Leary terbaring terlentang di tengah-tengah ranjang besar barunya, ranjang itu terasa empuk dan lembut, sangat membuatnya nyaman untuk bergerak ke sana-kemari, mungkin Leary akan langsung tertidur pulas meski tanpa bantal dan selimut.
Leary memperhatikan lampu di langit-langit kamar, bola matanya yang berwarna hijau itu terlihat berkilauan. Perlahan bibir mungil Leary tersenyum lebar, Leary sama sekali tidak pernah menyangka jika dalam hidupnya dia akan memiiki kamar yang nyaman dan ranjang yang sangat besar.
Andai saja ibunya masih ada dan ikut tinggal di rumah ini, mereka tidak akan tidur berhimpitan dan bisa bermain dengan puas.
Senyuman Lebar penuh kesenangan Leary perlahan menghilang, sorot di matanya berubah sendu melukiskan banyak kesedihan. Leary merindukan ibunya.
Sudah dua hari dia dan ibunya berpisah, namun Leary masih merasa bahwa ibunya belum meninggal. Di saat Leary terbangun dari tidurnya, Leary masih berlari dan memanggil ibunya seakan Olivia masih ada di sekitarnya. Tidak jarang, Leary sering melihat ke sekitar dan berpikir bahwa ibunya berada di sampingngya.
Leary belum terbiasa menjalani hidupnya tanpa Olivia, Leary belum belum bisa melangkah sendirian tanpa siapapun di sisinya.
"Mengapa ibu pergi begitu cepat?" Leary bertanya pada kesunyian.
Bayang-bayangan indahnya bersama ibunya bermunculan memenuhi kepala Leary.
"Aku rindu ibu," ungkap Leary dengan suara gemetar, dengan cepat Leary menghapus air matanya yang sempat terjatuh. "Aku takut berada di sini, mereka terlihat tidak menyukaiku, aku benar-benar takut, tapi aku sudah berjanji kepada ibu jika aku harus jadi anak yang kuat."
Leary merangkak, melompat turun dari ranjangnya dan menarik kopernya yang dia simpan di bawah ranjang, Leary membuka koper itu dan mengambil pakaian ibunya yang sengaja dia bawa.
Leary kembali naik ke ranjangnya dan terbaring sambil memeluk baju Olivia yang masih terasa hangat dan meninggalkan bau parfume kesukaan Olivia.
Satu helai pakaian yang Leary peluk itu berhasil meredakan rasa rindu dan kekhawatiran di hatinya, pakaian itu membuat Leary sudah cukup merasakan keberadaan ibunya di sisinya lagi.
Leary kembali tersenyum dan perlahan memejamkan matanya, gadis kecil itu butuh tidur untuk meredakan rasa lelahnya hari ini dengan harapan, bahwa hari esok semuanya akan berjalan lebih baik, karena sekarang Leary tidak memiliki siapapun lagi.
***
"Kenapa kau Ellis?" Petri bersedekap memperhatikan Ellis yang sejak tadi duduk berdiam diri sambil merenung terlihat sedih, biasanya Ellis akan berceloteh tidak berhenti berbicara, bahkan jika itu sebuah pembicaraan omong kosong.
Ellis menautkan kedua tangannya dan tertunduk. "Aku takut," jawab Ellis dengan napas tersenggal.
Petri bergeser mendekat, dia meraih wajah Ellis dan mengangkatnya. Ellis menangis dengan bibir gemetar membentuk lengkungan ke bawah.
Ellis adalah gadis yang lemah dan juga berhati lembut, dia sangat mudah tersenyum dan juga sangat mudah menangis bila merasa sedih. Jika Ellis gelisah sejak tadi, itu artinya masalah yang dia hadapi lebih berat.
"Ada apa? Apa yang kau takutkan?" Petri bertanya sambil mengusap air mata Ellis.
"Aku bukan anak kandung ayah dan bukan adik kandung Kakak. Sekarang adik Kakak yang sebenarnya sudah kembali, aku pasti akan di lupakan," Ellis terisak menceritakan kekhawatirannya.
"Ellis, apa tadi kau tidak dengar apa yang sudah aku katakan kepada anak itu? Kenapa kau masih saja khawatir? Apa kau tidak percaya padaku?" rentetan pertanyaan keluar dari mulut Petri.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEARY [Selesai]
RomanceLeary McCwin adalah anak berusia enam tahun, dia harus di hadapkan dengan kehidupan yang berubah drastis setelah ibunya meninggal. Satu hari setelah ibunya Leary meninggal, bibi Willis membawa Leary untuk pertama kalinya keluar dari desa. Bibi Willi...