34. What the hell!

31.2K 3.1K 51
                                    

Sentuhan lembut Restia dapati ketika kesadarannya perlahan mulai mendekat. Sungguh, enam hari penuh cobaan dan hawa dingin menerjang tanpa henti. Sejak ia jatuh sakit tiga hari setelah tinggal di panti asuhan, Restia dipindahkan ke rumah sederhana Elgar. Di sana pun Restia tak kunjung membaik. Hingga satu malam Restia jatuh pingsan saat hendak pergi ke dapur.

Elgar membawa Restia ke desa terdekat. Jaraknya hanya setengah hari perjalanan. Di sana Restia ditangani oleh dokter desa dengan fasilitas seadanya. Perlahan tubuh Restia membaik, namun cuaca yang semakin hari mendekati musim dingin membuat tubuh Restia rentan akan serangan demam.

“Ugh….” keluh Restia. Ia membuka mata ketika menyadari tangannya diusap lembut.

“Ro…wena?” rancau Restia. Pandangannya masih buram.

“Syukurlah,” sahut suara bariton. Restia familiar dengan suara itu. Tapi tidak mungkin kan? Livius tidak mungkin ada di sini.

Ya, itu yang dipikirkan Restia sebelum pandangannya berubah jelas. Ia tak bergeming. Menyadari Livius dengan tatapan sendu.

“Apa ada yang tidak nyaman?” tanya Livius setelah hampir setengah jam Restia sadar.

“Emh… tidak ada,” jawab Restia kebingungan. Yang di hadapannya benar-benar Livius yang itu?

Livius tersenyum syahdu. Matanya teduh memandang Restia. “Istirahatlah, ada beberapa hal yang harus ku urus,” ucap Livius sebelum pergi. Itu pun ia selalu menoleh ke belakang. Seolah tidak ikhlas meninggalkan Restia.

What the hell! Ada apa dengannya? Apa dia keselek biji salak selama Restia menghilang?

Sudahlah, lupakan perilaku aneh Livius!

Restia menyisir sekitar. Ruangan ini tak kalah mewah dengan kamar miliknya di mansion keluarga Adler. Jika tebakan Restia benar, tempat ini adalah kediaman keluarga Aslan. Merupakan salah satu Count sekaligus dalang penyebab hancurnya desa yang sempat Restia singgahi tempo hari lalu.

Ya, Elgar menceritakan semuanya. setelah Restia mencetuskan ingin menggulingkan Livius. Elgar memberitahu semua informasi tentang aktivitas gelap para bangsawan.

Sejak itulah, Restia merencanakan come back yang berpotensi menggemparkan seisi kekaisaran. Ya, ini adalah bagian rencana Restia. Sebagai bentuk balasan atas desa yang telah dibuat hancur. Restia akan menduduh Count Aslan sebagai dalang penculikkannya.

Seperti istilah sekali dayung dua atau tiga pulau terlampaui. Restia memanfaatkan dirinya sebagai korban penculikkann yang sejatinya dilakukan oleh Elgar lalu melemparnya ke Count Aslan. Setidaknya ia akan dipenjara atas tuduhan palsu ini. Mengingat Restia adalah calon permaisuri.

Hah, itu pun kalau Livius setuju. Yang Restia tahu, Count Aslan itu kan pendukung kaisar garis keras. Pasti sudah banyak kontribusi yang  ia lakukan. Livius pasti menimbang-nimbang sebelum memberikan hukuman. Sial!

Tok Tok Tok

Tampak Elgar membuka pintu dengan salam kaku. Seperti bukan dirinya saja mengingat sudah berulang kali perlakuan tidak sopannya tempo hari. Ia kemudian masuk, memberi isyarat pada Restia bahwa ada dua pelayan yang menjaga di depan pintu. Oh pantas saja.

“Siapa pun di luar sana. Bisakah bawakan aku biskuit? Aku ingin makanan ringan,” ujar Restia mengalihkan perhatian mereka sejenak guna memberi ruang untuk Elgar berbicara.

Setelah dirasa dua pelayan itu pergi. Elgar menarik kursi di dekatnya dan duduk santai. Melupakan formalitas yang seharusnya dilakukan kaum bangsawan.

“Bagaimana kondisi mu?” tanya Elgar. Restia pikir ia akan memberitahu situasi terkini Count Aslan. Ternyata dia datang untuk menanyakan kondisi? Wah, di luar dugaan.

The Villain Want to Die (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang