Jari lentik nan indah itu bergerak. Mencengkram kemudian melonggar. Mata sayu yang terlihat di bawah naungan cahaya bulan tak henti menatap jemari tangan yang bergerak sesuai perintah otaknya.
“Kenapa tadi aku berbuat seperti itu?”
“Seolah tubuh ku dikendalikan oleh sesuatu.”
Kilasan ingatan tentang kejadian di danau terlintas kembali dalam benak Livius. Itu bukanlah kehendaknya. Jelas-jelas tadi ia tidak berpikir akan menceburkan diri ke danau. Ia justru khawatir dengan perahu yang oleng akan membahayakan Restia sehingga ia berniat menjaganya. Tapi, kenapa tubuhnya berkata lain?
Livius mencengkram erat jemarinya. Yang terlihat di mata Restia pasti dirinya yang rela mengorbankan nyawa demi Aurora. Pasti seperti itu.
“Hah! Dia pasti salah paham,” lirihnya.
“Aku harus menemuinya.”
Oleh karena malam belum begitu larut. Livius tak membawa lenteranya untuk sampai di kamar Restia. Karena istana hanya akan mematikan penerangan utama saat bulan sudah terlihat meninggi. Ia membelah sunyi sepanjang koridor. Sebelum Restia tidur. Ia harus meminta maaf.
Tok tok tok
“Restia… ini aku, Livius.”
Tidak ada respon. Livius mengetuk sekali lagi.
“Restia?”
“Ya-Yang Mulia?”
Livius menoleh saat suara wanita menginterupsi gendang telinganya. “Kau pelayannya Restia kan? Di mana dia?”
“Nona Restia sedang di perpustakaan Yang Mulia. Katanya Nona bosan di kamar dan ingin membaca.”
“Begitu, baiklah. Terimakasih.”
“Sa-sama-sama,” ucap Rowena kikuk.
Livius tersentak. Pelayan Restia yang Livius tahu menemani tunangannya itu sejak kecil ternyata memiliki sifat pemalu seperti ini.
“Nama mu Rowena bukan?”
“I-iya Yang Mulia. A-apa ada yang bisa saya bantu?”
“Kenapa kau tidak menemani Restia di perpustakaan?”
Gemetar tubuh Rowena terasa dari ujung kepala sampai kaki. Ia seketika bersujud di depan Livius. “Ma-maafkan saya Yang Mulia. Sa-saya ceroboh. Sa-saya akan kembali ke sana.”
“Apa-apaan itu. Apa Restia selalu merundung mu sampai kau bersikap kikuk sampai tergagap seperti itu? padahal aku hanya bercanda,” sebuah kekehan terdengar singkat. Ya, Livius tersenyum. Ia ingat, saat kecil Restia selalu menceritakan tentang Rowena di sebuah surat yang rutin ia kirimkan ke istana tanpa satu pun balasan dari Livius. Walaupun begitu Livius selalu membacanya. Bahkan tumpukan surat Restia masih ada hingga sekarang.
Rowena terdiam dengan wajah bingung. Mau tidak mau Livius harus membocorkannya. Tentang isi surat yang selalu membanggakan tentang Rowena.
“Maukah kau mengantar ku sampai ke perpustakaan? Aku akan bercerita satu hal yang mungkin tidak kau ketahui tentang Restia.”
“Dengan senang hati Yang Mulia,” jawab Rowena semangat.
Mereka berjalan santai menuju perpustakaan. Tentu saja dengan Livius berada di depan sedangkan Rowena mengekor.
“Kau tahu, Restia selalu mengirim surat pada ku saat awal pertunangan kita.”
“I-iya.”
“Dia selalu memberitahu kesehariannya. Lauk makannya. Teh yang ia minum di hari itu dan seseorang yang selalu menemaninya. Ya, itu kau. Restia cerita banyak hal tentang mu. Dia selalu membanggakan mu seolah dunia akan runtuh jika kau tidak di sisinya. Kau menemaninya saat dia tidak bisa tidur di malam hari dan mengusap air matanya ketika Restia merindukan Ayahnya yang selalu sibuk sampai lupa pulang ke rumah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Villain Want to Die (END)
FantasyHanya karena nama karakter dalam novel sama, tanpa sebab Restia Wardani masuk ke dunia novel dan bertransmigasi ke tubuh Restia Alder D. Freya. Pemain antagonis yang selalu mencelakai female lead. Seolah sudah jatuh tertimpa tangga. Restia tau akhir...