Part 023

107 12 0
                                    

Paris—French.

Lebih dari tiga puluh menit Evelyn terdiam di bangku taman dengan air mata yang setiap sepuluh detik sekali turun membasahi pipi mulusnya. Dalam benaknya ia terus bertanya apa kiranya alasan yang membuat Fabio memilih pergi padahal sebelum ini mereka masih baik-baik saja.

Fabio masih datang ke rumah sakit dan menemani Evelyn menjaga Ancel di sini. Bahkan laki-laki itu juga selalu khawatir akan keadaan gadisnya. Namun hari ini, malam ini, Fabio mengambil keputusan. Keputusan yang pernah beberapa kali terlintas di pikiran Evelyn akan tetapi yang tidak gadis itu duga adalah keputusan yang Fabio ambil di saat Evelyn tidak ingin keputusan itu menjadi hal yang lebih menghancurkannya.

Kenyataan bahwa Ancel kehilangan pengelihatannya saja sudah cukup membuat Evelyn hancur. Kini Fabio menambah kehancuran batin dan hati gadis itu.

Apa salahnya?

Bagian yang mana?

Kenapa harus sekarang?

Bukankah jika ingin memilih pergi Fabio bisa mengambil waktu lain selain hari ini?

Apa sekarang laki-laki itu sudah tidak memiliki hati nurani?

Begitu banyak tanda tanya yang berusaha Evelyn pecahkan melalui pemikirannya sendiri. Namun berapa kalipun gadis itu berpikir tetap tidak ada jawaban. Evelyn sadar dia tidak melakukan kesalahan yang menyakiti hati Fabio. Mungkin memang laki-laki itu saja yang bosan.

Evelyn pernah mendengar kalimat bahwa nyaris delapan puluh tujuh persen laki-laki di dunia ini adalah biadab yang selalu ia sangkal kalau Fabio-nya adalah pengecualian. Namun tidak. Memang tidak ada pengecualian apa pun di dunia ini. Mau dipukul rata pun tidak benar, akan tetapi pengecualian juga selalu menjerumuskan.

Tuhan memang Maha Membolak-balikan perasaan manusia. Baru kemarin mereka bersuka cita, sekarang Evelyn harus menelan pil pahit dalam hidupnya. Mulai dari kecelakaan Ancel sampai kepergian Fabio. Dua hal sialan itu terjadi dalam satu waktu.

Jika boleh jujur dan tidak memikirkan Ancel, Evelyn ingin mengakhiri hidupnya saat ini. Sosok yang selalu ia harapkan akan jadi penopang hidupnya justru pergi ketika penopang lain sedang tumbang. Kemudian apa? Evelyn tidak bisa bertahan sendiri tanpa Fabio. Laki-laki merenggut separuh jiwanya.

Salju turun makin deras. Evelyn tidak peduli jika tubuhnya menggigil atau lebih parahnya membeku di antara salju. Biarkan butiran salju itu meredam kesedihannya atas kepergian seseorang yang sangat membenci salju. Fabio. Laki-laki itu sangat benci salju dan musim dingin. Berbicara tentang salju, Evelyn jadi teringat laki-laki itu. Ingin sekali Evelyn lari dan mengejar Fabio. Evelyn masih ingat kalau Fabio selalu terpuruk jika salju turun. Emosi laki-laki itu di musim dingin selalu kacau.

Ya. Mungkin dengan alibi itu mereka bisa kembali bersama. Evelyn tidak bisa membiarkan Fabio pergi begitu saja. Gadis itu segera bangkit, hendak berlari jika sebuah tangan tidak mencekal pergelangan tangannya—menghentikannya.

Menoleh, sosok yang tidak Evelyn duga yang datang. Arthur Bellinor berdiri dengan sebuah payung putih dan jaket tebal di tangannya. Tubuhnya sudah berbalut mantel yang sudah menutupi hingga seperempat kakinya. Laki-laki itu menatap Evelyn datar.

“Kau....” Evelyn tidak tahu harus bagaimana menyambut kedatangan Arthur. Ia kehilangan kata dan niatnya untuk mengejar Fabio yang sudah lama pergi.

A Snowy Night | FQ20 Fanfiction ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang