Episode. 78

420 39 2
                                    


Sabtu siang menjelang sore.

Ashel mengantarkan kepergian Celine ke bandara setelah 1 hari dua malam ia menyempatkan diri untuk pulang kerumah memastikan Ashel tetap baik-baik saja. Kalau saja tidak mementingkan pendidikan yang sekarang lagi ia tempuh dan lebih menuruti egonya, mungkin sekarang Celine tetap memilih tinggal untuk melancarkan rencananya. Tapi tidak, Celine tidak se-impulsif itu. Apalagi mengingat berita yang masih hangat dibicarakan sekarang. Ia akan mencari waktu dan saat yang tepat nantinya untuk melancarkan apa yang sudah ia rencanakan.

Rencananya itu sempat ia sampaikan pada Ashel yang langsung membantah dengan keras tentang apa yang ingin Celine lakukan. Ashel pikir, setelah ia membaca dan menyimak berita itu baik-baik, itu semua tidak ada hubungannya dengan Reva maupun Flora yang notabennya adalah anak dari si pelaku. Reva dan Flora tidak tahu apa-apa. Kesalahan itu murni dilakukan oleh om atau bapak mereka sendiri. Bahkan Flora juga korban!

Dan sekarang, karena tidak ingin ribut dengan adiknya sendiri, akhirnya Celine memilih menunda rencananya. Tapi sekali lagi ia kembali memastikan pada adiknya yang barangkali sudah merubah pikiran.

"Dek, kamu yakin tidak mau melakukannya?" tanyanya dengan tatapan memohon.

Ashel mengembuskan napas berat sebelum akhirnya menjawab pertanyaan sang kakak dengan wajah serius.

"Kak, dalam hidup, ada beberapa hal yang nggak bisa kita ubah. Salah satu diantaranya adalah saat dimana kita dilahirkan. Dalam hal ini, Reva dan Flora. Aku yakin jika saja mereka dapat memilih, mereka pasti nggak akan mau terlahir diantara keluarga yang memiliki konflik, Kak." ucap Ashel dengan menatap penuh pada sang kakak. Matanya pun sudah berkaca-kaca lagi sekarang. "Dan aku. Kakak. Kita berdua. Adalah keberadaan yang nggak bisa kita ubah, Kak. Semuanya sudah berjalan sesuai takdir yang sampai kapanpun nggak akan bisa kita perbaiki lagi. Jadi, cukup kita aja, Ka. Cukup kita aja yang rasain gimana sakitnya kehilangan dengan cara seperti itu. Karena orang lain belum tentu sekuat kita, Ka. Cukup sampai sini aja, ya. Please." kata Ashel yang sudah tak lagi dapat menahan air matanya. Celine pun hanya bisa memeluk sang adik sambil memikirkan perkataan Ashel barusan.

Pengumuman mengenai keberangkatan pesawat menuju Kanada pun terdengar, membuat pelukan erat keduanya menjadi terlepas.

"Kakak, pamit, ya. Kamu baik-baik, ya, disini. Sekali lagi kaka minta maaf untuk semuanya. Maaf karena nggak bilang hal ini sama kamu. Jaga diri, ya, Dek. Kakak sayang banget sama kamu." kata Celine sebelum menjauh pergi meninggalkan Ashel yang masih terisak meski tangisnya sudah mulai reda.

Tadi malam, Celine sudah memberi tahu Ashel tentang ia yang selama ini kuliah di Kanada ---tidak dengan ia yang sambil latihan tembak. Ashel tentu saja kaget. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa mendukung dengan apapun keputusan sang kakak.

Keberangkatannya kali ini terasa begitu berbeda, karena yang mengantarkannya hanya adiknya sendiri. Dulu masih ada mbak Tina yang menemani. Sekarang sudah tidak ada lagi.

_________________

Baru saja Ashel keluar dari pintu mobilnya untuk membuka pagar rumah, terdengar suara panggilan dari orang yang sangat dikenalnya.

"Ashel!!" kata Reva yang langsung memeluk erat Ashel begitu saja.

Tubuh Ashel sempat terdorong ke belakang saking kencangnya Reva memeluk. Samar terdengar isak tangisnya. Tubuh Reva yang sedikit lebih tinggi dan meletakkan wajahnya di bahu Ashel itu pun membuat suara tangisnya jadi semakin jelas kedengaran.

Lama mereka dalam posisi seperti itu sampai akhirnya suara perut Ashel berbunyi lumayan nyaring.

"Kamu lapar, ya? Kita cari makanan, yuk, kalau gitu." ajak Reva sambil ngelap wajahnya yang basah sama air mata. Begitupun dengan Ashel. Tapi ia tidak senangis Reva.

"Hehe, maaf ya, lagi dramatis dramatisnya perut gue malah minta jatah." kata Ashel sambil terkekeh.

"Udah, nggak apa-apa. Mau pakai mobil kamu apa mobil aku aja?" tanya Reva lagi yang kali ini Ashel yakini bukan tanpa sengaja lagi menggunakan aku-kamu.

"Del? Lo--- nggak lagi minum, kan?" tanya Ashel menyuarakan keheranannya.

"Astagfirullah! Ya, nggak, lah, Ashel!" tukas Reva menyanggah arti minum yang dimaksud Ashel.

"Lagian pakai aku-kamu gitu." - Ashel.

"Emang nggak boleh?" - Reva.

"Ya, boleh, sih. Bebas. Tapi---" Ashel bingung harus menjelaskan seperti apa.

"Yaudah, deh, kalau lo nggak suka." - Reva.

"Ih, suka, Del. Suka!" sambar Ashel tak ingin membuat sahabatnya itu bete.

"Mending sekarang kita cari makan cepat-cepat sebelum perut kamu bikin demo di depan rumah." kata Reva lagi dengan menarik tangan Ashel untuk pergi menggunakan mobilnya saja.

_____________

"Kamu kenapa?" tanya Reva saat lihat Ashel yang habis ngunyah beberapa sushi jadi terdiam sambil merhatiin barista yang lagi bikinin kopi. Kali ini Anin lagi tidak ada di kafenya.

"Aku lagi kepikiran sama Marsha dan Flora aja. Soalnya nasib mereka sekarang kurang lebih sama kayak aku." sahut Ashel sambil dengan memainkan sumpit.

Reva menepuk pelan pundak Ashel seraya berkata. "Dalam hidup, emang akan selalu ada beberapa hal yang nggak bisa kita ubah atau perbaiki, Shel. Salah satunya kita, aku, kamu, Marsha, dan Flora. Kita semua adalah anak-anak yang nggak bisa memilih untuk terlahir sebagai siapa dan di mana. Seandainya bisa, nasib kita semua pasti nggak akan kayak sekarang. Tapi balik lagi seperti yang kubilang diawal. Semuanya emang udah jadi garis takdir dari Tuhan. Tinggal gimana kitanya aja sekarang mau jalanin hidup kedepannya kayak gimana." kata Reva dengan tatapan teduhnya.

Merasa deja vu dengan kalimat yang diucapkan Reva barusan membuat Ashel hanya tersenyum sambil mengangguk.

"Habis ini mau ke bukit, nggak?" ajak Reva setelah tidak ada percakapan selama beberapa menit.

"Jangan. Udah mau magrib, nggak usah. Mending kita ke rumah sakit aja ntar jengukin Flora." sahut Ashel disusul dengan minum.

Reva hanya mengangguk sependapat.

__________________

Marsha baru saja pulang dari mengunjungi Jesslyn di penjara ditemani oleh Azizi, ketika mobilnya berhenti tepat di sebuah bangunan apartemen kawasan elit.

"Kenapa kita ke sini, Ka?" tanya Marsha dengan bingung.

"Aku pikir kamu lebih baik nggak usah pulang dulu ke rumah, Sha. Aku khawatir kamu bakal mengingat memori buruk saat kamu pulang nanti. Aku nggak mau kamu sedih, Sha." kata Azizi menjelaskan.

"Maksud, Kaka, ini apartemennya Ka Zee?"  tanya Marsha tak percaya.

Azizi menggangguk membenarkan.

"Aku minta maaf ya, Sha. Gara-gara ulah---"

"Stop, Ka Zee. Jangan meminta maaf pada hal yang sama sekali bukan kesalahan Kaka. Ini nggak ada kaitannya sama sekali dengan kakak. Ini murni kesalahan orang itu dan juga kedua orangtuaku, Ka. Dan... please, Ka. Jangan mengasihani aku seperti ini. Aku masih punya rumah untuk tempat aku pulang, kok. Aku janji aku bakal baik-baik saja kalau aku pulang ke rumah, Ka. Jadi, please, antar aku ke rumahku aja, ya." ucap Marsha panjang lebar dengan memohon.

Azizi meraih tangan Marsha dan menggenggamnya sambil berkata. "Aku lakuin ini semua bukan karena aku kasihan sama kamu, Sha. Tapi karena aku peduli sama kamu. Kamu sahabat aku, Sha. Teman adikku juga. Aku peduli ke kamu sama kayak gimana aku peduli sama adik aku sendiri. Jangan merasa nggak enak, Sha. Mulai sekarang, anggap aja aku adalah rumah tempat kamu pulang. Tempat kamu berkeluh kesah. Tempat kamu untuk berbagi cerita. Jangan pernah merasa sendirian, Sha. Ada aku. Ada teman - teman yang lain juga." Azizi menjeda sejenak perkataannya.

"Lagipula sekarang, kamu bakalan tetap nggak akan bisa pulang juga, Sha. Karena rumah kamu masih dalam penyelidikan. Atau kamu mau nginap di rumah aku aja? Kamar aku lumayan luas, kok, Sha." lanjutnya yang membuat Marsha jadi speachless dengan kalimat panjang yang diucapkan Azizi sedari tadi.

•••









Ditulis, 31 Agustus 2022

AFTER RAIN [48] | {Completed} (DelShel, ZeeSha, Greshan & CH2) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang