Note: typo tandain
"Bangsat!" Luapan emosi terjadi. Gadis itu bahkan sudah melempar keras benda yang berada di depannya.
"Semakin ke sini, semakin ke sana. Sialan!" umpatnya lagi-lagi.
Nafasnya memburu, emosinya memuncak. Dengan teratur ia mengatur kendali diri sendiri. Menarik nafas dalam, dan mengembuskannya perlahan.
Memejamkan mata sejenak dan bersandar pada sandaran ranjang. Otak dan hati memang susah diajak kerja sama.
"Arkh, bajingan!"
"El!" Secara berurutan. Suara El menggema disusul oleh suara Papanya.
Sebuah teguran untuk yang kedua kalinya. Ardi berjalan masuk ke dalam kamar anaknya.
"Kamu ini apa-apaan? Teriak pakai bahasa kasar seperti itu. Sudah Papa bilang dari awal, jangan pernah percaya sama manusia manupulatif. Kamu masih saja nekat. Gini, kan, hasilnya." El menunduk takut.
Papanya sudah kehilangan kesabaran, sendari tadi memang dirinya berulah. Dari mulai ruang tamu hingga kamar miliknya sendiri. Barang-barang sudah berserakan di mana-mana, bahkan Ardi bisa melihat, layar ponsel putrinya pecah.
"Jangan menunduk jika orang tua bicara!" tegas Ardi. Dirinya tidak habis pikir dengan sikap putri semata wayangnya.
El mendongak dengan mata berkaca, bahkan bibirnya ikut gemetar. "Pah? El takut," adunya. Rasanya ia ingin kembali memutar waktu agar semua ini tidak terjadi. Tapi, apa bisa?
Ardi menghela nafas. Masalah di kantor tadi belum selesai, ditambah dengan masalah ini. Apalagi saat ia pulang kerja, putrinya sudah mengamuk. Sudah diberi teguran, hingga di kamar pun disambung kembali.
"El, Papa minta maaf. Tapi Papa ingin melihat bagaimana kamu menyelesaikan masalah kamu sendiri. Bukan Papa tidak peduli, tapi ini juga sebuah kesalahan yang wajib kamu sendiri perbaiki."
"Papa ada sedikit problem di kantor. Kamu jangan lakukan hal aneh lagi, apalagi sampai membahayakan diri kamu sendiri. Maaf, Papa harus lanjut ke ruang kerja Papa." Ardi mengelus puncak kepala anaknya yang kini sedang menangis tersendu.
Ardi melepaskan pelukan singkat tersebut dan beranjak pergi. "Pah?" Suara El menghentikannya, ia berbalik dan bertanya.
"Papa gak nyesel, kan, punya anak nakal kayak El?" tanya El. Ardi tersenyum mendengar itu.
"Enggak, Nak." Ardi beranjak keluar dari kamar El. Membiarkan putrinya merenung kembali.
"Justru Papa nyesel tidak bisa cegah kamu dari keputusan itu, El."
El berdecak saat ia juga tak kunjung menemukan solusi. Bahkan ia sudah berusaha mencari di internet, tapi memang tidak ada.
"Tuhan, bantu aku."
***
Pemuda dengan kaos putih polos itu berdecak kesal. Orang yang ia tunggu sampai sekarang tidak kunjung datang. Hampir setengah jam ia menunggu, namun puing-puing menculnya tidak ada.
"Sorry telat lagi." Suara perempuan membuat pemuda tersebut mendongak.
"Hobi banget telat," sindir Delon. Memperbaiki posisi duduknya agar lebih nyaman.
Sedangkan yang disindir hanya mengidikkan habu acuh. "Gue mau to the point." Delon mengangguk paham, mempersilahkan gadis itu mengeluarkan sebuah opini yang dia punya dan mendengarkannya dengan seksama.
"Bisa gak batalin rencana itu?" Pertanyaan yang sudah Delon duga dari awal. Pemuda itu tersenyum seakan puas mendengar sebuah penuturan penuh dengan sebuah pertimbangan.
"Yeah, seperti yang lo tau. Keputusan batal, otomatis apa yang gue kasih ke lo dikembalikan. Bukan hanya itu." Delon mendekat, menatap lekat wajah cantik di depannya yang sedang gugup.
"Image lo jadi jelek kawan." Delon menyeringai puas. Lalu kembali pada posisi awal dan menatap hal lain agar ia tak bosan.
El memberanikan diri menatap mata Delon. Ia menarik nafas perlahan dan berkata,"Fine. Gue mau tanya, tujuan utama lo apa?" tanya El tegas. Ia kali ini ingin mencoba peduli.
Delon tertawa, apakah gadis di depannya ini segitu bodohnya? Come on, rencana itu sudah ia susun sebaik dan serapi mungkin. Mustahil jika ia memberi tahu dengan segamblang itu.
"Lo cuma bisa menikmati Eldora," kata Delon terkesan serius, lalu kembali tertawa.
"Bukannya lo nikmati selalu, ya? Ups! Sorry, gue kalo ngomong suka bener."
El menggeram marah. Benar kata Papanya, semua akan terasa percuma jika salah satu pihak yang bersangkutan tidak melaksakan sesuai yang diinginkan.
"Sekarang bisa lo spill hasilnya gimana?" tanya Delon. Ia tidak mau membahas topik itu lagi, takut jika sesuatu yang tak ia inginkan terjadi.
El berdecak sambil mengeluarkan laptop yang ia bawa. "Sesuai apa yang gue bilang, dianya udah punya point penting yang bakal susah kita hancurin. Yang gue tebak dia gak sendiri." El mengarahkan pada suatu blog yang ia buat sendiri.
Saat teringat sesuatu, ia langsung menatap Delon tajam. "Jangan-jangan lo yang bantu!?" tuding El penasaran.
Delon berdecak tak suka. "Goblok banget kalo gue bantu anjir! Lo mikir yang logis, kek." Iya juga, ya?
"Tapi, kan, saat ini lo lagi ada something sama dia. Siapa tau lo malah berkhianat," sindir El dan kembali fokus pada layar laptopnya.
"Emang lo siapa sampe gue berkhianat."
***
Halow! Gimana part ini? Udah dapet clue?
Tenang, sesuai yg aku bilang. Konfliknya g berat kawan!
Thank you four reading!
Votemen!
KAMU SEDANG MEMBACA
Queen?
Teen Fiction[sebelumnya follow dulu] komen and vote ____________________________ Berubah drastis? Itu lah yang dialaminya, dengan menindas orang hobi baru baginya. Menyenangkan itu yang dia rasakan, rasa puas dia dapatkan. Tidak adanya keadilan yang ia dapatka...