🌠delon⚡

13 1 0
                                    

Note: typo tandain

"Seneng banget kayaknya manggil gue ganteng," sindir Delon saat melihat bibir gadis itu terlihat sedikit merekah.

Olla yang sadar salah lapak langsung memasang tampang malas. "Pede jangan terlalu tinggi!" sungut Olla sambil memakai kembali kacamatanya.

"Bodo! Btw, lensa lo tebel banget, mines berapa, sih, lo?" tanya Delon penasaran.

Mereka berjalan beriringan menuju taman belakang. Jarang dikunjungi murid di sini, karna tempatnya yang terkenal untuk perkumpulan orang-orang yang sedang ritual ngepet.

"Kanan 4 kiri 4 ½. Ada silinder, kalo kiri gak ada, kanan ada," jawab Olla membuat Delon kaget

"Gilak! Lo kecil gak makan wortel, ya?" tudingnya asal

Olla melotot tak terima. Walaupun bisa dikatakan dia kurang begitu suka dengan sayur orane tersebut, namun bukan berarti dia tidak makan, dan tidak mau makan. Hanya masakan tertentu saja yang ia icip jika ada sayur tersebut.

"Mata lo, noh! Gak pernah kena semprot air cabe, kan!?"

Delon bergidik ngeri membayangkannya, bisa teriak super baday jika itu terjadi pada dirinya. "Ngeri banget omongan lo. Emang lo sendiri pernah ngerasain?"

Mereka duduk berdampingan dan menatap halaman depan yang luas sekali. Ada tumbukan rerumputan yang di balik rumput tersebut terdapat sesajen yang tidak mereka ketahui.

"Gak pernah rasain, tapi pernah praktekin." Delon terpengarah.

"Hah!? Ke orang lo gituin!?" Delon tak habis pikir, bagaimana nasib orang tersebut? Apakah buta? Atau katarak?

Olla tampak bergeser karena merasa risih akan teriakan pemuda tersebut. Bagaimana tidak? Delon teriak tepat di sampingnya, jelas saja telinganya merasa mendengung.

"Lo bisa gak, sih!? Santai aja," gertak Olla. Ia merapikan roknya yang menyikap karena bergeser.

"Lupain aja yang tadi. Gue mau ke kelas." Olla bangkit, dan berniat beranjak pergi. Namun, Delon malah menghalanginya dengan senyum konyol yang sudah terpakir apik di bibirnya.

"Pacarnya dikasih see godbye yang romantis, dong." Dengan senyum menyebalkan menurut Olla, pemuda itu tampak tampil dengan sempurna.

"Gue harap lo gak lupa dasar dari semua ini." Tanpa memperdulikan Delon lagi, Olla berjalan pergi meninggalkan pemuda tersebut dengan sengaja menyenggol bahunya.

Delon menatap punggung gadis itu hingga ditelan dinding. "Tapi bukan fondasi bukan?"

***

"Arkhh anjing!"

Brakk

Nafasnya kian memburu, ia meluruh di balik pintu. Keringat sudah mengucur dan membasahi tubuhnya. Rambut yang semula rapi menjadi sarang burung bila perlu.

"Maaf." Tidak dapat menangis, ia hanya akan bisa berteriak pada ruang kedap suara ini.

Lab IPA 3. Menjadi tempat yang strategis untuk melampiaskan emosinya, perasaannya, dan pikirannya yang kacau balau.

Tempat yang jarang sekali dikunjungi oleh para siswa, karena tempat yang terkenal angker dan kumuh. Nyatanya, setiap praktek semua murid lebih memilih Lab 1 dan 2.

Pada dasarnya, tidak ada alasan yang efesien untuk membuktikan bahwa tempat ini angker dan kumuh. Ruangan yang sama dengan Lab lain, dan perlengkapan yang sama pula.

Dan buktinya itu semua hoax. Tidak ada yang membuat tak nyaman jika berada di sini, tidak ada pula isu penampakan yang dibicarakan oleh para orang terpilih.

Namun, hal lain dari itu. Suatu tujuan, tanpa dasar dan alasan yang jelas akan menjadi sebuah toxic. Merancuni semuanya. Hasil tidak ada, kebohongan yang diterima. Miris

"Diam tak berkutik, tersenyum sok aesthetic."

***

"Anjing lempar gue tai!" teriak Regan emosi. Bola yang berada pada tangan Grady seharusnya dioper ke pemuda manis tersebut, eh malah dioper ke arah musuh.

"Ray, kalo lo gak bisa main mending nonton aja, deh," kesal Regan. Seharusnya tadi yang turun tangan Delon, namun pemuda tersebut sendari pagi menghilang entah ke mana. Nomornya tidak aktif, sehingga tidak dapat kabar apa pun dari pemuda tersebut.

"Anjir! Tadi gue dipaksa suruh turun, pas turun diomel. Emang tai lu pada." Dengan perasaan kesal Grady menendang angin agar dia puas. Jika menendang Alka mana berani dia.

Alka tertawa kecil. "Gak pa-pa, Gan. Sekalian dia belajar main bola gede. Biar gak tenis meja mulu." Perlu diketahui, bahwa Grady ini atlet tenis meja. Sempurna bukan? Tampan, atlet, kaya, dan pintar.

"Serah, deh. Udah sana lanjut." Regan putar balik kembali pada posisi.

Saat ini kelas mereka jamnya olahraga. Karena guru pengajar sedang masa menyeleksi atlet untuk angkatan baru, maka mereka dibebaskan untuk bermain.

Kelas mereka memutuskan untuk anak laki-laki bermain basket, dan anak perempuan bermain takraw.

Jam olahraga juga hampir habis, namun sampai sekarang pemuda tersebut juga belom menampakkan dirinya. Para sahabatnya dibuat bingung, hingga pada akhirnya tetap diam, karena tak tahu ingin mencari ke mana.

"Eh! Itu Delon bukan?" Regan berteriak agar suadara dan sahabatnya dengar. Jarak mereka lumayan jauh.

Mereka semua menoleh, bahkan yang tidak berkepentingan pun ikut menengok. Menatap pemuda dengan seragam almamater tersebut sedang menuruni anak tangga dan fokusnya pada ponsel.

"Dari kelas atas?" tanya Grady keheranan. Kelas mereka berada pada lantai bawah bukan? Untuk apa pemuda tersebut ke kelas atas.

"Ngapel pacarnya (?) Mungkin." Alka melempar bola yang berada tengannya pada teman sekelasnya. Memberi kode bahwa mereka, dia, Regan dan Grady berhenti bermain.

"Olla? Kelas dia, kan, di bawah. Kayak kita," sahut Regan. Benar, kelas mereka memang berada di bawah.

"Gak mungkin ngapel El, sih." Mereka terdiam, dan menatap fokus pada pemuda yang sedang mereka bicarakan kini menggilang ditelan tembok.

"Mana mungkin bloon," sungut Regan kesal.

"Lah? Lo napa jadi emosi ke gue? Kan, gue cuma nebak doang. Kalo bener juga gak salah," bela Grady pada dirinya sendiri yang menjadi sasaran kekesalan Regan.

"Udah. Mending susul Delon." Alka menengahi, dia sedang malas mendengar mereka berdebat, apalagi cuaca cukup panas saat ini.

Mereka akhirnya beranjak untuk menyusul Delon, yang sudah pasti berada di kantin. Namun panggilan teman sekelas mereka membuat langkah terhenti.

"Eh! Ini Raven ditulis apa di jam olahraga?" tanya Anita selaku Sekretaris kelas.

"Terserah lo. Anaknya gak ada pas jam itu, tulis aja sesuai peraturan," jawab Alka, lalu beranjak pergi.

"Lah? Kalian mau ke mana? Masih ada waktu 10 menit, belom istirahat!"

Grady menghembuskan nafas kasar, cerewet sekali mereka ini. "Kami mau ke kantin, udah tulis aja hadir. Orang jelas-jelas kami hadir, tulis hadir." Setelah itu mereka benar-benar meninggalkan lapangan menuju kantin.

Langkah Regan terhenti kala melihat seseorang yang ia kenali sedang berjongkok di dekat pot tanaman, membenarkan letak tali sepatunya. Suadara dan sahabatnya sudah berlalu terlebih dahulu.

Regan tersenyum manis saat melihat orang tersebut dengan lihai merapikan rambutnya kembali dan lanjut melangkah.

"Andai gue kenal lo duluan, pasti sekarang udah beda cerita."

***

Halow! Akhirnya aku up lagi. Terima kasih sudah baca, walau cuma aku yang baca. Tapi gpp

Next besok, ya.

💙💙💙

Queen?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang