Ratu Sima membaca pesan yang di tulis Putri.Dari Panglima tertinggi Majapahit atas nama Yang mulia Ratu Agung Dyah Gayatri, Dyah Tribuana Tunggadewi.
Peringatan kepada Ratu Sima!.
Selalu ada pengampunan Sima!
Tapi pengampunan itu aku pastikan tidak berlaku lagi setelah perang benar benar pecah.
Aku panglima tertinggi dan atas nama Ibunda Ratu yang mulia Gayatri memerintahkan seluruh pasukan disadeng untuk meletakkan senjata terhitung Surat ini kamu baca sampai 9 hari kedepan.
Jika peringatan ini tidak kamu indahkan, maka aku tidak akan berbelah kasih lagi. Aku pastikan kota praja akan segera jatuh.
Dan ingatlah! Ketika kota Praja jatuh, maka jatuhlah kamu bersama seluruh keluargamu.
Sangat disayangkan seorang pemimpin bijak seperti kamu rela mengorbankan Ribuan nyawa rakyatnya hanya demi sebuah kekalahan. Aku yakin kamu juga tau itu, sama sekali tidak ada peluang bagimu untuk bisa memenangkan perang ini.
Aku tidak bisa membayangkan seorang pimpinan hebat sepertimu bisa bertindak konyol dan tidak masuk akal.
Memisahkan diri dari Majapahit adalah tindakan sia sia. Karena sudah seharusnya Sadeng tetap dalam kesatuan Majapahit, karena kita bersaudara. Kita mempunyai warna kulit yang sama, bahasa yang sama dan suku yang sama. Lalu atas dasar apa kamu ingin memisahkan diri?. Tidak ada dua ratu di Jawa Dwipa ini Sima. Yang ada hanya satu, yaitu ratu Majapahit Yang mulia Dyah Gayatri.
Untuk itu demi tegaknya negara kita dan nyawa yang akan terbuang sia sia maka menyerahlah.
Sekali lagi, masih belum terlambat untuk mendapat pengampunan.
Jika tidak maka kita akan berhadapan sebagai musuh 9 hari lagi.Demikian sebagian surat peringatan yang dikirim Putri kepada ratu Sima. Tidak bertele-tele dan langsung pada intinya.
***
"Jika kalian masih menghargai aku sebagai pemimpin kalian aku putuskan untuk meletakkan senjata seluruh Prajurit" titah Ratu Sima tegas.
Beberapa penasehat mengangguk setuju.
"Apakah kamu percaya dengan tipuan mereka Sima!" Ayahanda Adipati Anom mencoba menggoyahkan pendirian Ratu Sima. "Apa mereka akan melepaskan kita setelah kita menyerah! Hukuman berat menanti kita" sambung ayahandanya itu.
Ratu Sima tersenyum kecut. Sejujurnya dia tidak perduli.
Jangankan digantung ataupun di pancung di alun alun Majapahit. Siapa yang perduli?!. Bahkan dihukum celeng celeng sekalipun dia tidak perduli. Hukum celeng celeng adalah hukuman dicincang seperti mencincang Babi. Itu adalah hukuman paling mengerikan. Hukuman yang sangat berat untuk kejahatan yang luar biasa, seperti yang pernah diterima oleh salah satu petinggi Majapahit yang telah memfitnah Patih Nambi yaitu Ramapati.
Bagi Ratu Sima keselamatan rakyatnya jauh lebih penting daripada satu nyawanya.
"Jika memang harus ada yang dihukum, aku sama sekali tidak keberatan jika tubuhku harus digantung di alun alun ayah" jawab Sima tanpa keraguan sedikitpun.
Sejujurnya dalam hati dia mengakui telah melakukan kesalahan yang lebih besar dari pemberontakan ini.
Iya! dia telah mencintai Raden Cakradara, suami dari Tuan Putri Dyah Tribuana, Panglima tertinggi Majapahit yang sebentar lagi akan dinobatkan sebagai ratu Majapahit menggantikan Ratu Gayatri.
Tentu kesalahannya ini sama sekali tidak dimaafkan Putri Dyah Tribuana. Sialnya Putri Tribuana pasti sudah tau soal perasaan hatinya terhadap Raden Cakra; mengingat Putri waktu menyamar sebagai seorang laki-laki bernama Kerta: Ratu Sima tidak malu malu selalu menanyakan segala hal tentang Cakra kepadanya. Sebagai seorang wanita dan sebagai seorang istri, pasti Tuan Putri Tribuana tau Ratu Sima telah jatuh hati kepada suaminya.Tapi dia mencintai Cakra dengan tulus. Seandainya dari awal dia tau Cakra sudah beristri pasti Ratu Sima akan mengubur dalam dalam perasaan hatinya itu. Tapi saat ini sudah terlambat. Raden Cakra susah terlanjur ada dihatinya.
"Mohon ampun Gusti, saya rasa kita perlu mengatur ulang strategi kita. Jelas perang ini sudah salah langkah. Bukanya kita yang menyerang tapi kita yang diserang." Ucap penasehat.
"Kekuatan kita sekitar 50.000 Prajurit. Sebenarnya bukan jumlah yang kecil, tapi jelas kekuatan kita jauh dibawah kekuatan para pengepung Sadeng. perang ini hanya akan sia sia" lanjut sang Penasehat.
Ratu Sima mengangguk.
"Panglima jika ada yang ingin kamu sampaikan sampailah!" Titah Ratu Sima kepada Panglima tertingginya.
"Saya sangat menyesal tidak bisa melihat kejayaan Sadeng Gusti Ratu. Apalah arti hidup saya jika saya harus melihat kekalahan ini seumur hidup saya. Demi menebus kesalahan saya, ijinkanlah saya menantang panglima tertinggi mereka untuk berduel satu lawan satu."
"Panglima!, untuk apa itu semua?. Bahkan kemenangannya dalam berduel sekalipun tidak akan bisa memenangkan perang ini?"
"Sama sekali bukan kemenangan yang saya cari Gusti, tapi harga diri saya selaku panglima yang gagal mengemban tugas yang Gusti embankan kepada saya telah jatuh. Biarlah saya menebus kegagalan saya Gusti" jika saya harus mati maka setidaknya saya sudah berjuang demi Gusti." Kata panglima mantap tanpa keraguan.
Ratu Sima menatap penuh haru panglimanya.
Setitik air mata menggenang.***
Dua hari setelah surat peringatan Putri diterima ratu Sima.
Pintu gerbang utama kota praja Sadeng terbuka. Dari kejauhan segenap Prajurit Majapahit yang di pimpin panglima Rakembar segera bersiap.
Beberapa Prajurit berkuda keluar dari gerbang dengan membawa Panji berwarna putih. Itu artinya Prajurit tersebut datang dengan tujuan damai.Dua orang Prajurit langsung memacu kudanya menuju pasukan Majapahit. Dan berdiri kira kira ditengah tengah antara gerbang dan pasukan Majapahit.
Prajurit Majapahit menjemput surat balasan yang dikirim Ratu Sima. Sementara Rakembar mengirim utusan kepada Tuan Putri Tribuana untuk menyampaikan balasan dari Ratu Sima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Singgasana Untuk Sang Putri TAMAT√
Narrativa StoricaSetelah resmi menjadi suami istri ternyata ada aja masalah yang dihadapi Cakra dan Tribuana. Kali ini dalam pengembaraannya menikmati bulan madu seorang penguasa wanita muda dari kadipaten Sadeng jatuh hati pada Cakra. Terus bagaimana sikap Tribua...