan penampilannya hari ini? Sagraini rasa tidak.


Awalnya, Sagraini masih biasa saja. Namun, ketika ucapan kakak kelasnya terdengar sampai ke telinganya, di situlah Sagraini merasa bahwa ada yang tidak beres. Mereka semua sedang membicarakan dirinya.


"Eh, lo tahu nggak kalau murid baru itu sepupunya Reokla?"

"Serius lo? Gue pikir pacarnya."

"Katanya sepupu jauh sih, gue tahu dari grup angkatan."

"Demi apa?! Jadi kemarin pas di kantin mereka keliatan akrab karena punya hubungan keluarga?"

"Tapi kemarin mereka ngomong nggak kayak sepupu anjir. Reokla kek romantis gitu."

"Masa, sih?"


"Diem-diem, orangnya lewat."

Jadi, berita itu sudah menyebar sampai seantero sekolah? Kalau memang benar. Sagraini dalam bahaya! Bagaimana jika Sraker mendengar berita ini? Habislah dirinya! Sagraini berjalan cepat ke arah kelasnya, kepalanya tertunduk kebawah.


Sial.

Sagraini rasa sekolah ini adalah tempat terkutuk! Bagaimana tidak? Semenjak ia bersekolah di sini, ia mendapatkan banyak kesialan di hidupnya.

"Sagra!"

Itu suara Atarah.

Sagraini menghentikan langkahnya. Ia berbalik, menatap teman sekelasnya sekaligus teman sebangkunya. "Kenapa?"

Atarah menunduk. "Maaf, Sag, untuk semalem."

Sagraini mengangkat alisnya satu, mencoba mengingat sesuatu. Tak lama kemudian, gadis itu tersenyum tipis lalu mengangguk.

Atarah mendongak. "Gue bener-bener minta maaf, semalam gue kelepasan. Perkataan gue jangan di masukin ke hati, ya? Gue kalau lagi teler emang rada-rada gesrek. Jadi nggak usah dipikirin kata-kata jelek gue, sekali lagi gue minta maaf."

"Iya, gue maafin."

Atarah melengkungkan bibirnya ke bawah, gadis itu berhambur ke pelukan Sagraini. "Huaaaa lo banget sih, Saaa ... kan gue jadi terharuuu!"

Sagraini tersenyum simpul.

"Eh ngomong-ngomong, gimana semalam sama Kla? Aman nggak?" tanya Atarah sambil mengurai pelukannya.

Raut wajah Sagraini berubah seketika. Melihat ekspresi Sagraini yang seolah tak suka jika membahas soal Reokla, Atarah langsung cengengesan. "Nggak usah dibalas, ayo ke kelas."


Sagraini mengangguk, ia berjalan duluan ke kelas diikuti oleh Atarah.

"Eh, lo udah tahu tentang ber-"

"Udah," potong Sagraini.

"Maaf lagi ya, Sag. Gara-gara omongan gue kemarin, murid-murid malah gosipin itu padahal cuman bohongan doang."

"Udah takdir."

Bersambung

SRAKER ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang