13. Terdakwa Mati

47.8K 4.8K 43
                                    

Punggung besar dan gagah itu tampak kokoh berdiri membelakangi Restia. Beberapa ruang tamu dengan interior ukiran di beberapa dinding kerap Restia lewati.

Kakinya berhenti. Begitupun sosok di depannya dan para pengawal di samping kanan dan kiri Restia.

Sebuah pintu besar dengan ukiran rumit yang dominan berbentuk pedang dan matahari terpampang di depan Restia. Pegangan pintu berwarna emas itu didorong oleh dua penjaga setelah mendapat isyarat oleh Livius.

Derak bunyinya terdengar kasar di telinga Restia. Entahlah, padahal masih lebih kasar dengan pintu yang ada di rumah. Namun, bagi Restia, rasa khawatir dan cemas ini membuat pintu itu seolah pintu yang akan menentukan hidup dan matinya.

Tubuh Restia gemetar hebat. Aneh sekali! Padahal ia sudah bertekad untuk mati. Tapi kenapa ketakutan masih menghantuinya?

Tanpa sadar tangan Restia mencengkram baju belakang Livius. Nafasnya tiba-tiba tersengal sampai ia tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

Terlihat dua pengawal di samping kanan dan kiri Restia dengan pose bersiap menarik pedang dari sabuknya. Seakan Restia adalah kriminal mengerikan yang akan menyerang Livius dari belakang.

Livius spontan mencegah dua pengawal itu dan memberi kode untuk menurunkan ketegangan.

"Ada yang mau kamu sampaikan?" tanya Livius.

"A-aku t-tidak bersalah...." spontan Restia mengucapkan kalimat itu. Pada dasarnya ia memang tidak bersalah. Lantas kenapa ia yang harus dihukum?! Restia baru menyadari. Ia tidak ingin mati dalam keadaan terhina seperti ini!

"Oh ya?" Livius mendekat hingga bibirnya berada di samping telinga Restia lalu berbisik. "Bukankah kamu menginginkan kematian dari ku? Sekarang sabit kematian itu ada di depan mu. Tapi kamu takut. Ternyata ungkapan mu di tea party saat itu hanya siasat untuk menarik perhatian ku saja ya?! Bodoh sekali!" sarkas Livius.

DEG!

Bukan! Bukan seperti ini!

"Nikmatilah buah dari ucapan mu!" lanjut Livius dengan tatapan tajam.

"T-tidak... Yang Mulia tolong dengarkan penjelasan saya."

"Bawa dia masuk!"

"Tidak! Yang Mulia! Ku mohon...."

"Restia...." saut suara bariton dari dalam ruangan.

"A-ayah?"

Restia melihat sosok ayahnya dan juga Rowena tengah menatap khawatir dari kursi pengadilan di sana. Ah, ternyata Restia tidak sendiri. Ada keluarga yang membantunya.

"Tolong perlakukan putri ku dengan layak Yang Mulia. Biar bagaimana pun dia adalah tunangan mu!" saut Chalid. Matanya penuh amarah menatap Livius.

"Aku sudah memperlakukannya dengan baik. Lihat kan? Tidak ada yang cacat dengan putri mu!" dengus Livius kemudian beranjak ke kursi kebesarannya.

Rowena tampak berlari menghampiri Restia. "Nona... hiks...." seperti biasa, Rowena akan menangis ketika terjadi sesuatu pada Restia. Ah, rasanya Restia juga ingin menangis.

"Bagaimana Ayah dan Rowena bisa di sini?" tanya Restia berlinang air mata.

"Tentu saja Ayah harus di sini. Ayah mana yang membiarkan anaknya difitnah!" jelas Chalid yang kemudian disetujui dengan anggukan oleh Rowena.

"Ayah percaya pada ku?"

"Tentu saja. Sampai kapan pun Ayah berada di pihak mu."

"Hiks...." tidak tahan lagi, Restia memeluk erat Chalid. "Terimakasih Ayah. Terimakasih.... hiks..."

The Villain Want to Die (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang