Note: typo tandain
"Taruh situ aja, Mas." Affandra mengangguk, meletakkan paper bag pada meja ruang tamu.
"Ini habis ada orang masuk kah? Atau keluar?" tanya Ayyara, memperhatikan kunci rumah yang justru terletak di atas laci dekat ruang tamu, bukan di gantungan kunci seperti biasanya.
Affandra menoleh, mengangkat bahunya tanda tak tahu. "Kakak mungkin," sahut Affandra.
"Bund, Ayah ke kamar dulu, ya. Minta tolong buatkan kopi," pamit Affandra lalu melenggang pergi meninggalkan Ayyara yang kini mengambil alih kunci dan memperhatikannya.
Entah bagaimana, melihat kunci tersebut tiba-tiba dirinya teringat anaknya. Pandangannya beralih pada foto keluarga yang terpajang besar di dinding sana. Di sana, mereka semua tampak tersenyum kecuali satu. Memperhatikan kamera bukan untuk mengekspresikan dirinya, tapi seolah kamera itu adalah musuhnya.
Bukan kesadaran yang terlambat, Ayyara sudah mengerti itu sejak awal. Tapi entah apa yang membuatnya kini tak bisa lewat dari rasa cemas dan khawatir berlebihan terhadap gadis itu. Ayyara berpikir, semua terjadi murni langsung dari takdir. Ayyara tak bisa menyangkal itu, semuanya dari takdir.
Menjelaskan kerumitan itu semua, selalu saja Alana menolak. Bahkan, dua bocah kembar itu sekalian, menolak secara bersamaan. Ayyara hanya mau yang terbaik untuk anaknya, tapi entah mengapa semua ini justru berakhir sepeti ini. Alana yang kian menjauh, Olla yang justru sudah pergi dari istana, dan kini dirinya serta Affandra yang masih mempertahankan rasa kekhawatiran yang terus saja menerpa.
Semua berputar dan berjalan begitu saja. Tak ada yang menduga ini semua bakal terjadi. Akan tetapi, mengapa sampai sekarang tidak kunjung berakhir? Ayyara selalu bertanya-tanya akan hal itu, selalu menantikan itu semua. Namun, bagaimana pun itu. Berakhirnya itu semua, Ayyara sadar akan berakhir juga seluruh dunia anak-anaknya. Bahkan keluarga ini, entah orang sekitar sekalipun.
"Loh, dari tadi ngelamun?" tegur Affandra pada istrinya yang justru berdiri melamun.
Ayyara tersadar dan tersenyum, ia lupa membuatkan kopi untuk suaminya. Padahal jika dihitung, seharusnya waktunya cukup bahkan sisa jika membuat kopi dari jangka waktu Affandra naik ke lantai atas hingga turun.
"Eh, iya. Ini mau dibuat," jawab Ayyara lalu berlalu pergi menuju dapur.
Affandra menyadari itu, istrinya sejak tadi menghindari kontak mata dengannya. Saat di atas tadi, dirinya memuat ulang kejadian apa saja yang terjadi sebelum mereka berdua pergi meninggalkan rumah. Affandra masih mencari tahu penyebabnya, mengulang kembali waktu dan hingga detik ini. Namun tetap saja, ia tak menemukan jawaban apa pun.
Jika bertanya pun percuma. Affandra tau perempuan itu rumit, maka jika tidak mau tambah rumit alangkah baiknya mencari kesalahan diri sendiri dan segera meminta maaf.
Brakk
Suara itu mengejutkan Affandra yang sedang berpikir. Suara pintu mobil yang dibanting, dan Affandra tahu siapa yang datang.
"Kak, dari mana?" tanya Affandra menatap Alana yang membawa satu kantung kresek yang dirinya tebak isinya buku, dilihat dari bentuknya.
"Keluar bentar," jawab Alana, terlihat ingin segera pergi menuju kamarnya.
"Naik mobil?" tanya lagi Affandra. Sebenarnya bukan masalah mau naik apa saja, tapi Affandra hanya ingin mengulur topik pembicaraan.
"Apa lagi? Bukannya dari dulu kami gak boleh naik motor, ya?" Alana kembali bertanya dengan sedikit nada sinis.
Affandra tertegun, bahkan Ayyara yang keluar dari dapur dan mendengar itu ikut merasakannya.
Alana mengidikan bahunya, ia tampak tak begitu peduli akan hal ini. Lalu melenggang pergi, lagian ia butuh tidur saat ini.
"Kak!" panggil Ayyara, meletakkan gelas kopi pada meja dan menyusul Alana yang kini sudah di anak tangga terakhir bagian atas. Dan Ayyara baru menyadari itu, Alana menaiki tangga dengan 3 anak tangga sekalian. Pantas saja sangat cepat.
Saat sudah sampai di depan pintu kamar, terlihat tidak tertutup dengan sempurna. Ayyara tidak begitu paham dengan ini, tapi apakah Alana mengizinkan dirinya masuk dengan tidak mengunci pintu kamar?
Ayyara membuka pelan pintu kamar. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah gadis itu tengkurap di atas kasur dengan bahu bergetar. Ayyara kembali tertegun, jarang sekali melihat Alana menangis.
Mengingatkannya pada masa mereka masih kecil. Sangat kecil, di mana mereka hanya bisa menangis dan menangis. Meminta ini dan itu dengan cara menangis. Itu sungguh menakjubkan.
Otaknya menerka, apa yang membuat Alana menangis, apa dikarenakan percakapan tadi? Jika benar, perasaannya sungguh sensitif. Jika tidak, maka apa?
Ingin Ayyara masuk, tapi ia juga kembali berpikir. Akankah jika ia masuk Alana akan merasa lega, atau justru merasa risih?
Sendari kemarin, kebimbangan menghampiri dirinya. Formasi pada keluarganya tidak seperti dulu, dan kini menjadi lebih tidak terbentuk. Semua terasa ampas.
"Srrtt." Suara Alana yang menarik kembali ingus masuk membuat Ayyara kembali sadar dalam lamunan. Lebih baik dirinya turun saja ke bawah. Alana masih butuh waktu, itu yang ia pikirkan.
"Arkh," erang Alana kesal sekaligus merasa tak berdaya. Isaknya tak bisa berhenti, hatinya terasa sakit, bahkan rasanya benar-benar sakit.
Tak pernah terbayangkan oleh Alana bahwa adiknya akan berbicara seperti tadi. Rasanya benar-benar sakit, bahkan untuk bernafas saja rasanya sulit. Entah harus menyalahkan siapa, diri sendiri, orang tuanya atau adiknya sendiri. Semua terasa buntu, bahkan untuk mencari secuil kebenaran rasanya mustahil.
"Hiks, arkhh!!"
Melampiaskan seluruh rasa emosionalnya pada bantal. Memukul, menggigit, bahkan membantingnya. Merelakan tak semudah kata, hal yang sangat Alana benci. Sangat.
***
Terima kasih jika ada yang baca. Next time, kalo baca janlup vote, ya!
Hargai karya penulis dengan memberi vote, komen, dan nikmati bacaan tanpa kegiatan plagiat!
No copas!
Pembaca yang bijak tau cara bagaimana menghormati dan menghargai penulis karya yg ia baca.
Love you!
KAMU SEDANG MEMBACA
Queen?
Teen Fiction[sebelumnya follow dulu] komen and vote ____________________________ Berubah drastis? Itu lah yang dialaminya, dengan menindas orang hobi baru baginya. Menyenangkan itu yang dia rasakan, rasa puas dia dapatkan. Tidak adanya keadilan yang ia dapatka...