"Bisa bicara sebentar?"
Laki-laki itu memberi isyarat kepada pelayan yang mengantar Restia untuk pergi. Sepertinya Restia familiar dengan adegan ini. Entah kenapa terlintas begitu saja di benak.
"Salam untuk Matahari Eraslan. Yang Mulia Livius Zen Eraslan," salam Restia. Mengangkat sedikit gaunnya dan menekuk lututnya singkat kemudian berdiri tegak kembali. Sebuah adat yang diberlakukan untuk menyapa bangsawan kelas atas.
Satu alis Livius tampak terangkat. Restia meyakini kalau Livius tengah dilanda kebingungan karena perilaku Restia yang tiba-tiba berubah.
Yah, pada dasarnya Restia memang tidak ingin mengejar-ngejar Livi. Biarkan Livi untuk Aurora seperti alur dalam novel.
Restia memang tergila-gila dengan tampang Livius. Itu adalah mahakarya luar biasa yang diciptakan Tuhan. Akan tetapi hatinya tidak merujuk pada rasa cinta. Jika diibaratkan posisi Livius itu seperti Idol yang Restia cintai. Sebatas itu.
"Apa yang kamu rencanakan kali ini?" tanya Livi.
"Emh.... minta tanda tangan mu dan Aurora."
Tadinya sih ingin jawab jujur seperti itu. Tapi, dia akan menganggap Restia gila. Itu sebabnya Restia harus berdalih.
"Maaf Yang Mulia. Kali ini saya tidak merencanakan apapun. Jujur selama ini saya lelah dan ingin berisitirahat. Jadi... saya ingin berbaikan dengan Nona Aurora."
"Hal itu tidak ada dalam kamus mu!"
"Ada.... baru saja saya tulis tadi. Hehe. Ternyata Nona Aurora sangat asik diajak ngobrol. Dibanding para canis lup... ah, maksud ku, dibanding dengan para lady lainnya. Saya lebih tertarik mengobrol dengan Nona Aurora."
Senyum Restia padam ketika tubuh Livius tanpa sadar sudah berjarak beberapa centi darinya. Ia terus mendekat. Tatapan tajam tak luput tersirat dari kedua maniknya. Sampai daun telinga Restia merasakan hembusan nafas dan Livius berujar. "Aku tidak akan memaafkan mu jika terjadi sesuatu dengan Aurora!"
DEG!
Sakit! Sebenarnya hati siapa yang sakit? Mungkinkah ini perasaan milik Restia Adler?
Tenang! Restia harus tenang!
"Aku janji tidak akan mencelakai Aurora. Sebagai gantinya...." Restia melirik ke samping tepat ke arah pedang yang tersemat dibalik jubah Livius. "Maukah Yang Mulia membunuhku?"
Manik Livius menatap lekat. Mencari kepalsuan di sorot mata Restia. Nihil! Yang ia temui hanya keseriusan. Seketika Livius menjauh. Diam-diam ia meraba pedangnya. Keningnya mengernyit ketika ketidakpahaman memenuhi isi kepalanya.
Kenapa Restia ingin mati? Mungkin itu yang saat ini terpikirkan.
"Jangan bercanda. Kembalilah ke taman. Aurora mungkin sedang menunggu mu," ucap Livius datar.
"Aku tidak bercanda Yang Mulia."
"Apa kamu benar-benar putus asa sampai ingin mengakhiri hidup?" Livius mendengus. "Hidup itu bukan tentang cinta saja."
"Oh ya? Kalau begitu, bisakah Yang Mulia meratakan sekali lagi kampung halaman Nona Aurora?"
Livius mengernyit. Gagal paham dengan perkataan Restia.
"Kalau hidup bukan tentang cinta saja. Maka Negeri Wisteria sudah lama hancur. Lalu kenapa Yang Mulia memilih untuk memaafkan Negeri Wisteria yang diam-diam mengumpulkan pasukan untuk menyerang kekaisaran?"
"Ku tanya sekali lagi. Apa Yang Mulia yakin itu bukan cinta?" goda Restia yang tentu saja terdengar seperti sindiran untuk Livius.
Padahal Restia murni ingin mendapat jawaban pasti tentang perasaannya terhadap Aurora. Jika memungkinkan Restia bisa jadi Mak Comblang mereka. Karena di dalam novel, Aurora itu sangat tidak peka dengan ketulusan Livius.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Villain Want to Die (END)
FantasyHanya karena nama karakter dalam novel sama, tanpa sebab Restia Wardani masuk ke dunia novel dan bertransmigasi ke tubuh Restia Alder D. Freya. Pemain antagonis yang selalu mencelakai female lead. Seolah sudah jatuh tertimpa tangga. Restia tau akhir...