2. Tanah Asing

89.1K 7.6K 66
                                    

Aroma lavender menguar lembut. Hangat dan nyaman, seperti tidur di atas awan. Karenanya punggung Restia tidak merasakan sakit karena kasur bobrok penghuni kosan. Membuatnya semakin betah berlama-lama terpejam.

Eh, tunggu!

Restia merasakan sentuhan lembut. Membelai seluruh tubuhnya. Ah, bukan hanya itu! Restia juga mendengar bunyi gemericik air.

Situasi ini... hahaha, Restia bukan sedang dimandikan kan? Pasalnya buat apa Restia dimandikan kalau bukan untuk....

Nggak! Nggak mungkin! Masak iya Restia sedang menjalani rangkaian pemandian jenazah?

"Nggak...."

"Aku belum... mati...." rancaunya di bawah ambang sadar. Segenap usaha Restia lakukan untuk membuka mata. Satu aturan mutlak! Kalau melihat jembatan, jangan diseberangi. Bisa-bisa mampus beneran.

"Nggak... nggak mau...."

Mata itu berhasil terbuka. Restia langsung duduk. Selang beberapa detik otaknya merespon.

Kepalanya berdenging hebat karena tiba-tiba bangun setelah kesadarannya kembali. Perlahan terdengar suara aneh yang lama kelamaan jelas.

"Na..."

"Onaa..."

"Nonaa...."

Tapi, siapa dia?

Restia menatap heran pada wanita berpakaian sopan dengan pita merah di kerah bajunya. Di tengah terdapat batu giok kecil berwarna hijau. Ia terlihat berkaca-kaca sambil memegangi handuk kecil. Ah, sepertinya orang ini yang menyentuh tubuh Restia tadi.

"Syukurlah...." ucap wanita itu dengan raut haru.

"Saya akan memanggil tabib dan orangtua Nona." Lanjutnya lagi kemudian bergegas pergi. Meninggalkan Restia yang tampak cengo.

Nona? Sejak kapan zaman ini menerapkan kata ganti Nona untuk panggilan perempuan? Itu kuno banget! Lalu....

"Tabib? Memang di jaman modern masih ada tabib?" gumam Restia kemudian menoleh ke samping.

Seketika mata itu dibuat membelalak. Pemandangan dari jendela besar itu terpampang pelataran luas dengan beberapa taman tersusun rapi. Tidak ada satupun gedung pencakar langit, suara bising kendaraan dan polusi udara yang kian hari membuat ibu kota jadi ladang asap.

"Dimana ini? Antah berantah?"

"Tunggu!" Restia menyisir sekitar. Tak ada satu pun bola matanya menemukan alat medis modern. Semuanya dominan dengan barang-barang antik.

"Ma-masak sih aku diculik sama mafia? Tapi buat apa?" pikirnya mulai ngawur. Efek kebanyakan membaca novel dan wattpad.

Kepanikan mengisi sekujur tubuhnya hingga mencetuskan niat untuk kabur. Restia menyibak selimut beludru yang terlihat mahal itu.

Satu hal fakta yang ia temui. Di mana bekas luka yang seharusnya ia dapat akibat kecelakaan? Kakinya terlihat mulus bahkan lebih mulus dari biasanya.

"Ugh!" pekik Restia, tepat ketika ia berhasil berdiri dengan dua kakinya.

Bukan karena tidak sanggup berdiri. Di banding area kaki, Restia lebih tersiksa dengan kepalanya yang tiba-tiba menegang. Rasanya seperti diikat oleh ribuan tali.

"Hah! Apa ini!" gumamnya seraya memegangi kepala.

Satu persatu ingatan asing menerobos masuk. Membuat otaknya terasa penuh dan kepalanya semakin menegang hingga ia harus terkulai di lantai.

"Astaga! Restia!" pekik seseorang. Ia segera mendekap tubuh Restia erat.

Wajah khawatir itu sangat kentara. Anehnya juga Restia tiba-tiba mengenal laki-laki paruh baya yang sedang mendekapnya ini.

The Villain Want to Die (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang