Part 036

73 9 0
                                    

Philip Island—Australian.

“Apa kau tidak bisa mencatat dengan benar?!” sentakan Fabio mampu menyaingi suara bising motornya. Suasana gaduh di paddock Monster Energy Yamaha berubah suram begitu pembalap mereka kembali ke pit box dalam keadaan marah. Raut muka Fabio merah, sementara pelipisnya penuh dengan keringat akibat terlalu lama terpapar sinar matahari.

“Catatan tahun lalu sudah tepat. Strategi kita hanya mengikuti arah angin dan tidak terlalu melebar di tikungan. Apalagi tikungan ke-empat. Kau saja yang tidak mendengarkan Jarvis,” balas Tom. Laki-laki itu sama kesalnya dengan Fabio yang tiba-tiba menyentaknya dengan tidak menyenangkan di hadapan kru yang lain. “Dan lagi, kau bahkan lebih cepat di sektor tiga. Berbeda dengan tahun lalu, kau lemah di sana,” tambahnya.

“Aku tidak peduli! Strategi ini salah! Aku tidak menerima strategi semacam ini lagi besok! Jika aku tidak mendapatkan tempat dibarisan pertama atau kedua, jangan harap aku akan memenangkan balapan. Itu salah kalian. Terutama kau, Tom. Strategimu payah!”

Setelah kalimat sarkasnya itu terucap, Fabio segera mendiskusikan strategi baru dengan Jarvis. Laki-laki itu beberapa kali mengangguk saat Jarvis menuturkan beberapa strategi agar berhasil mencetak waktu tercepat di sesi kualifikasi.

“Mengikuti Bagnaia? Kau gila?!” sahut Fabio atas ucapan Jarvis yang menurutnya konyol. “Tahun lalu saja Márquez mengikuti Aleix dan Mir, dia mendapatkan hujatan dari seluruh dunia karena dia seorang juara dunia delapan kali. Apalagi aku?”

“Fab, hanya ini yang bisa membuatmu lolos ke kualifikasi dua. Jika kau tidak memenangkan balapan besok maka ini akan jadi yang kesekian kali kau gagal. Tidak malu? Orang-orang menganggapmu pecundang karena tidak bisa mempertahankan gelar. Kita harus melakukan apa saja agar bisa kembali ke atas. Lupakan tentang catatan dan strategi tahun lalu yang sudah kau pelajari. Fokus saja pada apa yang ada di depan mata. Paham?” tutur Jarvis.

“Kau pasti sudah gila!” tanggapnya tidak setuju.

“Fabio!!!” Jarvis kembali menaikkan suaranya. Pria tua itu memang tidak sabaran.

“Oke-oke, aku akan mengikutinya! Kapan dia keluar?!” Fabio balas menyentak pria itu. Selama beberapa saat suasana di pit box milik si nomor dua puluh sedikit ricuh. Namun beruntung kamera tidak menyorot tepat ke adah keributan terjadi
Mereka tidak akan menjadi pembicaraan orang-orang di luar sana, setidaknya untuk saat ini.

“Dalam tiga puluh detik,” sahut Andrew. “Pablo? Pablo? Kau di luar? Beritahu jika Bagnaia keluar!” perintah Andrew melalui monitor di tangannya.

“Monitor, monitor.... Bagnaia keluar,” ucap Pablo.

“Baik. Fabio akan keluar dalam lima detik,” sahut Andrew. “Cepat, Fab!”

Setelah mendengar intruksi Andrew, Fabio gegas memacu motornya keluar dari garasi. Bagnaia terlihat sudah keluar di belakangnya. Pembalap dengan motor berwarna merah metalik itu segera melajukan motornya meninggalkan Fabio setelah mereka berada di luar pit lane.

Dari belakang—sesuai dengan instruksi Jarvis, Fabio mengikuti rivalnya dari pabrikan berbeda yang kini tengah berada di puncak klasemen itu.

Sementara Fabio sekuat tenaga mengejar Bagnaia agar ia bisa mencetak lap time terbaik di belakang laki-laki itu. Namun sadar karena sedang diikuti setelah dua putaran Fabio selalu ada di belakangnya, Bagnaia memutuskan untuk masuk ke pit box. Ia akan melihat apakah Fabio masih mengikutinya atau tidak.

Ternyata dugaannya benar.

Dasar pembalap berengsek!

Selain Márquez yang suka menghancurkan balapan orang lain, Fabio juga berusaha mengambil lap time terbaik milik yang lain. Pembalap pada abad ini tidak ada yang benar semua.

A Snowy Night | FQ20 Fanfiction ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang