Niluh dan Wiratama

117 12 5
                                    

Sementara itu di pantai Sedayu Niluh mengamuk dengan pedangnya. Tebas sana tebas sini. Ternyata Niluh sadis juga dalam bertarung. Pasukan Timor berjatuhan.
Hari ini dengan berbagai pertimbangan, sang guru Seda dan beberapa murid padepokan minta ijin ikut bergabung. Termasuk Wiratama. Guru Seda dan Ayah Niluh begitu menghawatirkan putrinya sehingga ikut terjun kemedan perang. Untuk pertarungan langsung dan jarak dekat dengan banyak musuh tentu ajian Tapak Geni tidak begitu berguna. Akan sangat berbahaya jika ajian itu juga akan melukai dan membunuh orang orang disekelilingnya termasuk prajurit pengawalnya sendiri.
Sesakti apapun Niluh, jika berhadapan dengan lebih dari seratus orang sudah pasti tamat!.
Guru Seda, meskipun sudah lumayan sepuh ternyata dia mempunyai kekuatan dan nafas yang panjang. Mungkin karena hobi meditasi.
Selain datang pasukan dari padepokan; pasukan Cakra dibawah pimpinan Lembunawa juga bergabung. Mengobrak abrik benteng pertahanan Sedayu.
Rakyat Bali banyak mengungsi ditempat yang aman. Meskipun para prajurit Majapahit tidak mengusik mereka; namun tetap saja mereka ketakutan. Berdoa semoga pasukan Majapahit bisa lekas memenangkan pertarungan dan mengusir penjajah Timor.
Menjelang sore pasukan Niluh menarik diri. Bukan untuk mundur, tapi istilah masa modern di namakan genjatan senjata. Jeda kemanusiaan. Mengevakusi korban masing masing dari kedua belah pihak.
Selain itu masing-masing lawan saling mengatur ulang strategi menghitung kekuatan.

"Paman Patih bagaimana keadaan pasukanmu di benteng timur?" Niluh meminta laporan. "Semua terkendali Tuan putri, saya rasa jika kita menyerang malam ini benteng timur akan jatuh." Patih Sugali melaporkan.
Paman... pasukanmu bertarung luar biasa. Kita tidak usah buru buru. Kekuatan kita terus bertambah, besuk sore jika kita berhasil menguasai Sedayu aku akan bergabung dengan pasukan Tuan Putri Tribuana untuk menyerbu istana. Orang lalim itu harus segera digulingkan!" Ucapan Niluh merujuk pada sepupunya yang memberontak dan mengalahkan Ayahnya. Sekali lagi saya sangat berterimakasih kepada paman Patih yang mau bergabung dengan Ayahanda" sambung Niluh.
"Sudah kewajiban saya untuk membela yang benar Tuan Putri" Patih Sugali merendah.
"Paman.... selagi pasukanku bergabung dengan pasukan Majapahit, Pasukan Paman harus tetap bersiaga disini. Aku yakin para penjajah bermata sipit itu akan mendatangkan bantuan. Yang saya takutkan mereka bergabung dengan Pangeran Wisanggeni dari Bima" Niluh kawatir.
"Jangan khawatir Tuan Putri. Nyawa saya dan pasukan saya siap kami korbankan demi Baginda Raja." Jawab Sugali bersemangat.

****
Diluar tenda, Niluh yang sedang mengecek pasukanya melihat Wiratama tampak termenung. Melihat Wiratama entah kenapa lama lama seperti Cakra. Wiratama mempunyai kepribadian yang agak berbeda dengan kakaknya. Jika Cakra orangnya terbuka namun tidak banyak bicara, Wiratama cenderung lebih kalem dan tertutup.
Niluh mendekat Wiratama. Sekedar ingin menyapa dan berterima kasih. Namun dia melihat Wiratama termenung.
"Raden Wirat...?" sapa Niluh.
"Eh ... Tuan Putri" Wiratama terbangun dari lamunan.
"Kamu kenapa? Seperti kamu lagi ada beban?" entah kenapa Niluh bener bener ingin tau. Lebih dari sekedar basa-basi.
"Eh...tidak apa apa Tuan Putri" jawab Wiratama gugup.
"Apa kamu bertengkar dengan Raden Cakra? Atau dengan Adikmu?" Tanya Niluh lebih lanjut. Iya.... Niluh pernah melihat Cakra mengatakan sesuatu. Bukan mengatakan, tapi tampak marah dan kesal dengan Wiratama. Pun juga Niluh jarang melihat Wiratama akrab dengan Ana cakrawardani. Sampai saat ini Niluh taunya Ana adalah adik Wiratama.
"Adik?.... Wiratama balik bertanya. Sedikit tercenung ketika dia bilang adik.
Iya... Wiratama memang lagi ada masalah dengan "adiknya". Cakra dengan tega memaksa mereka harus putus. Padahal jadian aja baru beberapa Minggu. Wirat begitu bahagia ketika dia "nembak" Ana dan tak disangka sangka Ana ternyata mau jadi kekasihnya. Tapi kakaknya Cakra mengatakan jika dia tidak boleh berpacaran dengan adiknya.
Banyak alasan dan banyak pertimbangan. Wiratama sebenarnya tau itu. Tapi ini urusan hati. Dan Ana adalah cinta pertamanya.
Sejak ketahuan mereka pacaran Cakra jadi lebih ketat mengawasi mereka berdua.

"Tidak apa-apa Gusti Putri" Wiratama menjawab pertanyaan Niluh.
"Raden terima kasih sudah ikut membantu kami" kata Niluh tulus.
Wiratama tersenyum. "Saya senang bisa membantu tuan putri. Tuan putri adalah kakak seperguruan saya, jadi mana mungkin saya berpangku tangan dengan perang ini." Sebuah kalimat yang lumayan panjang dari Wiratama.
"Raden.... _Niluh agak ragu mulai berbicara. "Jika Raden ada ganjalan hati dan butuh tempat untuk berbicara.... bicarakanlah. Kita sudah mengenal lumayan lama tidak ada salahnya kita saling berbagi keluh kesah" kata Niluh akhirnya. Entah kenapa dia seperti bisa merasakan kegundahan hati Wiratama.
Wiratama menatap Niluh dengan sedikit heran. Dia yang galau kenapa sepertinya Niluh yang Mellon?.
Wiratama tersenyum hangat dengan perkataan Niluh.
"Mungkin setelah perang ini usai Tuan Putri... karena beban Tuan Putri saat ini sangat berat" ujar Wiratama.
Demi Tuhan Niluh melihat senyum Cakra disana.
Dan wajah Niluh entah kenapa jadi memerah.

___________
Note: Mungkin agak slow up..
Soalnya mulai revisi dari awal. Memperbaiki tanda baca yang amburadul. Juga dialog maupun narasi yang ga pas... Jika berkenan mohon dibantu koreksi yaa... Terimakasih.

Singgasana Untuk Sang Putri TAMAT√ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang