22. Curiga

37.4K 3.6K 38
                                    

Mata Restia menyipit. Barisan orang berjejer di depannya memasang raut cemas dengan keringat dingin membasahai tubuh di balik pakaiannya. Dengan tangan diletakkan di belakang, seperti sikap istirahat di tempat ala pramuka. Restia menginterogasi setiap orang.

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar. Restia hanya mentapa mereka. Begini-begini juga, dulu Restia pernah ikut organisasi Himpunan Mahasiswa. Saat latihan dasar kepemimpinan. Restia harus mengikuti berbagai kegiatan yang menguji mental.

Dari sanalah Restia belajar, tekanan dibutuhkan untuk menunjukan siapa pemimpinnya. Ya, saat itu Restia hampir terkencing di celana karena Kakak tingkat yang melotot setiap kali bertemu pandang. Sekarang, ia bisa membalas perbuatan Kakak tingkat itu walau hanya sekedar melampiaskan pada para pelayan ini. Yah, setidaknya dendamnya sudah terlampiaskan walau subjeknya berbeda.

"Nona, matahari hampir tenggelam. ini sudah memasuki waktu untuk mereka menyiapkan makan malam," ujar Rowena menginterupsi.

"Tunggu dulu. Aku masih ingin bersama dengan mereka," sanggah Restia seraya menatap tajam. Kenyataannya sudah hampir tiga jam mereka berdiri tanpa melakuka apa-apa. Sedangkan Restia duduk berpangku tangan sambil menikmati sajian teh.

Kejadian kemarin perlu ditindaklanjuti. Nama Restia tercoreng karena pengkhianat beraksi di situasi krusial. Membuat Restia hampir saja kehilangan nyawa. Ia melakukan ini hanya untuk memberi pelajaran supaya koki di rumahnya tetap waspada. Restia percaya, bukan mereka yang melakukannya. Sebab, Restia sudah menghabiskan banya waktu di dapur untuk bereksperimen makanan dan merasakan kecintaan mereka terhadap pekerjaannya.

Lantas siapa? Selain koki dan pemasok barang, tidak ada satu pun yang diberi akses kemari.

"Nona, sebaiknya dilanjutka besok saja. Mereka harus menyiapkan makan malam. Tuan Chalid akan segera sampai. Jika tidak ada makanan di meja makan dikhawatirkan-"

"Baiklah," sahut Restia. Ia butuh ketenangan untuk memikirkan teka-teki ini.

"Dengar kalian semua!" pekik Restia nyaring. "Aku percaya kalian tidak akan melakukan hal senista itu untuk menjatuhka keluarga Adler. Tolong jangan buat aku kecewa. Akhir-akhir ini aku sudah menganggap kalian keluarga ku sendiri," ucap Restia bergumam di akhir kalimat. Ia kemudian melengos pergi diikuti Rowena.

Ruang kamar menjadi satu-satunya tempat kembali untuk Restia. Diikuti dengan Rowena yang masih setia mengekor, Restia duduk di salah satu kursi. Ia merebahkan punggungnya. Tangannya bergerak aktif menggaruk asal rambut panjang yang dikepang sedemikian cantik. Ulahnya itu membuat karya Rowena kembali ke bentuk semula.

Geram! Ya, Restia geram dengan situasi ini. Bukan ranah otaknya untuk memecahkan kasus tanpa adanya petunjuk. Namun, di posisi ini, Restia harus mengandalkan siapa lagi kalau bukan dirinya sendiri? toh, yang tercoreng adalah namanya.

Meminta bantuan Chalid? Hell! Restia sudah banyak merepotkan. Lagi pula Chalid memang sedang repot mengurusi tuntutan Livius pada dewan legislative kemarin.

"Rowena?" panggil Restia frustasi. "Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak pandai bermain detektif! Argh! Siapa pun bantu aku!" pekiknya di akhir kalimat. Jangan lupakan pose Restia yang sudah goleran di sofa tanpa kenal etika bangsawan.

"Nona ingin mandi? Mungkin dengan itu pikiran Nona bisa sejuk kembali," usul Rowena.

"Humm.... Tolong siapkan."

Rowena bergegas pergi untuk menyiapkan segala keperluan.
Bak mandi berukuran besar. Mata air yang mengalir dari patung wanita yang membawa kendi. Dibanding bak ini seperti kolam renang versi anak-anak di dunia nyata.

"Nona...." isyarat Rowena agar Restia melepas handuk piyamanya.

Balutan kain tipis berwarna putih membalut tubuh Restia. Ia berjalan santai memasuki bak mandi besar. Sedangkan Rowena berjaga di belakang.

The Villain Want to Die (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang