Part 032

67 8 0
                                    

Paris—French.

Dua puluh lima menit berlalu begitu saja. Fabio masih duduk di lobi apartemen Evelyn. Sudah selama itu Fabio menunggu Evelyn turun. Ia tidak tahu jadwal gadis itu sekarang. Apakah dia harus pergi kuliah pagi ini atau masih nanti siang. Untuk mengantisipasi kalau sampai ia salah datang maka Fabio datang lebih awal saja daripada nanti mereka tidak bertemu.

Denting lift berbunyi saat beberapa orang keluar dari box berjalan itu. Fabio melihat satu persatu orang yang keluar. Tidak ada Evelyn di antara mereka. Sebenarnya bisa saja Fabio naik dan mengetuk pintu apartemen gadis itu. Fabio tahu persis di lantai mana Evelyn dan Ancel tinggal. Namun tidak sekarang. Fabio tidak bisa bertemu Ancel saat ini di saat ia masih merasa berdosa pada laki-laki itu.

Fabio kembali melirik jam Tissot yang melingkar di pergelangan tangannya untuk yang kesekian kali. Pukul delapan lewat sepuluh menit. Biasanya Evelyn akan turun jam delapan untuk pergi ke kampus. Namun sudah lewat sepuluh menit saja gadis itu belum juga menampakkan batang hidungnya.

It's okay, Fabio masih bisa menunggu lebih lama dari ini. Apa pun akan Fabio lakukan asal mereka bisa bicara. Mungkin Fabio akan menutupi dosanya dengan kebohongan. Asal mereka kembali bersama. Yang Fabio butuhkan sekarang hanya Evelyn. Ia tidak bisa terus terpuruk seperti ini jika Evelyn tidak ada.

Dentingan lift kembali Fabio dengar. Ia cukup berdebar tiap kali melirik ke sana—menunggu siapa yang akan turun.

Detik berikutnya laki-laki bernapas lega saat Evelyn keluar dari dalam lift. Gadis itu membawa totebag dan tas kecil berisi makan siangnya serta buku tebal yang ia peluk dengan erat agar tidak jatuh.

Fabio menghampiri Evelyn dengan segera. Evelyn sedikit terkejut akan tetapi keterkejutan itu ia ubah menjadi sikap acuh. Gadis itu tetap berjalan sementara Fabio mengekor di belakang.

Persetan dengan kesempatan kedua. Jika Fabio mengharapkan itu maka Evelyn tidak akan memberikan begitu saja. Semua yang ada di dunia ini ada harganya. Barang dibayar dengan uang, sakit hati maka harus dibayar dengan kebencian. Meski Evelyn juga tidak sanggup untuk membenci laki-laki itu seperti keinginannya.

“Eve? Aku ingin bicara denganmu. Sebentar saja!” panggil Fabio dari belakang.

Acuh. Evelyn tetap berjalan menuju halte bus yang tak jauh dari tempatnya tinggal. Fabio tetap mengekor di belakang. Gadis itu bahkan menganggap kalau tidak pernah ada sosok itu di belakangnya.

“Eve? Lihat aku!”

Bahkan saat Fabio berdiri di depannya saja Evelyn langsung menyingkir tanpa melihat wajah laki-laki itu.

Dua menit kemudian sebuah bus datang. Evelyn langsung masuk dan mengambil duduk di samping jendela. Fabio dengan sikap menyebalkannya masih mengikuti. Laki-laki itu bahkan duduk di sampingnya. Terus menatap wajah gadis itu dari samping bahkan saat bus mulai menjelajahi jalanan kota Paris yang lumayan padat.

Evelyn membuka buku bawaannya. Membaca dengan saksama tiap kalimat yang tertuang di dalamnya. Itu adalah cara yang paling mungkin ia lakukan untuk mengabaikan Fabio.

Sebenarnya dalam hati Evelyn cukup dongkol dengan laki-laki itu yang tidak tahu diri dan terus mengekorinya. Namun Evelyn menahan rasa ingin meledak itu hingga dia diam saja dan membiarkan laki-laki itu melakukan apa yang ingin ia lakukan.

“Kalau diingat-ingat kita belum pernah kencan naik bus begini, ya? Aku seringnya menjemputmu menggunakan mobil hasil pole position. Sebenarnya ini agak lucu tapi aku lebih suka mengajakmu jalan dengan mobil yang aku raih dari hasil kerja keras,” kata Fabio sembari terkekeh sendiri.

A Snowy Night | FQ20 Fanfiction ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang