Semua mata dibuat terkesima dan terpesona ketika Putri masuk ruangan. Dyah Gitareja atau Dyah Tribuana Tunggadewi alias Putri terlihat begitu sempurna. Berjalan Anggun layaknya Putri Istana. Tapi emang bener sih, Putri adalah Putri kerajaan.
Seandainya mereka tidak mengenal Putri sebelumnya, pasti mereka mengira Putri adalah Putri Keraton yang lemah lembut. Putri memang terlihat lembut tapi dia asli sangat kuat. Berjalan dengan tenang dan gemulai namun aura wibawanya tidak pernah hilang. Disampingnya Cakra berjalan mantap mengiring.
Semua berdiri untuk menyambut Putri. Para Prajurit bayangkara berjalan mengambil jarak sekitar dua meter dibelakang Cakra dan Putri. Putri tersenyum. Aga malu karena pasti mereka telah menunggu. Panglima Rakembar, Ranggalawe dan perwira Majapahit juga sudah hadir.
"Duduklah".
para Prajurit bayangkara pengiring Putri segera sigap menyebar ke segala penjuru ruangan untuk berjaga.
"Raden Samba!" Putri sedikit menoleh kesamping. Raden samba yang berdiri dibelakang langsung maju.
"Bawa anak buahmu keluar, sudah ada Raden Cakra menjagaku"
"Kami akan berjaga di luar Tuan Putri" jawab Raden Samba.
"Baiklah" Putri mengangguk.
Raden Samba segera undur diri beserta segenap pasukanya. Mereka segera menyebar diluar ruang pertemuan Agung.
Pasukan bayangkara tampak mencolok dari Pasukan penjaga dari Pasukan penjaga dari Prajurit Sadeng. Terlihat lebih garang dan sangar. Bayangkara memang ditempa sebagai Prajurit yang menerima perintah tanpa membantah. Seandainya mereka mendapat perintah untuk membunuh wanita maupun anak anak sekalipun mereka tidak ragu melakukannya. Jika mereka membahayakan keluarga raja atau Ratu Bayangkara tidak segan akan menghabisi mereka.
Di Sadeng Putri Dyah Tribuana adalah prioritas bayangkara.
Setiap yang ingin bertemu Putri pasti digeledah dan diawasi. Seperti para dayang, bahkan pejabat istana sekalipun. Begitu juga setiap makanan dan minuman Putri juga benar benar diawasi. Jangan sampai ada yang mencampur racun dalam makanan dan minuman
Putri.
Apalagi Sadeng baru saja berniat melakukan pemberontakan, tentu Prajurit Bayangkara sangat waspada. Bayangkara dilatih untuk tidak berbaik sangka kepada orang asing. Terutama kepada setiap musuh.
Mereka bukan pasukan yang humanis dan merakyat. Kecuali jika mereka bebas tugas lain lagi ceritanya.***
Acara pertemuan dengan segenap pejabat Sadeng akhirnya usai sudah.
Sebagai tuan rumah Adipati Sima mempersilahkan kepada tamu undangan untuk undur diri jika memang ada keperluan.
"Tuan Putri, bolehkah saya menemani Tuan Putri berkeliling?." Adipati Sima menawarkan diri ketika Putri memutuskan untuk melihat lihat istana Kadipaten. Sementara itu Cakra dengan terpaksa undur diri duluan karena jadwal kepulangan pasukanya siang ini. Cakra harus berembuk dengan sang paman Ranggalawe.Saat ini Putri dan Sima sedang mengawasi Cakra yang sedang berembuk dengan Ranggalawe dari kejauhan.
Beberapa Dayang tampak menjaga jarak cukup jauh dari Sima dan Putri. Juga tampak siap berjaga pasukan anak buah Raden samba.
Putri tau, maksud Sima menemaninya berkeliling lingkungan Kadipaten ingin selain ramah tamah sebagai seorang tuan rumah juga ingin mengatakan sesuatu.
Sejujurnya Putri juga menantikan itu.
Putri tau, sepanjang pertemuan, Sima berusaha keras untuk tidak menatap suaminya.
Walaupun terkadang gagal."Tuan Putri, ... Sima memulai percakapan. "sekali lagi saya sangat berterimakasih, atas kemuliaan hati tuan Putri telah bersedia mengampuni saya"
Pandangan Putri tetap lurus kedepan. Fokus kearah Cakra yang tampak berbicara dengan salah satu perwira bawahannya. Tidak segera menjawab ucapan Sima.
"Kamu tau?... Putri mulai berbicara, ... aku dikenal sebagai panglima perang yang tidak pernah memberi ampun kepada siapapun yang merongrong Majapahit" kata Putri dingin. Mau tidak mau Sima merinding mendengar-nya.
"Mungkin aku terlihat sebagai Putri istana yang lemah lembut. Tapi aku juga seorang Putri yang tidak pernah ragu bahkan nyaris tidak berfikir untuk membunuh seseorang dengan tanganku sendiri jika orang itu terbukti bersalah!."
Entah apa yang hendak diceritakan Putri, namun bulu kuduk Sima sudah merinding duluan.
"Seandainya kalau tidak bertemu dia, ... Putri menunjuk dengan dagunya kearah Cakra ketika menyebut kata "dia"... bukan cara menunjuk yang sopan sebenarnya, tapi Putri_kan istrinya, jadi Putri cuek aja. Seandainya ada orang lain menunjuk Cakra seperti itu mungkin Putri tidak ragu memenggal kepala orang itu. "Mungkin aku tetap menjadi Dyah tribuana yang tidak mengenal belas kasih. Tapi Raden Cakra mengajarkan kepadaku bahwa kesempatan kedua itu selalu ada.
Karena membunuh hanya melahirkan dendam yang tidak berkesudahan."
"Jadi Tuan Putri mengampuni saya karena Raden Cakra" tebak Sima.
"Benar! Aku tidak ingin suamiku menganggap aku sebagai wanita yang kejam". Putri berpaling, menatap lekat lekat Sima. "Bukan berarti sepenuhnya aku kehilangan sifat kejamku" sebenarnya Putri menatap Sima biasa biasa saja. Tapi Sima tahu itu tatapan pesan, pesan kepadanya, seolah olah Putri bilang "jangan macam macam dengan suamiku!.".
Dan pesan halus itu tersampaikan. Adipati Sima mengerti apa maksud ucapan Putri.
"Tuan Putri, apakah Tuan Putri tau saya telah melakukan kesalahan yang sangat besar kepada tuan Putri?" Akhirnya Sima memberanikan diri berbicara.
Putri mengangkat tangan kanannya memberi isyarat kepada Sima untuk tidak meneruskan kata katanya. Tersenyum lembut untuk mereda ketegangan yang tercipta."Aku tau! Kamu mencintai suamiku!" Kali ini Putri berkata tegas.
"Tu....tuan Putri... "Sima tidak mampu melanjutkan kata katanya.
Meskipun Sima sudah menduga Putri tau, tapi Sima tetap tidak siap waktu Putri bilang bahwa dia tau. Begitu menyesakkan dada."Bukan salahmu..." Kata Putri akhirnya. "Walaupun aku sangat ingin membunuhmu waktu itu, Kamu mencintai Raden Cakra sebagai seorang pengembara, sekarang terserah kamu, kamu sudah tau kebenaran tentang Raden Cakra"
"Tapi percayalah, percuma kamu mencintai suamiku, karena kami sudah terikat dengan cara yang tidak biasa, kami tidak terpisahkan, aku tidak pernah mungkin berpaling darinya begitu juga Raden Cakra, dia tidak akan pernah berpaling kepada orang lain. Dihati Raden Cakra hanya ada aku tidak ada wanita lain apalagi seorang selir!". Ada nada sedikit keras ketika Putri menyebut kata selir."Ampunkan saya Tuan Putri.... Saya tidak berani, saya akan melupakan Raden Cakra" sontak adipati Sima menekuk lututnya sebagai permintaan maaf.
"Bangunlah... Aku tidak menyalahkan kamu Adipati, terimakasih sudah mau berbicara jujur."
"Sebagai seorang istri, aku minta padamu, lupakan suamiku"."Maafkan saya, tapi saya akan berusaha untuk melupakan Raden Cakra"
Putri manggut-manggut."Lupakanlah... Anggap saja tidak pernah terjadi apa apa."
Kebetulan Cakra menoleh kearah mereka. Putri tersenyum kearah suaminya tersebut sementara Cakra mengangkat tangan menyapa mereka. Menyapa Putri tepatnya, karena sangat tidak sopan menyapa Adipati Sima dengan mengangkat tangan.
"Aku menolak banyak pangeran yang melamarku dengan mempermalukan mereka. Aku menantang pangeran manapun untuk beradu tanding, jika mereka bisa mengalahkan aku aku bersedia menjadi istrinya. Dan aku mengalahkan mereka semua". Tapi dengan Raden Cakradara aku begitu yakin. Bahkan aku tidak perduli jika Raden Cakra seorang yang lemah sekalipun, atau bahkan dia rakyat jelata sekalipun aku tetap memilihnya. Aku mencintainya apa adanya dan tanpa syarat." Putri sedikit curhat.
"Tuan Putri sangat mencintainya" ada nada kagum dalam suara Adipati Sima. Perkataannya datar bukan sebuah pertanyaan.
Putri tersenyum. Dia mengingat Cakra ketika masih hidup dimasa depan. Cakra yang sangat baik lugu lemah dan apa adanya. Dikehidupan ini Cakra memang sedikit berubah. Jika di masa depan Cakra tidak ada bakat jadi seorang pemimpin tapi di masa ini Cakra disegani banyak orang. Bukan karena dia suaminya, tapi karena Cakra lebih bisa bersikap layaknya pemimpin. Mungkin karena ada darah Adipati Rangga Wisesa dalam diri Cakra.
"Iya, kami sangat saling mencintai" ada nada memuja dalam suara putri. Bahkan kata cinta saja kurang cukup untuk menggambarkan perasaanya kepada Cakra. Jauh lebih dari itu. Cakra adalah dirinya dirinya adalah Cakra. Satu kesatuan tak terpisahkan.___________
KAMU SEDANG MEMBACA
Singgasana Untuk Sang Putri TAMAT√
Ficción históricaSetelah resmi menjadi suami istri ternyata ada aja masalah yang dihadapi Cakra dan Tribuana. Kali ini dalam pengembaraannya menikmati bulan madu seorang penguasa wanita muda dari kadipaten Sadeng jatuh hati pada Cakra. Terus bagaimana sikap Tribua...