🌠delon⚡

8 1 0
                                    

Note: typo tandain

Red flag?

Delon memperhatikan gadis yang setia ia peluk. Mata saling memandang dengan terpaan nafas yang saling tertukar.

"Kenapa mikir gitu?" tanya Delon, berusaha memahami apa yang diucapkan Olla.

"Gak tau. Awalnya gue merasa aman dan fine aja gituh terima penawaran lo yang ternyata bener gue udah gak dibully lagi. Lagi, lambat laun kenapa jadi beda, ya?" Olla menunduk, menatap lengan Delon yang melingkar pada perutnya.

Apakah ini hanya perasaanya? Ia tak ingin kembali gegabah, dengan menerima Delon benar-benar menerima dan bergantung padanya, itu justru lebih mengerikan ketimbang dibully oleh Eldora.

Delon tersenyum, seakan memaklumi apa yang baru saja diucapkan oleh gadis itu. "Jadi ceritanya lo belum percaya sama gue?"

"Bertahun-tahun gue tinggal sendiri, selama itu gue emang gak percaya sama orang," jawab Olla, berani menatap ke arah wajah Delon yang menegang.

"Selama ini gue?"

"Gue gak percaya lo. Karna juga gue mikir. Dua manusia bisa bersatu jadi kita itu karna sebuah perjanjian yang lo buat, bahkan yang gue gak ngerti apa tujuan asli lo bikin perjanjian ini." Pelukan terlepas, kini dua manusia beda gender itu saling menjaga jarak dengan Delon yang mundur satu langkah.

"Kalo lo gak percaya sama gue, lo gak akan terima perjanjian dari gue yang kata lo, lo gak tau apa tujuan asli gue," tekan Delon, menatap Olla tajam.

"Gue bukan percaya, gue kepepet kemarin. Lo gak rasain jadi gue, gue udah muak. Dan gue juga berharap lo gak rasain itu!" Dengan emosi yang tertahan Olla menjawab. Menarik napas kasar, jangan sampai ia lepas kendali.

"Ya kalo kepepet, terus selama ini gue sama lo jalanin ini semua, lo masih gak yakin sama gue!? LO GAK PERCAYA SAMA GUE HAH?!" Terakhir, emosi Delon meluap saat masih saja mendengar bahwa gadis di depannya benar-benar tidak yakin oleh dirinya.

Olla tersentak. Ia bisa melihat tangan pemuda itu mengepal dengan urat leher yang menonjol, apakah kepercayaannya berpengaruh besar bagi pemuda itu? Jika benar, Olla balik bertanya. Apakah Delon sudah percaya pada Olla dengan memberitahukan tujuan awalnya? Tidak sama sekali. Mereka berdua benar-benar tidak saling percaya.

Tatapan mata itu menatapnya marah, seolah ia sudah melakukan kesalahan fatal. Dengan emosi Delon melangkah pergi keluar.

Olla yang melihat pergerakan itu tak tinggal diam, ikut menyusul pemuda di depannya yang langkahnya lebih lebar.

"Delon tunggu dulu!"

"Hei! Lo kok yang marah, sih?!"

"Woi BANGSAT, ASU! HARUSNYA GUE JUGA BISA MARAH KAYAK LO, TAPI KENAPA GAK BISA SIALAN!"

"Bangsat lo."

Dengan segala umpatan itu, Delon berhenti melangkah, tangannya yang memegang gagang pintu ia lepas dan berbalik menatap Olla yang sedang mengatur nafas akibat jalan menyusul dirinya dan teriak-teriak.

Olla mendekat, menatap wajah itu yang mulai melunak walau masih ada tatapan tajam yang terus menatapnya tanpa henti. "Maaf." Seakan bukan kalimat sakral gadis itu mengucapkannya dengan wajah memelas.

Naif jika dia bilang tak butuh Delon. Entah kebodohan dari mana, hatinya berbicara. Bahwa benar, saat ini ia sudah bergantung pada pemuda tersebut. Kegiatan yang awalnya flat, membosankan menjadi berwarna berkat pemuda tersebut, kehidupan yang selalu terusik menjadi lebih aman karena pemuda tersebut, walaupun saat ini ia masih ada celah untuk merasakan ketidakamanan yang akan menerpa dirinya.

Tiba-tiba sebuah pelukan menyambutnya. Dekapan yang sangat nyaman mampu menghantarkan getaran pada jantungnya dan membuatnya kembali merasakan menggelitik pada perutnya.

Tidak ada percakapan, hanya deru nafas yang terdengar diiringi oleh detak jantung masing-masing. Suasana yang awalnya mencengkram kembali melunak, dengan tangan Olla mengelus sayang punggung tegap pemuda yang berada pada pelukannya.

"Katanya ngantuk?" tanya Olla, memecah keheningan yang tercipta.

Delon mengangguk dalam pelukan. "Banget." Semakin mengeratkan pelukannya.

"Ya udah tidur," jawab Olla, berusaha melepas pelukannya. Lama kelamaan jika pelukan berdiri begini pegal, apalagi badan Delon juga berat.

Delon berdecak saat pelukan terlepas. "Gue tidur sini, ya?"

"Mana bisa, kamar di sini satu doang. Lo kalo mau tidur di karpet. Gue juga gak ada sofa panjang," jawab Olla. Menarik kembali Delon agar duduk pada karpet di bawah.

"Ya gue tidur di kamar lo, sama lo." Olla melotot tak terima.

"Ogah! Enak aja." Delon lagi-lagi berdecak.

"Gue gak apa-apain lo! Aman."

"Tapi gue tetep ogah!"

"Terserah lo, gue ngantuk mau tidur." Tanpa menunggu persetujuan gadis itu, Delon melangkah pergi menuju kamar disusul oleh Olla yang mencak-mencak.

"Ssttt, gue mau tidur. Ngantuk banget." Olla terdiam, menatap Delon yang dengan nyaman tidur dalam selimut kesayangan dengan memeluk guling miliknya.

Menghela nafas kasar, jam menunjukkan pukul 21.23 malam. Dengan pasrah ia membiarkan pemuda itu terlelap. Ia akan mengerjakan pekerjaannya yang belum selesai.

Tadi setelah makan malam kantuk menyerangnya. Bukannya menuju pada kamar Olla malah meraih komputernya dan mengerjakan tugasnya. Alhasil, ia ketiduran.

Masalah sepele, tapi jika dicermati ini semua memiliki resiko yang fatal. Jika, pemuda itu bertindak. Akan lebih baik diam, tapi apa mungkin?

Olla berharap seperti itu, walau semua itu mustahil. Manusia mana yang diam saat menemukan mangsa yang efektif. Seribu satu.

***

Yey! Besok sudah puasa, selamat menyambut bulan Ramadhan teman-teman.

Terima kasih jika ada yang baca. Next time, kalo baca janlup vote, ya!

Hargai karya penulis dengan memberi vote, komen, dan nikmati bacaan tanpa kegiatan plagiat!

No copas!

Pembaca yang bijak tau cara bagaimana menghormati dan menghargai penulis karya yg ia baca.

Love you!

Queen?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang