Part 012

124 10 0
                                    

Paris—French.

Semua kalimat penenang dan beberapa kalimat untuk meyakinkan Evelyn bahwa kasih sayangnya hanya untuk adiknya saja masih tak membuat Evelyn berhenti menangis. Ancel berusaha keras sebelum ini, tapi tangisan Evelyn masih saja berlanjut ketika gadis itu masuk ke kamarnya.

Beberapa kalimat Ernest yang mengatakan kalau Evelyn terlalu menyia-nyiakan pendidikannya hanya untuk Fabio menghantam kepalanya. Pun dengan kalimat Ancel yang sampai sekarang masih terulang dipikirannya. Ancel menyayanginya, selalu. Evelyn tidak akan kehilangan kakaknya meski Ancel sudah menikah nanti.

Namun, Evelyn ragu.

Menjadi orang yang selalu memikirkan hal-hal kecil memang merepotkan. Evelyn tidak ingin Ancel menjadi milik orang lain. Ia tidak akan baik-baik saja jika orang lain merebut Ancel dari hidupnya dan berusaha memiliki laki-laki itu.

Namun lebih dari itu, Evelyn hanya takut kesepian. Jika suatu saat Fabio tak lagi bersamanya, ia tidak memiliki orang lain. Evelyn juga sedang merutuki nasibnya yang harus kehilangan kedua orang tua di usia belia. Harusnya mereka masih ada, mereka di sini dan memeluk Evelyn. Mengatakan kalau Evelyn tidak akan kesepian di masa depan tanpa Ancel. Evelyn akan baik-baik saja meski Ancel menjadi milik orang lain. Evelyn masih memiliki orang tua yang akan menemaninya hingga nanti.

Sayangnya, itu hanya angan-angan. Mereka tidak ada di sini. Mereka sudah tiada dan tidak bisa memeluk Evelyn lagi.

Tangis gadis itu pecah. Puncaknya ketika ia memeluk bingkai foto yang diambil ketika dirinya dan Ancel masih kecil. Orang tuanya masih ada. Dengan Evelyn berada digendongan ayahnya sementara Ancel dipeluk ibunya dari samping. Seperti keluarga yang bahagia, sebelum maut mengubah nasib mereka. Nasib dua anak yang menjadi yatim-piatu.

Bahkan ketika matahari sudah menyapa, sedikit tetesan air mata masih mengalir dari pelupuk mata gadis yang memiliki iris biru. Warna biru pada bola matanya biasanya bersinar, akan tetapi kini redup. Jika hari ini tidak ada ujian penting maka Evelyn akan absent dari kelas. Matanya bengkak dan terlihat sembab. Sangat jelas kalau dia baru saja menangis.

Beruntung ketika Evelyn bangun Ancel sudah pergi ke kantor. Laki-laki itu menyiapkan sarapan untuk adiknya dengan selembar kertas yang tergeletak di atas meja dekat roti isi buatannya.

Aku ada rapat penting pagi ini. Nikmati roti isinya dan pergi ke kampus dengan ceria. Aku menyayangimu, adik kecil.

Tanpa tertulis nama penulis surat kecil itu Evelyn tahu kalau itu dari Ancel. Sudut bibir Evelyn terangkat sedikit, ia lalu meraih roti isi di atas piring dan menggigitnya hingga habis. Segelas susu yang ada di sampingnya pun turut ia habiskan. Menangis semalaman sanggup membuatnya kelaparan.

Setelah selesai menyantap sarapan, Evelyn gegas membersihkan piring dan gelas sisa makannya. Ancel bisa marah nanti jika Evelyn tidak langsung mencuci piring setelah makan.

Untuk mengurangi bengkak di matanya, Evelyn mengambil beberapa es batu di kulkas dan mengompres matanya dengan itu. Sedikit membantu.

Mengingat jam sudah menujukkan pukul sembilan pagi, satu jam lagi kelasnya dimulai, Evelyn gegas membersihkan diri. Sebelum mandi, ia sempat mengecek ponselnya. Ada beberapa pesan dari Fabio yang ia abaikan sejak semalam. Namun pesan terakhir sanggup membuat Evelyn tersenyum kecil. Pesan yang berisi kalau laki-laki itu akan menjemputnya pagi ini.

Suasana hatinya sedikit lebih baik dari semalam. Mungkin karena faktor dia akan bertemu dengan kekasih hatinya, bisa jadi.

“Matamu, Eve. Kenapa?” Pertanyaan itu adalah pertanyaan pertama yang menyapa Evelyn ketika gadis itu sudah duduk di samping Fabio.

A Snowy Night | FQ20 Fanfiction ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang