Camaraderie 21 ~ Daddy and his Son

4.7K 297 12
                                    

Tidak ada kata terlambat untuk mendidik seorang anak. Namun, lebih baik di didik sedini mungkin. Rata -rata pada umumnya citra seorang ayah dikenal dengan tegas dan tak berperasaan. Banyak kasus seorang anak yang tidak dekat dengan Ayah mereka karena tak sampainya rasa kasih sayang yang dibalut dengan ketegasan.

Begitupun Raihan, dia ingin menjadi seorang Papa yang berpendirian tinggi dan tidak mudah luluh. Apalagi anaknya adalah laki-laki. Dari zaman dahulu, seorang anak laki-laki itu harus kuat, berani dan percaya diri. Maka dari itu, mulai sekarang Raihan ingin putra mereka—Sagara tidur di kamarnya sendiri. Harus dimulai dari langkah terkecil dulu.

Mengalihkan perhatian dari kebingungan yang sangat jelas ditunjukan Sagara, Raihan memutuskan untuk membuka obrolan sederhana misal tentang kegiatan yang dihabiskan sepanjang hari ini. Meski, ia yang berbicara lebih banyak. "Sampai besar, tua nanti. Kamu tetap anak kecil Papa." ucapnya sungguh-sungguh.

"Hei, dengar Sagara. Papa ngelakuin ini supaya kamu terbiasa dan nggak takut." Raihan bersusah payah mengajak putranya berdiam di atas kasur.

"Mama.." rengek Sagara.

"Kita biarkan Mama dengan waktunya sendiri ya, Sagara sama Papa."

Sagara menangis pelan, wajahnya yang kecil itu menampakan kesedihan yang berarti. Mungkin, mengira Papanya sedang menghukum atas kesalahan.

"Sagara. Dengar Papa, besok pagi kamu bisa ketemu Mama. Papa cuman nyuruh kamu tidur disini dengan nyaman sayang."

Raihan menghapus air mata yang tidak berhenti keluar dari pelupuk mata Sagara yang persis seperti milik Mamanya. Di umur 1 tahun 4 bulan, wajah anaknya mulai terlihat campuran antara ia dan istrinya. Kemana bayi yang lahir dengan versi mini Raihan?

"Mama.." kembali Sagara menyebut Mamanya dengan suara tangisan pelan.

Raihan membawa Sagara dalam pelukan. "Sini sama Papa." katanya sambil mengusap-usap pelan tubuh belakang putranya.

"Su..su..Pa.." ucap Sagara terbata-bata.

Raihan mengangguk mengerti, bangkit dari tempat tidur sembari menggendong putranya, Papa dan anak itu keluar dari kamar menuju lantai bawah. Karena putranya yang sudah mencapai usia 1 tahun, mereka kembali ke kamar semula. Sagara ditempatkan di kamar tepat disebelah kamar Papa dan Mamanya.

Suara sesegukan Sagara terdengar jelas, diam-diam Raihan tersenyum melihat putranya yang seperti ini. Hanya malam saja ia bisa menghabiskan waktu dengan anaknya. Sagara lebih banyak menghabiskan kesehariannya bersama sang Mama. Itulah mengapa si bayi menangis, dia mencari sosok Mamanya yang tiba-tiba hilang. Biasanya setiap akan tidur, Mamanya memberi ASI, perlahan terlelap kemudian Raihan yang akan menemaninya tidur di box bayi berukuran sedang yang ada di kamar mereka sampai benar-benar tertidur nyenyak.

"Nangisnya udahan ya. Kan Papa sudah kasih susu." ujar Raihan memberi sebotol susu pada anaknya. Mereka kembali lagi ke kamar.

"Cih.." cicit Sagara yang berarti terima kasih.

"Sama-sama. Kamu bobo ya," balas Raihan mencium pipi anaknya karena tidak tahan dengan kegemasan si putra semata wayang.

Butuh waktu lebih dari satu jam untuk menidurkan Sagara setelah dikasih susu. Anaknya itu berceloteh dengan suara seraknya, masih mencari Mama nya dan berakhir kelelahan. Sagara tertidur. Raihan tidak langsung meninggalkan putranya, ia menunggu sampai si anak tertidur pulas, dan tidak terganggu dengan gerakan kecil yang Papanya lakukan.

Merasa anaknya sudah dialam mimpi, ia beranjak pelan-pelan menuju pintu penghubung antara kamarnya dengan kamar Sagara.

"Adek cari kamu, Mama, Mama.." ujar Raihan memberitahukan pada Nessa sembari meniru suara Sagara yang terus mencari Mamanya.

CamaraderieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang