Suasana di sekitar terasa memanas, hembusan nafas terdengar begitu berat. Kelas yang seharusnya mempunyai aura menyenangkan dengan penuh tawa berubah menjadi penuh mencekam.
Satu persatu orangtua yang mengambil rapot anaknya sudah mulai pulang , bersama dengan senyum merekah anak- anak mereka karena mendapatkan nilai yang memuaskan.
Jihyo duduk di hadapan wali kelas Jiniel, pembagian rapot akan di panggil menurut ranking anak, dan Jiniel di panggil paling akhir yang itu berarti Jiniel menenmpati posisi ranking terakhir.
"Bu.." Wali kelas Jiniel mulai membuka suara, tanganya menyodorkan rapot milik Jiniel dan membukanya. Dapat terlihat banyak sekali coretan merah disana.
Jiniel yang melihat itu langsung terkejut, tanganya mengepal penuh kekesalan, wajahnya datar tanpa ekspreksi.
"Ini nilai Jiniel kenapa banyak sekali merahnya? Bahkan semua mata pelajaranya bewarna merah, hanya seni dan prakarya yang mendapat nilai tinggi. Apa Jiniel dirumah tidak pernah belajar?"
Jihyo hanya terdiam, dia melirik ke arah Jiniel dengan ekspreksi yang sulit ditebak. Dirinya mencoba untuk tidak marah, namun dalam hati kecilnya yang paling dalam tidak bisa berbohong bahwa dia kecewa.
"Saya sudah bingung harus mengajari Jiniel dengan metode apa lagi Bu, bahkan untuk menghafal pertambahan saja dia tidak bisa. Ini baru kelas 1, tapi kenapa nilai Jiniel sudah merah semua seperti ini?"
Tapi disini yang membuat Jihyo jauh lebih marah adalah wali kelas Jiniel yang di banding membuka bimbingan konseling lebih disebut menjelekan.
"Tidak semuanya merah, nilai Seni dan Prakarya anak saya mendapat nilai yang tinggi, bahkan saya dengar dari teman saya yang merupakan guru seni budaya nilai Jiniel paling tinggi di angkatanya."
"Terus memang kenapa kalau nilai seninya bagus? Jaman sekarang seni itu adalah hal yang tabu. Mau jadi apa Jiniel kalau dia hanya bisa dalam bidang seni? Anak ibu tidak akan pernah menjadi apapun. Lihat semua nilai mata pelajaranya merah, apalagi matematika dan sains yang mendapat nilai E, padahal itu pelajaran yang sangat penting, bukan hanya dua mata pelajaran itu, nilai mapel yang lain pun sama rendahnya. Ibu seharusnya memperhatikan bagaimana Jiniel belajar? Dan anda idol kan? Bukankah Jiniel harus menjadi anak yang sempurna untuk menjadi contoh."
"Saya memang seorang idol Bu, tapi bukan berarti anak saya harus menjadi yang sempurna. Saya tidak pernah sekalipun menyangkut pautkan pekerjaan saya dengan kemampuan anak saya."
"Yasudah kalau begitu lupakan, apa ibu tidak merasa prihatin dengan kemampuan akademik anak ibu yang di bawah rata-rata? Akan jadi apa Jiniel jika kemampuanya hanya di seni? Lihat nilai perkalian saja salah semua, sudah jelas bahwa Jiniel itu adalah anak yang bod-."
"Bu!" Ucap Jihyo dengan nada meninggi, penuh kedinginan dan juga amarah di hatinya.
"Ibu wali kelas kan? Ibu pasti tahu bahwa setiap anak itu punya bakat dan kelebihanya masing-masing. Ada pepatah mengatakan ikan tidak akan pernah bisa memanjat pohon. Mau dipaksa bagaimanapun juga ikan tersebut tidak akan pernah bisa memanjat pohon."
"Anak saya memang nilai mata pelajaranya tidak tinggi seperti teman-temanya yang lain, anak saya memang isi rapotnya tinta merah. Tapi saya tahu bahwa anak saya punya kelebihan yang bahkan saya sendiri tidak akan pernah bisa melakukanya. Kepintaran seseorang itu tidak selalu tentang nilai-nilai mata pelajaranya di sekolah. Saya tidak masalah kok nilai mata pelajaran anak saya rendah, karena saya tahu anak saya punya kelebihan sendiri di bidang lain."
"Tidak masalah ibu bilang? Apa ibu tidak takut kalau kedepanya Jiniel tidak menjadi apapun karena nilainya seperti ini?"
"Gagal di sekolah bukan berarti juga gagal di dunia nyata."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Park Jiniel
De TodoIni adalah dunia Park Jiniel, anak laki-laki dari pasangan idol terkenal. Jiniel lahir memegang sendok emas. Tiap kehadirannya membawa senyum. Namun, di bahunya tersimpan beban. Perceraian orang tuanya membuat Jiniel enggan melihat dunia lebih luas...