Putri Mengadu

160 14 4
                                    

Putri sedang berbincang-bincang santai dengan ibunya, Dyah Gayatri. Dengan manja  Putri membaringkan diri di pangkuan sang Ibunda.
Terlihat dari obrolannya, sepertinya Putri sedang curhat masalah pribadi, bukan tentang masalah negara.
Ketika sedang asik berbincang, tidak beberapa lama datang Prajurit menghadap.

"Mohon ampun yang mulia ... Ada Gusti Raden Cakra ingin menghadap" ujar Prajurit sambil menghaturkan sembah.
"Suruh dia masuk Prajurit" titah yang mulia Ratu Dyah Gayatri.
Siprajurit mohon diri.

Cakradara menghaturkan sembah ketika sudah berhadapan dengan sang ibunda  Ratu. Putri melengos.
"Cah ayu Sambutlah suamimu" tegur ibundanya.
"Kanda Cakra" sapa Putri setengah hati. Dia masih kesel karena  Cakra tidak menginginkan dia ikut ke Bali.
"Mohon ampun Ibunda Ratu, saya ingin berbicara dengan Putri"
Dyah Gayatri mengangguk. Tersenyum lembut kepada menantunya tersebut.
"Cakra, sejujurnya aku malu dengan sikap Gitareja.... _ Putri menatap ibundanya dengan tidak percaya. Padahal tadi dia sudah mengadu jika Cakra sepertinya sudah tidak sayang dia lagi karena tidak mau mengajak ke Bali.

Kirain mau dibela!

"Ibunda kok belain dia sih?" Protes Putri.
Cakra menyembunyikan senyum.
Dyah Gayatri mengabaikan ucapan Putri.
"Maafkan Putriku Cakra"

"Tentu saja yang mulia, Putri hanya sedikit kesal." Jawab Cakra.
"Dinda! tadi Ana bilang Dinda keluar.  Ternyata disini" kata Cakra pada Putri.

"Iya, aku kangen dengan Ibunda Ratu" Putri beralasan.

Dyah Gayatri membelai rambut putrinya.
"Cakra, Gitareja sudah bilang semua tentang usul kamu mengenai masalah Bali. Aku rasa yang kamu bicarakan dengan Gitareja  ada benarnya."

"Haaa..."?!!! lagi lagi Putri mendongak menatap ibundanya tidak percaya. Kemudian duduk disamping ibundanya itu. Raut wajahnya masam.

"Namun Gitareja sudah berjanji, ini yang terakhir kali dia ikut langsung terjun kemedan laga. Setelah itu Putri setuju untuk menggantikan aku menjadi Ratu." Sambung ibundanya.
"Jadi Cakra, untuk kali ini aku harap kamu tidak keberatan Putri ikut berangkat ke Bali." Titah sang Ratu.
Putri langsung sumringah.
"Aaaaa... Benarkah Ibunda. Terimakasih bunda" Putri meluk ibunya kegirangan. Matanya melirik suaminya penuh senyum  kemenangan.
Dalam hati Cakra jengkel juga dengan Putri. Ternyata dia kalah cepat dengan istrinya itu. Putri minta dukungan ibundanya. Kalau sang Ratu sudah bertitah Cakra bisa apa?.
"Jika itu memang kehendak Ibunda Ratu, saya setuju saja" jawab cakra.
Oh ya Ibunda Ratu, adik hamba,  Wiratama ingin menghadap. Dia membawa surat dari Raja Bali." Sambung Cakra.
"Benarkah? Gitareja!  Kalau begitu aku ingin beberapa panglima dan Senopati  menghadap hari ini. Kita akan membahas surat dari Bali"
"Baiklah bunda" jawab Putri.
"Ibunda, saya mohon pamit undur diri, Dinda kamu tidak pulang?" Tanya Cakra setelah minta ijin Ibunda Ratu.
"Ibunda, saya mohon ijin."  Pamit Putri.
Silahkan, ingat nasehat Ibunda, jangan melawan suami kamu jika dinasehati!" Nasehat Ibunda.
"Iya bunda. Kami pulang dulu"

***
"Cakra, kamu ingin makan apa? Hari ini aku dan Ana berencana membuat rica rica daging kelinci" jelas Putri sedang mengambil hati Cakra.
Lagaknya dimanja manjain biar Cakra ga marah.
"Kenapa tidak dayang saja yang kamu suruh?"
"Cakra, ini makanan tidak ada dijaman sekarang. Mumpung ada Ana, dia sedikit banyak bisa masak kok" Putri bersikeras.
"Terserah kamu dah." Cakra pasrah. Dia tau skill memasak Ana tidak jauh berbeda dengan Putri. Sama sama amburadul. Bahkan Putri bisa lebih baik dari Ana. Tapi itukan dulu?. Ga tau kalau sekarang.
"Eh ngomong-ngomong dimana Ana dan Wiratama?" Tanya Putri.
Cakra juga celingukan. Mengangkat bahu.
"Prajurit?! lihat Raden Wiratama?" Tanya Cakra pada Prajurit bayangkara penjaga diluar.
"Sepertinya  Raden Cakra dan Nona Ana ditaman belakang Gusti" jawab Prajurit.
Cakradara menatap Putri Tribuana.
Putri juga heran. Padahal mereka tidak bisa akur, ini kok bisa mereka berduaan ditaman.
"Aku akan lihat" ujar Cakra.
Cakra hendak langkah menuju taman ketika Putri menahan tangannya.
"Cakra biarin mereka.
Mungkin mereka harus saling mengenal lebih baik sebagai seorang saudara" ucap Putri.
"Hemm... Bagaimanapun mereka bukan saudara" jawab Cakra.
"Mungkin Wiratama penasaran dengan dunia modern jadi dia ingin mengenal Ana lebih jauh"
Putri tersenyum penuh arti.
"Cakra.... Putri bergelayut manja pada lengan suaminya. 
"Ini sudah pagi Putri... tadi malam kemana saja?!" Tegur Cakra yang paham dengan sikap manja Putri. Putri tersenyum malu.
"Apa kata Ana dan Wiratama nanti jika mereka mereka melihat kakaknya masih berduaan didalam kamar."
"Cakra, kamu tidak marah kan aku ikut ke Bali"
"Tidak! kamu sudah berjanji dengan Ibunda Ratu. Tidak mungkin kamu mengingkari. Kamu tahu? sejarah mencatat kamu akan jadi Rajaputri besar dan kelak putra kita akan menyatukan seluruh Nusantara. Ibarat membangun rumah saat ini kamu yang sedang membuat pondasinya. Jika pondasi rumah kokoh maka kuatlah bangunan rumah tersebut." Pinter juga Cakra berfilosofi. Aslinya sih njiplak kata kata Mario teguh dari masa depan.
"Sebelum kita membangun Majapahit kenapa kita tidak "membangun" hayam Wuruk dulu." Goda Putri.  Putri bermain main dengan rambutnya sendiri. Tersenyum genit kepada suaminya.
Akhirnya Cakra menyerah. Dia tau Putri tidak akan pernah menyerah sebelum keinginannya terpenuhi.

***
Sementara di taman.
Wiratama tampak asik ngobrol dengan Ana. Berdebat tentang siapa yang mirip siapa. Wiratama yang mirip Cakra, atau Ana yang mirip Cakra. Padahal Baik Ana maupun Wiratama merasa tidak ada mirip mirip nya.
Aslinya mereka mirip juga lo.
Tapi anehnya mereka sama sama saling tidak mengakui bahwa wajah mereka sepintas sama sama mirip Cakra.

___________________
vote dan komen ya KK jika kamu suka dengan cerita ini.

Singgasana Untuk Sang Putri TAMAT√ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang