Camaraderie 18 ~ Tumbang

4.1K 281 7
                                    

Raihan menarik nafas sangat dalam lalu hembuskan perlahan. Ia tak bisa menghentikan Papa nya yang akan menelpon Nessa hanya karena masalah sepele menurutnya. "Cuman infusan biasa, Pa." katanya berusaha lagi.

"Nessa harus tau kamu disini, kamu sendiri dengar kan dokter bilang apa? Kamu harus nginap disini dulu semalam." Papa nya Raihan lebih keras.

"Besok Sagara ulangtahun."

Hendra—Papanya Raihan berhenti mengutik ponsel. Fokus pria tua itu sekarang adalah menatap anaknya yang terbaring di ranjang Rumah Sakit. "Kalau kamu pulang, risiko Sagara kena lebih besar."

"Raihan cuman kurang vitamin Pa—"

"Terus siapa yang terkulai lemas di ruang Papa tadi? Bukan kamu?"

Raihan tidak ingin berdebat. Walaupun dia kepala keluarga di dalam keluarga kecilnya, ia tetap lah anak di mata orangtuanya. Omongan sang Papa harus di dengar.

"Maaf tadi nggak pegang ponsel Pa, ada apa?" suara lembut menantu perempuan Papanya terdengar.

"Papa cuman mau ngabarin Raihan sekarang di ruang inap, Sa. Hampir pingsan tadi. Dokter minta untuk nginap dulu disini. Kamu nggak usah buru-buru kesini ya, ada Papa yang jaga."

"...."

"Nessa?"

"Makasih ya Pa,"

"Sama-sama nak," Panggilan berakhir begitu saja.

Papanya Raihan duduk di kursi yang sudah disediakan di dalam ruang inap, tepat di samping ranjang. "Nessa nggak akan marah kamu," ujar Papanya jahil.

Raihan diam. Malas berbicara.

"Ya Allah nak, kamu mau ya istri kamu tungguin dirumah sampai tengah malam padahal kamu nggak bisa pulang. Seharusnya kamu berterima kasih sama Papa."

Tidak akan terjadi, karena Raihan akan tetap nekat pulang kerumah. Tidak masalah berjaga jarak dengan istri dan anak selama sakit yang penting ia berada dirumah.

"Nessa pasti capek Pa, harus bolak-balik RS ngurus yang sakit itu nggak enak. Kasihan dia." Raihan tahu, ada masalah yang belum diceritakan istrinya. Ditambah dia harus dirawat di Rumah Sakit sudah sangat membebani Nessa.

Hendra mengangguk mengerti. "Papa lebih dulu menikah dari kamu. Tapi Papa bangga atas sikap kamu sekarang. Terima kasih sudah memperlakukan istri kamu sebaik mungkin, dan Papa juga harus berterima kasih sama Nessa karena mau menerima kamu."

"Papa kerja aja gih, aku lagi malas dengar suara siapapun." balas Raihan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.

"Ya manjanya kumat, istirahat yang cukup nak." Hendra tertawa atas tingkah anaknya yang dari dulu memang manja, lalu ia mencium pipi kanan putranya itu meski si anak sudah menjadi Papa dari cucunya. "Papa sudah janji sama Nessa bakal jagain kamu sampai dia datang."

Putra kedua Hendra termasuk anak yang kuat secara fisik. Terhitung jarang sakit, dan tidak mudah tertular. Jadi, ketika Raihan harus di rawat berarti fisiknya sudah sangat melemah dan memang butuh istirahat yang banyak agar cepat pulih. Hendra mengerti perasaan anaknya tentang hari esok. Dimana cucu keduanya itu bertambah usia yang pertama. Keluarga menantunya yang sudah datang ke Jakarta, persiapan dan lain-lain sudah direncanakan dengan baik. Namun yang namanya musibah, tidak ada yang tahu kapan datang. Tidak perduli sedang apa.

Hendra berdiri, memperbaiki selimut anaknya yang ternyata tertidur. Setelah itu, keluar dan duduk di kursi panjang depan ruang inap sambil menunggu sang menantu yang akan datang. Agar tidak ada yang menganggunya, Hendra membuka snelli kedokterannya.

CamaraderieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang