60. Pedang Pelindung

17.5K 1.6K 20
                                    

Senampan sarapan dibawa oleh Restia. Ia berjalan santai menuju kamar Livius. Beberapa hari ini tugas yang seharusnya dilakukan ole pelayan itu ditanggung oleh Restia. Ia mengajukan diri. Sebagai rasa pedulinya pada kesembuhan Livius.

Ini adalah hari ke sepuluh obat untuk penyakit Livius ditemukan. Seseorang dari negeri yang sangat jauh memiliki kasus yang sama dan berhasil sembuh. Dokter istana langsung menuju ke negeri itu untuk mencari tahu dan berhasil kembali dengan obat di tangannya.

Alhasil kesehatan Livius semakin membaik. Dia sudah bisa tersenyum seperti dulu. Pekerjaan kaisar yang tadinya diemban Elgar pun sedikit demi sedikit ia ambil alih kembali.

Lalu, tentang Elgar. Walau masih terlihat kaku, tapi hubungan mereka sedikit demi sedikit mulai membaik. Mereka punya batasan untuk sekedar menjadi teman.

Tidak apa! Ini adalah keputusan bersama. Sejak awal langkah mereka salah. Kini mereka sedang berusaha kembali ke jalan masing-masing. Di situasi ini, Restia bahkan tak lagi memikirkan dunianya. Ia seakan dibuat tersihir oleh dunia ini. semua perasaannya nyata. Membuatnya enggan meninggalkan.

“Livi!” pekik Restia.

“Sudah ku bilang kan. Jangan duduk di sana lagi!” lanjutnya masih mengoceh.

Ya bagaimana tidak? Saat ini Livius tengah duduk di pagar pembatas balkon. Sedang kamarnya ada di lantai dua. Bukannya apa, Restia takut keseimbangan Livius terganggu dan jatuh.

“Livii, jangan menakuti ku. Turunlah dan sarapan!”

“Hehe, iya, iya,” cengir Livius.

Seperti anak itik, Livius menuruti perkataan Restia dan duduk dengan nyaman di kuris. Menyantap makananannya sampai habis lalu Restia akan menyajikan obat dan akan ditelan Livius.

“Bagaimana keadaan mu sekarang?” tanya Restia.

“Emh… ku pikir agak sakit di bagian pundak.”

“Di mananya?”

“Kemarikan tangan mu!”

Restia menurut dan mengulurkan tangannya. Lalu detik berikutnya Livius menggiring ke pipinya. Mengecupnya pelan kemudian mengusap-usapkannya.
“Aku suka aroma tangan mu. Aromanya sangat menenangkan.
Kau pakai parfum?”

“Hm.”

“Parfum dari toko mana? Aku akan membeli semuanya. Kalau bisa akan ku miliki hak patennya agar tak ada satu pun orang di negeri ini yang memiliki aroma sama dengan mu.”

Restia memandang datar. Sepertinya Livius memang punya obsesi terhadap sesuatu. Selalu ingin memiliki sesuatu seorang diri.

“Jangan berlebihan Livi, aku tidak membelinya di toko mana pun. Rowena meraciknya untuk ku. Emh… kalau tidak salah, dia menggunakan bunga lavender dan beberapa bahan lain.”

“Hemm… kalau begitu aku akan memberikan Rowena hadiah. Karena sudah menciptakan aroma yang sangat cocok dengan mu.”

“Hah, terserah kau saja!” ucap Restia menyerah. Kalau sudah berambisi, mau ada badai petir pun akan ia terjang. Tapi, syukurlah, Livius sudah sangat membaik sampai seperti ini. Jika mengulik dua bulan terakhir, rasanya mustahil untuk sekedar mengangkat kepala.

“Aku pikir sudah waktunya untuk ku kembali,” gumam Livius.

“Kau akan mengambil alih semua pekerjaan mu?”

“Humm, aku tidak enak membiarkan Elgar menanganinya terus. Sedangkan aku sudah baik-baik saja.”

“Apanya yang baik. Kau bahkan masih sering batuk-batuk,” dengus Restia.

The Villain Want to Die (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang