4. Mie Ayam Good

72.1K 6.7K 132
                                    

Restia memandang datar pantulan dirinya di kaca. Rambut bervolume alami. Curly di ujung rambut menjuntai sampai punggung. Wajah yang jelas mulus tidak berminyak macam wajahnya di dunia nyata.

"Huh, muka kayak gini aja disia-sia-in. Coba kamu ke dunia ku Mbak. Live tiktok aja udah dapet cuan," gumam Restia sambil memegangi pipinya sendiri.

Tok tok tok

"Nona. Saya masuk," sahut Rowena. Pasti ia akan mengantarkan sarapan seperti biasa.

Sebuah nampan menyita kedua tangan Rowena supaya sarapan bisa sampai pada pemilik sesungguhnya. Dengan telaten Rowena menaruh satu persatu sajian ke meja.

Restia mendekat ketika indra penciumannya mencium aroma manis. Sepotong roti panggang dengan selai blueberry dan segelas yogurt mengisi penglihatannya.

Ah, kali ini roti. Seperti dijadwal, sarapan Restia kalau tidak roti panggang ya sereal dengan susu. Hah! Restia rindu sarapan nasi uduk depan warung Pak Omang.

Bukan hanya itu. Selama menginjakan kaki di tanah asing ini Restia belum sekalipun memakan nasi. Hal itu berbanding terbalik dengan julukan orang Indonesia yang katanya belum makan kalau tidak ada nasi.

Tidak boleh! Hal ini harus diakhiri!

"Rowena?"

"Iya Nona?"

"Apa di sini ada beras?"

"Beras?" tanya balik Rowena. Gagal paham dengan ucapan Restia.

Sudah diduga sih! Di jaman ini padi belum ditemukan. Toh, temanya juga kerajaan. Pastilah kemajuan teknologi belum berkembang.

"Itu... emh.... semacam biji-bijian yang bisa diolah. Bisa menggantikan gandum atau kentang untuk memenuhi kebutuhan pangan."

"Kalau itu... emh.... sepertinya saya pernah mendengar seorang pedagang menjual bibit aneh yang katanya berasal dari negeri seberang. Kalau tidak salah namanya padi?"

"Ah. Itu! Iya, itu yang aku cari. Kamu tau di mana aku bisa menemui pedangang itu?" tanya Restia sumringah.

"S-saya tidak tahu Nona. M-mungkin Nona bisa tanya dengan Ayah Nona. Beliau kepala serikat dagang Eraslan."

Kenapa tidak kepikiran? Wah, bertransmigrasi ke tubuh ini membuat otak Restia tumpul. Pantas saja Restia Adler selalu menggunakan tangannya dari pada otak. Payah sekali!

"Terimakasih Rowena. Aku akan ke tempat Ayah."

"Ah... anu Nona. Sepertinya Nona tidak bisa."

"Kenapa?"

"Tuan Chalid sedang menghadiri pertemuan dengan Kaisar. Beliau berangkat tadi pagi dan sengaja tidak membangunkan Nona karena takut mengganggu istirahat Nona."

"Oh gitu...." Restia mendudukan kembali dirinya.

"Kalau begitu saya permisi dulu. Kalau butuh sesuatu bunyikan lonceng. Saya akan langsung datang," jelasnya kemudian beranjak pergi dengan etika sopan terpancar kuat. Terlihat sekali aura bangsawan yang sudah diajarkan dari kecil.

Restia mensahut garpu perak di meja. Memandang pantulan dirinya yang tercipta berkat jernihnya perak alami berkualitas tinggi.

"Kaisar? Kalau di novel Aurora sering panggil Livi. Tapi nama kepanjangannya siapa ya? Livi... Livi Eraslan?" Ia menusuk roti panggang di depannya. Kemudian seolah otaknya dibanjiri informasi. Nama sang Kaisar langsung muncul. "Oh! Livius Zen Eraslan!"

"Ahh.... nggak sabar pingin ketemu! Seganteng apa ya dia? Aurora juga pasti cantik banget kayak barbie."

Senyumnya merekah sempurna. Membayangkan dirinya sedang bercakap ria dengan dua tokoh pujaannya. Namun detik berikutnya bibirnya menukik ke bawah berkat sarapan di meja.

The Villain Want to Die (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang