Tubuh Restia menengang. Tiba-tiba suasana di kamar tamu istana ini berubah menjadi sedikit panas. Tanpa diperintah, puluhan peluh di dalam dress tidur Restia pun turut memperkeruh suasana hatinya.
Bagaimana tidak? Semua peran penting dalam novel Matahari Eraslan berkumpul di satu ruangan! Situasi macam apa ini? Rasanya Restia ingin pura-pura pingsan saja.
“Bagaimana keadaan mu?”
Suara baritone itu sontak membuat tubuh Restia merespon kaget. Seisi ruangan tahu tubuh Restia yang terlonjak.
Yah, gimana tidak kaget! Yang bertanya adalah orang yang kemarin nyaris menjatuhkan hukuman mati. Si Livius!
Di luar rencana dan di luar ekspetasi. Siapa yang menyangka kepedulian yang terdengar pura-pura ini justru terlontar untuk pertama kali dari mulut sang malaikat mautnya Restia.
“A-aku baik-baik saja,” ungkapnya. Mati-matian Restia menyembunyikan suara gemetarnya.
Tadi Restia sempat sesumbar karena berhasil memutuskan pertunangan dengan Livius secara terang-terangan di depan dewan legislatif. Bahkan ia sudah menganggap dirinya orang paling keren di dunia ini karena hanya dirinya yang berani melakukan hal itu.
Tapi sekarang? Bernafas saja rasanya berat. Rasanya nafas ini enggan keluar melewati tenggorokan. Menguap kemana keberaniannya itu?
“Syukurlah,” balasnya singkat padat dan jelas tanpa embel-embel apapun. Terlihat sekali kalau kepedulian itu hanyalah formalitas di depan orang-orang. Menyebalkan sekali!
Seisi ruangan pun dibuat hening seketika setelah Livius menyelesaikan kalimatnya. Mereka enggan berucap mengingat siapa yang bediri di sana. Sampai suara Livius memcah keheningan lagi.
“Aurora, sebaiknya kamu kembali ke kamar. Bukankah tabib istana menyarankan mu untuk istirahat cukup?”
“Ah… emh… aku kemari ingin tahu kondisi Lady Restia,” sautnya kikuk.
“Sekarang sudah tahu kan? Sebaiknya kamu kembali. Elgar, tolong antar dia!” titah Livius mutlak.
“Baik Yang Mulia. Ayo Nona Aurora,” ajak Elgar sopan.
“Anu… tunggu!” timpal Aurora. Ia segera memeluk Restia kembali dan berbisik. “Semoga lekas membaik. Aku menantikan bermain di rumah Lady lagi.”
Aurora pergi dengan Elgar mengawal di belakangnya. Sedangkan Restia dibuat tak bergeming dari tempat semula akibat sorot mata Livius yang menatapnya lebih tajam dari sebelumnya.
“Rowena, tolong buatkan teh,” titah Chalid. Rowena yang peka akan situasi pun segera menyingkir.
Sebenarnya teh itu hanya alasan Chalid saja. Di balik titahnya tersimpan pembicaraan cukup penting yang tidak boleh didengar siapa pun.
“Putri ku, apa kamu sanggup duduk di kursi?” tanya Chalid lembut.
Percayalah! Jantung Restia berpacu secepat pacuan kuda yang sedang lomba. Sorak-sorakan riuhnya seperti suara degub jantung yang berusaha Restia kendalikan. Di situasi ini mau menolak pun tidak bisa. Dia Kaisar sedangkan Restia hanya bangsawan di bawahnya. Seperti biskuit utuh yang berhadapan dengan remahan.
“Humm….” jawab Restia terpaksa.
Kemudian Chalid memapah Restia. Membantunya untuk duduk di kursi yang berada tidak jauh dari ranjang.
Tidak lama Rowena datang membawa nampan berisi Teh beraroma mawar dan beberapa camilan ringan mengingat Restia belum makan. Ia pun berinisiatif sendiri.
Ya, tidak dapat dipungkiri kalau Restia memang lapar. Setelah camilan itu datang, ia terus memandanginya tanpa berkedip. Tapi, sayang etiket sialan bangsawan menahan keinginannya untuk menyaut camilan lezat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Villain Want to Die (END)
FantasyHanya karena nama karakter dalam novel sama, tanpa sebab Restia Wardani masuk ke dunia novel dan bertransmigasi ke tubuh Restia Alder D. Freya. Pemain antagonis yang selalu mencelakai female lead. Seolah sudah jatuh tertimpa tangga. Restia tau akhir...