Mari kita mempercepat waktu ke massa Park Jiniel sudah kelas 1
Jiniel memandang kertas putih di depanya, sebuah kertas yang lebih banyak di penuhi oleh tinta merah daripasa tinta hitam. Lagi dan lagi, ini adalah Matematika, sebuah pelajaran yang seberusaha apapun dia mengerjakannya nilainya tidak lebih dari 8.
Bahkan mendapat nilai 8 saja Jiniel sudah merasa bahwa itu tidak mungkin. Untuk kali ini jangankan 8, mendapat 6 saja tidak. Padahal ini adalah pelajaran kelas 1 SD, semua orang akan bilang bahwa ini adalah pelajaran yang paling mudah.
Semua teman sekelasnya, semuanya mendapat nilai lebih dari 8. Hanya dia satu-satunya anak yang mendapat nilai bawah 6.
Jiniel rasanya tidak ingin pulang, bahkan hanya untuk menggerakan kaki dari mejanya. Matanya terasa berat karena menahan air mata, dia takut sampai rumah Eommanya akan memarahinya.
Jungwoo dan Hyunki berjalan ke arah Jiniel, melewati mejanya terlebih dahulu. Semua itu sebenarnya mereka sengaja.
Hyunki memukul kepala belakang Jiniel kencang, membuat tubuh Jiniel otomatis terdorong ke depan dan terkena meja. Dua anak itu tanpa berdosanya tertawa, kemudian Jungwoo maju beberapa langkah tepat di depan wajah Jiniel.
Jungwoo memegang dagu Jiniel dan tanpa kata apapun lagi Jungwo langsung menampar pipi Jiniel kencang. Jiniel meringis, merasakan pipinya yang terasa panas.
"Cih, dasar anak bodoh!" Desis Hyunki sambil tersenyum sinis.
"Pffttt kau dapat berapa? 56? Nilai macam apa itu? Padahal sosengnim sudah memberikan soal mudah dan ya ampun ini hanya perkalian, semua manusia di dunia bisa perkailian kecuali kau kepala udang." Jungwoo memegang dahi Jiniel dan mendorongnya beberapa kali.
"Maklum saja, sosengnim bilang dia adalah anak hasil perpisahan orangtuanya. Pantas saja ayah dan ibumu cerai sebelum kau lahir, karena mereka mana mau punya anak bodoh sepertimu."
"Sudahlah, ayo Hyunki kita pulang. Aku malas melihat wajah anak haram ini." Jungwoo merangkul pundak Hyunki untuk pergi keluar kelas meninggalkan Jiniel sendirian.
Jiniel hanya bisa menatap kosong pemandangan di depanya, mau menangis sekalipun juga semua itu percuma. Air matanya sudah mengering, dia sudah lelah untuk menangis.
Iya, Jiniel jadi korban bully di sekolahnya.
Seketika pikiran Jiniel melayang ke massa-massa taman kanak-kanaknya dulu, lebih tepatnya ke massa tahun pertama dia di TKnya, dimana para hyung-hyungnya yang selalu menjaganya dan sangat menyayanginya, menerima dirinya anak paling termuda di kelas sebagai bagian dari mereka. Namun begitu mereka semua lulus dan Jiniel tertinggal sendirian di TK, semuanya berubah. Jiniel tidak punya teman kecuali Darren, itupun karena Darren adalah teman main setiap harinya.
Tapi, Darren saat ini berbeda SD dengan dirinya karena Darren tidak diterima di SD ini. Entah apa alasanya namun Darren terpaksa berada di SD lain.
Sekarang Jiniel sendirian, tidak ada para hyungnya, tidak ada juga Darren. Dan dia susah untuk bergabung dengan yang lainnya karena Jiniel di kelas adalah anak yang sangat pendiam, dia tidak akan berbicara selain ya, tidak, dan juga terimakasih. Entah apa alasan Jiniel menjadi seperti ini, bahkan Jiniel pun merasa tidak tahu kenapa dia seperti ini.
"Loh, Jiniel." Kepala Jiniel mendongak ketika ada yang memanggil namanya.
"Bu Areum..." Jiniel merasa sangat senang, dia menggendong tasnya dan langsung berlari ke arah Areum yang berdiri di ambang pintu. Jiniel memeluknya sangat erat, dia sangat merindukan guru TKnya, tapi Areum sendiri tahu pelukan itu tidak hanya kerinduan, melainkan juga ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Park Jiniel
RandomIni adalah dunia Park Jiniel, anak laki-laki dari pasangan idol terkenal. Jiniel lahir memegang sendok emas. Tiap kehadirannya membawa senyum. Namun, di bahunya tersimpan beban. Perceraian orang tuanya membuat Jiniel enggan melihat dunia lebih luas...