3. Jalan Pulang

77.8K 7K 62
                                    

Beberapa jam kemudian.

Buntu!

Restia benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Merasa sesak, ia pun beranjak ke jendela. Memandang teduh hamparan hijau berpadu warna indah bunga pada umumnya.

"Lumayan tinggi juga," sahutnya ketika menengadah ke bawah.

"Dari dulu aku pingin punya kamar di lantai atas biar kayak di drama korea. Akhirnya kesampaian juga." Restia menarik kedua tangannya ke atas untuk meregangkan tubuh. "Yah... sayang terkabulnya di dunia novel."

"Hmm. Tunggu!"

"Karakter Restia bakal mati dieksekusi karena meracuni Aurora. Di situlah akhir hidupnya dan di situ juga akhir dari novel Matahari Eraslan. Yah... walaupun agak gedek juga sih karena nggak ada adegan pernikahan Aurora sama Kaisar di ending. Tck! Nggak sekalian buat malam pertama atau pas udah punya anak kek. Biar lega pembaca satu ini. Huh! Kesel juga kalau dibahas."

Restia kembali menengadah ke langit. "Kalau saat ini aku jadi Restia Alder De Freya berarti aku cuma harus mati untuk kembali ke rumah?"

Mata Restia membola ketika pikiran absurt itu tercetus.

"Kebanyakan cerita transmigasi yang kubaca kan kayak gitu."

"Masih ragu sih. Tapi patut dicoba! Siapa tahu berhasil kan? Hidup itu harus menantang resiko. Kalau diem aja keburu sangkakala ditiup. Fighting!"

"Oke! Aku harus nyusun rencana bunuh diri! Semakin cepat semakin baik bukan? Hehe," cengirnya tanpa dosa. Tidak tahu betapa beratnya mengakhiri hidup untuk orang normal.

"Tenang aja male lead dan female lead. Kali ini aku nggak akan ganggu hubungan kalian. Menikahlah dan berkembang-biak-lah sebanyak-banyaknya."

Flashback Off

Jantung Restia masih berpacu kuat. Bagaimana jadinya kalau Rowena tidak mensahut tangan Restia?

Apanya yang bunuh diri! Restia belum siap secara mental! Benar, dia punya niat. Tapi bagaimana akan terlaksana jika niat saja masih separuh lingkar?

"Nonaa! Nonaa, apa yang anda lakukan!" tegur Rowena sembari mengguncang-guncang tubuh Restia yang masih bengong. Pipinya basah oleh air mata. Menangis tersedu-sedu.

"Tolong jangan buat seisi rumah jadi dingin kembali. Tuan pasti akan sedih dan mengurung diri lagi kalau terjadi sesuatu pada Nona," lanjutnya semakin gencar mengguncang tubuh Restia.

"Iya, iya... sepertinya aku akan mati duluan jika kamu mengguncangku sekuat ini," dengus Restia.

"Ah... maaf Nona, a-aku tidak bermaksud begitu," responnya sambil membungkuk takut.

Lihatlah bagaimana Restia mendominasi tempat ini. Rumah adalah tempatnya menyusun rencana licik dan baginya pelayan hanyalah tempat pelampiasan jika dirinya sedang kesal.

"Benar-benar memuakan!" gumam Restia lirih. Namun sayangnya didengar Rowena. Ia ketakutan sampai spontan bersujud dan merancau minta ampunan.

Oh ayolah! Di depan mu hanya gadis modern yang jauh dari hirarki vertikal!

"Aku hanya bergumam. Tidak usah pedulikan ucapan ku," sahut Restia mencoba memperbaiki suasana. "Selain itu, kenapa kamu menyelinap ke kamar ku di tengah malam?"

Percayalah itu nada paling biasa dan nggak ngegas. Tapi berhasil membuat Rowena yang sudah bangkit dari sujud kembali melakukannya lagi.

Semengerikan itukah Restia?

The Villain Want to Die (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang