Part 018

106 15 0
                                    

Paris—French.

Setelah mewanti-wanti Fabio untuk tidak menjemput Evelyn hari ini, usai jam kerjanya selesai, Ancel segera bertolak menuju kampus Evelyn yang berjarak sekita dua kilometer dari tempat kerjanya. Ancel ingin memberi pengertian pada Evelyn agar gadis itu menerima hubungannya dengan Ofelia. Susah jika sudah seperti ini. Ia ingin seperti yang lain—mencintai orang yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak akan tetapi ada orang yang penting untuknya dan dia tidak setuju.

Merasa harus memberi waktu, Fabio menahan diri untuk tidak bertemu pacarnya meski dia sudah sangat merindukan gadisnya itu. Fabio cukup mengerti dengan keadaan yang terjadi saat ini. Jangan sampai saja ada kesalahpahaman antara kakak beradik itu.

Setelah tiga puluh menit menunggu, sosok Evelyn berhasil Ancel tangkap. Dia sedang berjalan keluar gerbang dengan totebag yang menggantung di samping tubuhnya serta rambut coklatnya yang berterbangan diterpa angin sore. Kelasnya hari ini baru berakhir jam empat lewat lima belas menit. Gadis itu tampak lelah tak jauh berbeda dari beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang keluar beriringan dengan Evelyn.

Usai menangkap sosok adiknya, Ancel segera keluar dari mobil sembari melepas kacamata minus yang tadi bertengger di atas hidung mancungnya. Laki-laki itu melambaikan tangan tepat saat netra Evelyn menangkap sosok kakaknya.

Mendengus kesal, Evelyn berjalan mendekat ke arah Ancel. “Kenapa kau yang datang?” tanya gadis itu, sedikit ketus.

“Aku meminta waktu pada Fabio agar kita bisa bicara.”

Tanpa menjawab, dengan perasaan yang sedikit dongkol karena baginya saat ini Ancel menyebalkan, gadis itu langsung masuk dan mendudukan diri di bangku penumpang. Ancel mengikuti. Laki-laki itu segera menjalankan mobilnya.

Evelyn mengernyit begitu jalan yang mereka lalui bukan jalan menuju apartemen. Seharusnya mereka berbelok ke persimpangan akan tetapi mobil Ancel justru lurus hingga sampai pada pemberhentian lampu merah.

“Mau ke mana?” tanya Evelyn.

“Menemui Mom dan Dad.

Jawaban singkat Ancel langsung membuat jantung Evelyn berdesir. Ayah dan ibunya. Omong-omong, Evelyn sangat merindukan mereka.

“Sudah lama kita tidak menemui mereka, ‘kan?” Ancel menoleh disertai pertanyaan. Jawaban yang ia dapat dari adiknya hanya berupa gumaman tidak jelas.

Selanjutnya, selama dua puluh menit perjalanan mereka saling diam. Baru setelah mobil Ancel berhenti di depan sebuah pemakaman Cimetière de Montmartre, Ancel baru bersuara.

“Tunggu sebentar, aku akan mengambil bunga di bagasi!”

Menurut, usai melepas sabuk pengaman, Evelyn keluar dan menunggu Ancel sebentar. Keadaan pemakaman ini sepi. Beberapa kendaraan memang berlalu-lalang di depan, akan tetapi dari jarak Evelyn berdiri, suasana di dalam pasti cukup hening.

“Ayo!” ajak Ancel. Laki-laki itu telah siap dengan dua buket mawar merah. Evelyn berjalan mengikuti Ancel di belakang punggung tegap laki-laki itu.

Sampai di depan pusara kedua orang tuanya yang kebetulan dimakamkan berdampingan, keduanya menunduk. “Hi, Mom, Dad! How are you?” tanya laki-laki itu usai menaruh buket bunga di atas pusara.

Evelyn tidak berkata apa pun. Gadis itu hanya menatap batu nisan dengan tulisan Eldridge Guerrero dan Veronica Bailey. Nama ayah dan ibunya beserta tanggal kematian mereka tertulis di atas batu hitam itu.

Selalu, jika sampai di sini, Evelyn tak bisa menahan air matanya. Sesak. Ia selalu menangis jika berada di samping ayah dan ibunya. Gadis itu terisak kecil. Ancel di sampingnya langsung memberi usapan lembut di punggung adiknya.

A Snowy Night | FQ20 Fanfiction ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang