Hukuman

265 23 2
                                    

"Atau mungkin kita bisa bersenang senang dulu baru kalian bisa lewat" kembali tawa Prajurit itu meledak.

***

Berani beraninya mereka berkata kurang ajar kepada istriku!

Mendengar perkataan kepala Prajurit yang berani berkata kurang ajar dan menatap mesum istrinya, Cakra hilang kesabaran. Secepat kilat Cakra melompat. Langsung menendang siprajurit dari atas punggung kuda.
Sontak Prajurit itu terpental dan langsung kena mental. Berusaha bangkit sempoyongan.  Dibalik cadar birunya Putri tersenyum kecut.
Dia memang tidak pernah melihat Cakra bertarung, tapi sepertinya Putri tidak perlu meragukan kemampuan suaminya tersebut. Jadi Putri tenang saja duduk diatas punggung kuda sementara para prajurit mengepung Cakra.
Tidak banyak omong Cakra langsung menyerang ketiga Prajurit yang datang mengepungnya. Sabetan sabetan pedang para prajurit tampak seperti belaian bulu angsa yang lembut. Dengan mudah Cakra menghindar dari segala serangan para prajurit itu. Bahkan Cakra tidak perlu repot-repot mencabut pedangnya. Beberapa jurus kemudian Cakra sudah merebut salah satu pedang penyerangnya. Sementara ke- empat Prajurit sudah terkapar terkena pukulan dan tendangan Cakra. Cakra sama sekali tidak ingin membunuh mereka. Walaupun Cakra sempat marah dan ingin merobek mulut kepala Prajurit yang berkata langcang terhadap Putri,  tapi Cakra sudah bisa mengendalikan emosinya. Kali ini Cakra menempelkan pedang  dileher sang Prajurit.
Si kepala Prajurit gemetar ketakutan.
"Lancang sekali mulutmu berkata kurang ajar kepada istriku Putri cadar biru!" dengus Cakra.
"Ampun ... Ampun Tuan pendekar!" Mohon sang Prajurit.
"Putri apa kamu mengampuninya?" Tanya Cakra.
"Ampun nona pendekar ampuni saya" kali ini siprajurit memohon kepada putri.
Putri tidak bersuara, dia hanya menatap Cakra. Terserah suaminya mau diapakan Prajurit tersebut. Putri tidak peduli.
"Aku ingin bertanya kepada kalian! sekali saja jawaban kalian tidak membuat aku puas aku potong telinga kalian" ancam Cakra. Ngeri sih ancamannya.
Keempat Prajurit gemetaran. Terutama kepala Prajurit. Karena ujung pedang sekarang beralih di ujung telinganya. Dia tidak berani bergerak sedikitpun.
"Apakah kadipaten Sadeng berniat melakukan pemberontakan?!" Tanya Cakra tegas. Ujung pedangnya dibenamkan di daun telinga sang Prajurit. Terlihat darah menetes.
Prajurit itu semakin ketakutan dan kesakitan.
"Be ... Benar Tuan" jawab si Prajurit tidak berani berbohong.
"Siapa dalang pemberontakan tersebut" cecar Cakra.
Tuan Putri Ratu Sima, dia sudah mengumumkan bahwa sekarang dia Ratu kerajaan Sadeng"
Berapa kekuatan kalian?!" Kali ini Putri yang bertanya.
Sekitar 70 ribuan Nona"
Kapan kalian menyerang?!" Tribuana tampak emosi.
"Saya tidak tau nona. Kami belum menerima perintah" siprajurit ketakutan, takut jawabannya membuat marah Cakra.
Cakra tersenyum puas.
"Putri cadar biru? Kita apakan para Prajurit ini? Kita bunuh saja bagaimana? Cakra menakuti para Prajurit.
"Ga usah! suruh mereka pergi!" Jawab Putri.
Cakra mengangkat pedangnya.
"Terimakasih nona .... Terimakasih... " Jawab Prajurit itu seraya menyembah. Diikuti Prajurit bawahannya.

"Pergilah!" Kata Cakra sebelum aku berubah pikiran.

Mereka segera lari pontang panting meninggalkan kuda mereka.
Cakra kembali melompat ke atas kudanya. Putri melepas Cadarnya. Tersenyum manis kearah Cakra yang tampak masih masam karena mengingat perkataan Prajurit yang tidak sopan terhadap istrinya itu.

"Sebaiknya kita tidak,  memancing keributan dulu Putri" kata Putri menyindir Cakra. Karena Cakra malah memancing keributan. Padahal tadi dia menahan Putri untuk menghabisi para Prajurit Sadeng.

"Cakra... apa kamu benar benar ingin memotong telinga Prajurit tadi?"Puteri penasaran.

"Tentu saja tidak. Tapi untuk yang kurang ajar tadi mungkin aku tidak keberatan" sambung Cakra.

"Kamu kejam sekali" gumam Putri.

"Tidak boleh ada yang berani lancang kepadamu" kata Cakra dingin.

Putri tersenyum hangat. wajahnya memerah. Mungkin sedikit malu. Cakra jarang menunjukkan perasaan cemburu, namun perhatian Cakra yang begitu besar menghangatkan hatinya.

"Putri, mungkin saat ini kita akan jadi buronan disini? bagaimana rencanamu? Kita kembali kemajapahit atau kita kekota praja Sadeng mencari petunjuk lebih lanjut?.
Kita kembali ke Kota praja Trowulan saja.  Kekuatan mereka lumayan besar, sepertinya jika mereka menyerang mendadak akan sangat merepotkan. Aku yakin mereka akan terus menambah kekuatan"  Putri mengira ngira. 
"Mungkin mereka akan segera menyadari jika istana sudah tau pemberontakan Sadeng. Sebaiknya kita bergerak lebih dulu sebelum mereka menyerang" usul Putri.

"Baiklah Gusti panglima Agung" jawab Cakra bercanda.

Memang benar walaupun status Cakra adalah suaminya panglima tertinggi Majapahit Dyah Putri Tunggadewi, namun secara kepangkatan dia memang masih Prajurit biasa.

Putri menatap gemas suaminya, tapi tidak mengatakan apa apa.
Sebenarnya bisa saja Putri mengangkat Cakra sebaik panglima atau Senopati, tapi Cakra menolaknya.
Waktu mereka sedang berduaan dikamar Putri pernah menawari Cakra jabatan panglima, tapi Cakra tidak mau.
"Kapanlagi seorang Prajurit biasa mempunyai istri panglima" ujar Cakra waktu itu sambil tergelak.
"O... Jadi kamu ingin membanggakan diri ceritanya?" Putri siap siap memukul Cakra. Cakra tergelak, menangkap tangan Istrinya itu.
Tentu saja Cakra tidak seperti yang dituduhkan Putri, dia tidak ingin menggeser jabatan salah satu panglima yang sudah ada. Biarkanlah semua mengalir bagaikan air.

"Ayo...!" Kata Putri sambil menarik kekang kudanya setelah keluar dari lamunan bentar. Kuda mereka segera melesat. Kini mereka berbelok arah, langsung pulang ke istana. Sadeng dan Tumapel mempunyai jarak yang hampir sama jika ingin ke Majapahit pusat. Butuh kira kira 4 hari perjalanan berkuda. Tapi bagaimanapun juga Cakra dan Putri harus melewati beberapa kota di Sadeng. Bukan kota sebenarnya, tapi daerah daerah yang kalau istilah masa depan tempat area bisnis karena letaknya yang strategis.

***

Krambit adalah kota terbesar kedua setelah ibukota Sadeng. Susana ada pasar yang besar dan markas Prajurit juga. Jika kota kerajaan Sadeng adalah ibukota Kadipaten; maka Krambit adalah pusat kota bisnis. Banyak saudagar yang membuka bisnisnya di Krambit.
Dan disinilah Ratu Shima tinggal.

Singgasana Untuk Sang Putri TAMAT√ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang