Note: typo tandain
Saat kedua matanya terbuka, entah apa yang terjadi sebelumnya tiba-tiba dirinya sudah berada di sebuah ruangan yang ia familiar. Kepalanya terasa pusing sebelah, bahkan saat ingin beranjak bagian sebelah kiri langsung terasa ngilu tak karuan.
"Arshhh," keluh Olla memegang kepalanya sebelah kiri. Ia memijat pelan agar menetralisir rasa pusing.
Sambil memperhatikan setiap sudut ruangan. Ini bukan kamarnya, tapi dilihat dari dominasi kamar ini sangat ketara bahwa ini kamar perempuan. Printilan dan pernak-perniknya milik seorang wanita.
Saat memperhatikan seluruh ruangan, pandangannya jatuh pada sebuah figura foto, sekilas ia melihat siapa yang berada di dalam foto, jantungnya langsung berpacu.
Suara pintu terbuka mengalihkan perhatiannya. "Sudah bangun rupanya." Olla mengeriyip memastikan bahwa orang di depannya tidak salah.
Saat benar, sudah dipastikan memang itu dia Olla langsung mundur beberapa dari kasur yang ia tempati.
Walau pusing mendera, rasanya Olla ingin loncat dari balkon kamar ini. Perempuan itu mendekat dengan senyum merekah. "Sayang, jangan mundur," peringat Alana. Semakin dekat sampai adiknya pun ikut mundur teratur.
Bukan sebuah rencana, tapi entah bagaimana, saking fokusnya mundur Olla sampai tidak memperhatikan medan dan ia terjungkal ke belakang dari atas kasur.
Brukk..
"Arkh!" Teriakan Olla yang tak kalah kencang dengan suara jatuh tubuhnya membuat Alana panik dan langsung mendekat.
Olla semakin merasakan pusing yang mendera, bahkan ia merasakan ada aliran yang berada di pelipisnya. Saat meraba, merah yang ia dapat.
"Astaga, Dek!" Alana segera membantu gadis itu agar beranjak duduk di kasur.
Olla jatuh tidak sesuai, gadis itu mundur hingga hampir mencapai meja kecil di dekat kasur, alhasil saat ia terjungkal kepalanya terbentur keras oleh meja dan disusul oleh benturan di lantai yang tak dilapisi karpet.
Olla merasakan tak karuan pada kepalanya, bahkan ia merasakan hidungnya mengeluarkan cairan merah akibat guncangan kepala yang tak diharapkan ini.
Rasanya ia ingin menangis. Kepalanya benar-benar pusing, area badannya sakit terutama punggung dan kaki yang tadi sempat terbentur oleh kaki kasur.
Alana yang melihat itu panik bukan main, dengan segala improvisasi ia mengambil kotak P3K untuk mengobati. Melihat darah yang terus mengalir dari pelipis Olla dan disusul oleh darah mimisan membuat Alana sendiri kelimpungan ditambah pula rengekan gadis itu yang tak kunjung diam.
"Udah diem, siapa suruh mundur-mundur hah?!" sentak Alana kesal. Ada apa dengan adiknya ini? Mengapa terlihat seperti gadis traumatik?
"Shh, sakit." Bukannya menjawab, gadis itu justru terus mengeluh. Badannya terasa remuk, kepalanya diterpa pusing layaknya badai. Benar-benar serasa mau copot ini kepala.
"Ya rasain." Lagi dan lagi Alana menyentak kesal.
"Apa, sih, Kak? Jangan kasar," sungut Olla tak terima. Pasalnya bukan mulut Alana saja yang mengomel, tangannya ikut serta sesuai pekerjaannya dengan menekan kuat kapas yang diberi alkohol untuk mengobati pelipisnya.
"Kamu kenapa mundur-mundur? Emang setan hah?" Alana bersyukur saat melihat luka di pelipis Olla tidak dalam, hanya goresan yang menyebabkan darah keluar. Tapi bisa dijamin, dampaknya pasti sangat pusing.
"Kaget, kenapa ada Kakak di sini," jawab Olla. Mengambil alih tisu untuk membersihkan sisa-sisa darah pada tangannya yang tadi terkena.
"Ini di rumah." Kalimat itu membuat aktivitas Olla berhenti. Ia menatap Alana berang.
"Kak-"
"Sstt, Ayah Bunda gak di rumah. Pergi ada acara kantor," sahut Alana agar adiknya tidak teriak. Terlalu banyak teriak akan semakin membuat kepala pusing.
"Ya tapi kenapa aku dibawa ke sini? Lagian kok bisa?" tanya Olla beruntun. Seingatnya ia masih di rumah dirinya sendiri bersama dengan Delo-
"Kak, Delon mana?" tanya Olla langsung saat menyadari sesuatu.
Alana memutar bola mata malas, bisa-bisanya dalam keadaan seperti ini gadis itu menanyakan cowok tidak tahu diuntung. "Gak tau," jawab Alana acuh.
"Yang bener, Kak! Aku terakhir itu di rumah aku sama dia, kenapa bangun-bangun bisa di sini?" Olla menatap Alana yang justru malah beranjak.
"Jadi kamu sering berduaan di rumah gitu? Iya?"
"Gak usah mulai," ujar Olla malas. Ia harus cepat-cepat pergi dari sini.
"Kalo Kakak gak mau jawab gak masalah, aku mau balik." Olla beranjak, ia tak mau sampai bertemu dengan kedua orang tuanya.
Dengan langkah tertatih ia mencari alas kaki miliknya. Tapi justru sandal rumah berbulu yang terdampar di pinggir kasur, sepertinya ia menggunakan itu. Lagian ia juga tidak tahu, sampai sini menggunakan alas kaki miliknya atau tidak.
"Kakak anter." Yang ini Olla tak bisa menolak, lagian keuntungan. Siapa yang mampu jalan ke depan pos satpam di perumahan elit ini? Jaraknya saja layaknya dari rumahnya ke sekolah. Ya kalo keadaannya seperti sedia kala, tapi ini? Benar-benar kacau.
Lagian, inisiatif Alana ini tidak jadi membuatnya menurunkan gengsi. Jika saja Alana tidak menawarkan, dengan terpaksa pula Olla juga akan mengucapkan kalimat memohon agar Alana bersedia menghantar dia pulang, tapi itu sedikit susah. Karna bagaimana pun, Olla sudah mendeklarasi agar tidak butuh Kakaknya lagi, siapa pun itu penghuni rumah ini.
Begitu mobil keluar dari area perumahan, Olla melihat mobil sedan putih berjalan lawan arah memasuki perumahan itu. Dilihat dari plat nomornya, itu mobil Ayahnya.
"Ayah tuh baru balik, gak mau pulang aja?" tanya Alana menyadari Olla yang memperhatikan mobil Affandra hingga menengok ke belakang.
"Tadi itu yang terakhir, gak usah mulai," jawab Olla tidak bersahabat.
Berkat ketidak sediaan Alana untuk menjawab pertanyaannya, Olla jadi tidak stay di rumah itu untuk waktu yang lebih lama. Jika benar begitu, maka besar kemungkinan mereka akan bertemu, dan Olla benar-benar tidak mengharapkan itu.
Hatinya masih diliputi rasa marah, egonya tinggi bahkan ia juga masih terus menyangkal dengan logika bahwa semua ini salah kedua orang tuanya, termasuk Alana. Ia tak mau terlibat dalam hal apa pun lagi dengan mereka. Ke depannya Olla akan memikirkan cara bagaimana dapat uang selain meretas buku hitam perusahaan milik Ayahnya.
Mungkin ini konsekuensi, keluar dari rumah sama sekali tidak mendapat sepersen pun uang dari orang tuanya, kecuali uang tabungannya yang dengan sengaja langsung dirinya tarik tunai semuanya. Lagian Olla juga cukup sadar diri untuk tidak meminta, dia pergi dari rumah keinginannya dan itu bukan lagi tanggung jawab Affandra dan Ayyara.
Olla harap ke depannya tidak terjadi lagi. Jika benar, maka semua yang ia lakukan akan terasa sia-sia, semua usahanya berakhir tanpa hasil.
***
Halow, gilak uwu aku typing ini pas besoknya aku ultah, tapi kemungkinan besar aku up pas ultah udah kelewat, sih.
Terima kasih jika ada yang baca. Next time, kalo baca janlup vote, ya!
Hargai karya penulis dengan memberi vote, komen, dan nikmati bacaan tanpa kegiatan plagiat!
No copas!
Pembaca yang bijak tau cara bagaimana menghormati dan menghargai penulis karya yg ia baca.
Love you!
Typing-nya pas tgl 23 Maret, up e udh Oktober tgl 13 HAHAHAH.
KAMU SEDANG MEMBACA
Queen?
Teen Fiction[sebelumnya follow dulu] komen and vote ____________________________ Berubah drastis? Itu lah yang dialaminya, dengan menindas orang hobi baru baginya. Menyenangkan itu yang dia rasakan, rasa puas dia dapatkan. Tidak adanya keadilan yang ia dapatka...